Refleksi Seorang Manusia pt. 1
Sebagai seorang manusia, setiap pribadi memiliki akal sehat untuk mempertahankan dirinya dari marabahaya, marabahaya sendiri bisa datang dari alam yang ditinggalinya, bahkan dari sesama manusia. Alamiah sekali apabila kita berbicara tendensi ini muncul secara turun-menurun dari pendahulu kita ribuan tahun sebelumnya.Â
Kita dipaksa untuk merasa tidak aman karena memang aturan alam memaksa kita untuk bertahan hidup. Melihat situasi ini, manusia memiliki pilihan, hidup atau mati.Â
Oleh karena itu, bagi mereka yang ingin tetap hidup, akal yang dimiliki mereka pun dipakai sebagai alat, alat inilah yang kemudian melahirkan banyak inovasi sebagai media untuk bertahan hidup di tengah ketidakpastian dan ketidakamanan.Â
Kerap kali pula, privilese akal pikiran tak hanya diberikan kepada manusia, tetapi ribuan lainnya. Anarkisme akal pikiran manusia inilah yang kemudian melahirkan tendensi untuk tetap bertahan hidup. Bagi mereka, terkadang untuk mempertahankan hidup, hidup lain pun menjadi bayarannya. Namun, dunia tidaklah sesederhana 2 sisi koin, hitam & putih, maupun jahat & baik, tetapi lebih kompleks daripada itu. Â
Dunia modern yang tengah kita tinggali sekarang merupakan kulminasi dari banyak tragedi, keajaiban, dan buah pikir dari para pendahulu. Layaknya seorang manusia, kebutuhan merupakan sebuah hal yang mutlak, baik itu dengan niat baik maupun sebaliknya, tetapi perlu kita sepakati bahwasanya semua itu merupakan tendensi serta urgensi untuk bertahan hidup. Sifat yang diturunkan oleh nenek moyang tersebut merupakan katalis yang kemudian digunakan sebagai alat transaksi.Â
Sistem transaksi ini dapat digambarkan dengan "Inovasi dibutuhkan untuk membayar rasa ketidakpastian, nihilnya rasa aman, serta insekuritas. Lantas, mengapa refleksi tersebut masuk ke dalam benak penulis?Â
Penulis percaya bahwasanya setiap hal memiliki akar yang sama, yang membedakan hanyalah kompleksitas subproduk dari hal tersebut yang membuatnya rumit, sehingga memunculkan banyak kebingungan serta miskonsepsi. Kemajuan persenjataan merupakan lahiran dari sebuah inovasi untuk memenuhi kebutuhan keamanan untuk bertahan hidup.Â
Gagasan bahwa tiap negara anarki dan memiliki hak untuk bertahan hidup sudah cukup dijelaskan secara konkrit dalam realisme.
Kontekstualisasi Nuklir dan Dampak Perang Dingin
Kontekstualisasi nuklir dalam esai ini pun tak luput dari asumsi di atas, terlebih lagi di dunia modern. Kerap kali senjata nuklir dijadikan sebagai titik temu untuk memenuhi bagaimana sebuah negara ingin dipandang, citra mereka di mata dunia, dan status quo dalam dunia internasional.Â
Tendensi untuk menyempurnakan alat penyelamat diri dapat memunculkan konflik dengan asumsi sederhana, "Mereka yang dapat menimbulkan rasa bahaya, akan dapat melakukannya pula".Â
Penyelamatan diri paling sederhana ialah memakai akal sehat untuk terus melakukan inovasi dalam persenjataan.Â
Naluri senjata nuklir adalah stabilitas dan kompetisi kekuatan antaraktor. Kemunculan senjata ini dengan kata lain, secara alamiah digunakan oleh para agresor, sebagaimana Profesor Oppenheimer sendiri telah mengatakan bahwa senjata nuklir merupakan sebuah senjata yang diikuti oleh banyak aspek, tetapi hal yang mutlak adalah senjata tersebut merupakan pemusnah masal, digerakkan secara rahasia, dan menyerang secara tiba-tiba.Â
Dengan kata lain, senjata nuklir merupakan sebuah simbol pencegahan dan deterensi bilamana agresi langsung terjadi. Ketika objek yang tak dapat bergerak dan kekuatan yang tak dapat dihentikan bertubrukan, di situlah banyak perang besar konon menjadi tak terhindarkan, sebagaimana hasil dari pihak-pihak yang beragresi.Â
Bom sendiri dapat menjadi "kartu AS" yang dipakai apabila semua hal sudah hilang sebagai tindakan cadangan. Deterensi dalam kata lain dapat menjadi momok mengerikan, ataupun menjadi asepek pendukung untuk membuat kerusakan minimal sebagai pencegah kerusakan berlanjut yang lebih besar.
Gagasan perang dingin telah merevolusionerkan perang secara menyeluruh. Perang dingin memiliki peran untuk tetap menjaga dan mencegah meledaknya perang yang lebih destruktif lagi. Perlombaan teknologi yang banyak dilakukan negara-negara cukup menurunkan titik "panas" sebuah peperangan.Â
Alhasil banyak perang yang dilakukan secara laten, bukanlah manifes. Akan tetapi, pergerakan Amerika Serikat dan Uni Soviet secara tersembunyi menghasilkan fenomena kelam yang dapat mengundang kerugian secara global--penekanan di sini ialah tak hanya rugi secara ekonomi bahkan kematian global karena banyaknya kecurigaan yang terjadi baik dari aktor utama di atas, maupun para proxy yang telah mengikuti kekuatan bipolar kala itu.Â
Banyaknya tindakan deterensi pada masa tersebut cukup membuat dunia secara global memasuki level ketar-ketir yang berlebihan, baik secara human error, kecurigaan berlebihan, tindakan pencegahan berlebihan, dan misinstruksi sekalipun.
The Endgame
Alhasil, masih banyak yang tidak tahu bagaimana senjata-senjata ini akan dipakai di masa depan, masih banyak yang tidak tahu pula kapan senjata tersebut dipakai pada tepat waktu pula.Â
Dengan konsiderasi yang memang ketat dalam penggunaanya, bisa jadi senjata pemusnah ini akan menjadi titik stalemate untuk menghentikan sebuah perang sebagaimana yang terjadi di antara Amerika Serikat dan Jepang pada Perang Dunia ke-2. Akan tetapi, muncul pertanyaan, apabila pada masa itu hanya Amerika yang memiliki means untuk menggunakannya dan memproklamasikan dirinya sebagai adidaya.Â
Lantas, untuk masa kini, bagaimana kasus stalemate tadi dapat terealisasikan? Kita perlu sadar bahwa kepemilikan senjata nuklir, khususnya rudal nuklir merupakan sebuah hak istimewa 'privilege' yang dapat dipamerkan baik dari segi memberitahu negara pesaing, ataupun menaikkan semangat warga negara secara moralis.Â
Primitifnya penggunaan nuklir secara menyeluruh mungkin tak dapat dipisahkan dari naluri manusia tadi, konon melihat sebagian negara menggunakan nuklir sebagai sumber energi adalah tindakan futuris, di sisi lain dengan penggunaan nuklir sebagai senjata juga merupakan tindakan pencegahan, bahkan tindakan swadefensif bagi negara yang memberlakukannya.Â
Benar adanya apabila negara saling berlomba untuk meningkatkan arsenal dan kumpulan persenjataanya demi pertahanan diri. Tak selamanya negara melakukan perang untuk mendapatkan sumber daya dari negara lain, kadang pula banyak negara yang melakukan sebuah perang bukan karena perang tersebut bisa dilihat, tetapi sebaliknya.Â