[caption id="attachment_184335" align="alignleft" width="300" caption="Ibuku tersayang"][/caption] Tangannya gemetar menoreh janur dengan pisau kecil yang selalu menjadi teman setianya. Tak peduli, hari sudah larut malam, ia tetap tak beranjak dari duduknya. Hawa dingin malam yang berhembus ke serambi ruang tamu, sedikitpun tak mengusik keseriusannya membuat banten. “Sudah malam bu, besok dilanjutkan lagi,” ujarku sembari mengunci pintu gerbang. Ku tengok arlojiku menunjukkan pukul 23.00. “Ayolah bu,” ujarku seraya menahan kantuk yang amat sangat. Hari itu aku sangat letih, pinggangku terasa sakit karena duduk terlalu lama di depan komputer. Tugasku menumpuk sehingga kubiarkan mataku tersungut-sungut di depan layar komputer sambil berkata dalam hati, sabar sebentar lagi selesai. Namun, ketika ketikanku selesai, aku keluar kamar, ku lihat lampu ruang tamu masih menyala. Ku lihat ibu duduk di lantai serambi masih sibuk berkutit membuat canang. “Besok ada persembahyangan lagi,” katanya saatku tanya mengapa ia membuat banyak canang. Sejak ayah meninggal, kesibukan ibu memang hanya mengemong keponakanku yang masih berusia 3 tahun. Waktu senggangnya ia gunakan membuat sarana banten seperti canang. Aku tak ingin membuatnya terlalu capek, karena sudah seharian menjaga kemenakanku. Kusarankan ibu membeli canang saja. Namun, ada saja jawaban ibu. Masih ada waktulah, membuat canang sambil menonton televisi lah, kalau beli terlalu mahallah, dan banyak alasan lain yang membuatku tak bisa lagi berkomentar. Jujur, kadang, aku merasa malu pada diriku. Ketika aku capek dengan segala aktivitasku, aku sering sekali mengeluh. Namun, seperti biasa ibuku selalu tersenyum dan selalu memberiku motivasi agar aku tetap bersemangat. Sementara ibuku, di usianya yang hampir menginjak 70 tahun, dengan semua kegiatan yang dilakukan mulai dari membuat sarana upacara adat, naik turun tangga melakukan persembahyangan, belum lagi menjaga kemenakanku, sedikit pun tak membuatnya mengeluh. Kadang aku sedikit jengkel dengan kemenakanku yang rewel dan menangis dengan keras dan menganggu tidurku. Tapi lagi-lagi, ibu menasihatiku agar aku bersabar dan mengerti bahawa dia itu masih anak-anak yang belum tahu apa-apa. Ibu, betapa sabarnya dirimu. Melihat semangat ibu yang tak pernah pudar, aku terkenang masa kecilku. Aku terlahir sebagai satu-satunya anak perempuan di antara tiga saudara laki-lakiku. Sebagai satu-satunya anak perempuan, ibu tak pernah memanjakanku. Justru aku diperlakukan sama dengan saudara laki-lakiku. Ternyata, semua itu sangat berguna bagiku sekarang. Aku tak pernah cengeng menghadapi persoalan dan kesulitan dalam hidupku, aku selalu berpikir rasional dalam mengambil keputusan, dan yang paling jarang aku lakukan dibanding teman-teman perempuanku adalah menggosip. Aku selalu teringat pesan ibu, kalau ada hal yang lebih positif yang bisa kamu obrolkan atau lakukan buat apa menggosip hal tak penting. Ibu selalu menerapkan keadilan antara aku dan saudara laki-lakiku. Hubunganku dengan saudara laki-lakiku sangat dekat, walau akhirnya, setelah tamat SMA, dua saudara laki-lakiku harus melanjutkan pendidikan ke luar Bali dan kami harus berpisah dalam waktu yang cukup lama. Ketika sesuatu kecelakaan lalu lintas terjadi pada ibuku, sekitar tahun 1998, itulah saat dimana aku harus berbenah diri. Ketika itu, ibu pergi ke pasar menggunakan sepeda motor. Tiba-tiba di traffic light, saat lampu merah menyala, tiba-tiba saja motor ibuku ditabrak dari belakang oleh truk dengan supir yang mengantuk. Kaki ibuku tergilas dan ibu harus menerima kenyataan tak bisa berjalan hampir sekitar tiga tahun. Itu hal yang paling mengerikan yang aku rasakan. Apalagi, saat itu, kakak laki-lakiku harus berangkat meninggalkan Bali untuk melanjutkan studinya di Pulau Jawa. Aku pun yang dulunya terbiasa menunggu saran dari ibu, harus segera mengambil kendali rumahtangga. Aku yang selalu mengandalkan kakakku harus siap dengan kondisi yang serba mendadak bagiku. Peristiwa itu telah membuatku banyak belajar. Aku mulai belajar mengambil keputusan untuk urusan rumah. Mulai dari memasak, membersihkan rumah, pergi ke pasar, dan mulai lebih banyak di rumah. Bahkan, sampai urusan genteng bocor, bisa aku perbaiki. Itulah titik awal aku mengenal siapa diriku. Aku bukan lagi anak kecil. Aku harus belajar menjadi dewasa dan mandiri. Dalam keterbatasannya, ibuku tak lelah mengajarkanku berbagai hal urusan rumahtangga. Bahkan, setelah ibu diperbolehkan pulang oleh dokter dengan menggunakan tongkat, ibu nekad ingin melakukan pekerjaan rumahtangga. Pelan-pelan ibu belajar melepaskan tongkat yang menemaninya hampir dua tahun. Ibu tak patah semangat untuk belajar berjalan. Tak sedikit pun tampak kesedihan atas musibah yang dialaminya. Ia justru bangga dengan kedewasaan dan kemandirianku setelah musibah itu. Setelah bisa berjalan dengan baik, ibu mulai belajar lagi naik motor. Kecelakaan yang dialaminya tak membuatnya trauma. Walau pun ayah dan kami anak-anaknya menyarankan agar ibu tidak usah lagi naik motor, tapi ibu tetap kekeh. “Ibu tak ingin merepotkan kalian. Kalau ibu bisa naik motor ibu bisa pergi ke pasar sendiri naik motor, lebih cepat dan efisien,” kata ibuku dengan nada penuh harap. Seperti biasa, kami pun mengalah dan membiarkan ibu belajar naik motor lagi. Tak lama berselang enam bulan, ibu sudah kembali naik motor. Namun, ketika ibu terjatuh saat naik motor, kami benar-benar tak memberikan izin lagi ibu untuk naik motor. Untunglah kecelakaan kedua tak parah, hanya mengakibatkan ibu lecet-lecet sedikit. Kini kami sudah besar dan semua saudara laki-lakiku sudah menikah. Dua kakakku sudah menikah dan sudah punya rumah sendiri. Hanya adikku dan keluarga kecilnya tinggal bersama ibu dan aku. Adikku ingin mencari pengasuh untuk anaknya karena dia dan istrinya bekerja. Tapi ibuku tak yakin pengasuh bisa menjaga cucunya dengan baik. Ia menawarkan diri menjaga kemenakanku. Itulah ibuku, tak pernah lelah dan selalu penuh semangat. Saat ayah meninggal, ibuku terlihat sangat terpuruk. Namun, itu tak berlangsung lama. Ia tetap tegar dan tetap berjuang untuk hidupnya karena ingin melihat semua cucunya menjadi orang sukses seperti pesan terakhir ayah. Ketika tetangga atau teman arisannya mengajak ibu menggosip, ibuku selalu menanggapinya dengan tersenyum dan cukup mendengarkan saja. Ibu tetap sederhana, sedikitpun tak pernah ada cerita sombong keluar dari mulutnya. “Ingatlah, hidup itu seperti roda. Mungkin sekarang kamu berada di atas, tapi kita tidak tahu, tiba-tiba Tuhan bisa saja memutar roda dan membuat keadaan jadi berbalik. Kesombongan hanya akan membuat hidup kita tak bermakna. Apa yang akan kamu dapatkan jika menyombongkan diri. Menjadi orang yang rendah hati dan apa adanya, tak akan merendahkan martabatmu. Justru menaikkan harkatmu sebagai manusia karena mampu meredakan egois dan kesombonganmu,” nasihat ibu kepadaku ketika aku bercerita tentang teman sekantorku yang selalu menyombongkan dirinya. Oh Ibu, betapa mulianya hatimu. Walaupun engkau tak sempat mengenyam pendidikan tinggi seperti kami, tapi engkau selalu menjadi guru bagi kami, anak-anakmu. Ibu, tak terasa saat mengetik kisah ini, air mataku mengalir. Maafkan aku ibu, yang belum bisa membahagiakanmu. Bahkan, ketika kemarin malam aku memotretmu saat membuat canang, ibuku berucap,” Sudahlah, sana tidur sudah malam. Besok kamu kan harus bangun pagi untuk bekerja.” Ibu, engkau adalah spirit dalam hidupku. Semoga tahun ini, aku bisa membahagiakanmu dan mewujudkan impianmu membawa seorang laki-laki sebagai menantumu. –wirati astiti
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI