Munculnya peta standar baru China 2023 telah menimbulkan konflik kedaulatan 7 negara di Asia meliputi Malaysia, Filipina, Brunei, Vietnam, India, Taiwan dan khususnya Indonesia. Konflik ini dilatarbelakangi akibat klaim sepihak China terhadap 90% wilayah perairan di Laut China Selatan seluas lebih dari 3.600.000 km2. Akibatnya, wilayah Indonesia di Laut Natuna Utara menjadi korban tragis, daerah kaya sumber daya maritim yang diklaim China berdasarkan riwayat historis nine dash line. Klaim sepihak China ini telah terbukti melanggar kesepakatan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dunia tentang wilayah perairan sepanjang 200 mil dari garis pangkal laut berdasarkan UNCLOS 1982 atau Konvensi PBB mengenai Freedom of the Sea. Kondisi menjadi semakin pelik karena China tidak mau mengikuti kesepakatan UNCLOS 1982 yang ia tandatangani sendiri dengan berdalih klaim nine dash line.
Klaim nine dash line atau Sembilan garis putus-putus China didasarkan pada riwayat historis era Dinasti Han pada buku literatur sejarah kuno Wujung Zongyao tahun 100 SM. Literatur ini menjelaskan jika Kepulauan Spratly dan Paracel dekat Laut Natuna Utara ditemukan oleh petualang China ketika Dinasti Song berkuasa. Sehingga, China beranggapan jika hingga saat ini seluruh daerah di dalam nine dash line merupakan miliknya walaupun melewati ZEE negara-negara lain. Konflik ini semakin memanas setelah Kementerian Sumber Daya China pada 2023 lalu menambahkan satu garis dalam sembilan garis putus-putus atau nine dash line menjadi ten dash line sebagai alasan utama klaim China di wilayah perairan Laut China Selatan termasuk Laut Natuna Utara.
Memanasnya konflik di Laut Natuna Utara juga didasarkan pada potensi ekonomi yang tinggi di wilayah ini. Laut Natuna Utara terletak pada wilayah strategis jalur laut perdagangan internasional kapal-kapal dari samudera Hindia menuju Samudera Pasifik. Apalagi dengan kekayaan cadangan minyak bumi Natuna yang diperkirakan mencapai 14.386.470 barel dan potensi gas bumi senilai 112.356.680 barel menjadikan daerah Indonesia ini memang rawan mengalami konflik kedaulatan dengan negara-negara lain termasuk dengan China.
Berbagai tindakan provokatif telah dilakukan China untuk mengintervensi kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara. Tindakan provokatif ini meliputi dikirimkannya kapal perang coast guard China untuk mengawal kapal pencuri ikan pada 2020 lalu hingga pembangunan pulau reklamasi untuk fasilitas militer di dekat Laut Natuna Utara pada 2022. Intervensi China atas wilayah teritorial Indonesia ini tentunya menimbulkan alarm berbahaya konflik kedaulatan. Namun sayang, jalur diplomasi yang diharapkan mampu mengatasi konflik antar negara ini justru meningkatkan ketegangan Indonesia dengan China. China menolak mengakui yurisdiksi Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara dengan alasan daerah tersebut termasuk kawasan ten dash line milik China. Sedangkan di sisi lain, Indonesia juga menolak mengakui klaim ten dash line China di Laut Natuna Utara dengan alasan China telah melanggar keras kesepakatan UNCLOS 1982 dan malah melakukan eksplorasi di wilayah ZEE Indonesia.
Agresivitas China dalam beberapa peristiwa sebelumnya menjadi alarm waspada ancaman di Laut Natuna Utara. Berdasarkan hal tersebut diperlukan strategi pertahanan yang kuat integrasi antara TNI AL (Angkatan Laut) dan AU (Angkatan Udara) untuk menjaga kedaulatan Indonesia. Sebelum itu, penting untuk mengetahui apabila China memiliki kekuatan militer terkuat ke-3 didunia pada 2022 sedangkan Indonesia berada di urutan ke 15 dari 140 negara (Global Fire Power, 2022). Indonesia tergolong kuat dengan kepemilikan 445 armada udara yang terbagi dalam 41 jet tempur, 23 pesawat serangan khusus, 17 pesawat mini khusus, 1 pesawat tanker, 172 helikopter dan 15 helikopter serang. Namun apabila dibandingkan dengan China, Indonesia kalah dari segi ketersediaan fasilitas. Sebagai salah satu negara adidaya, China bahkan memiliki 3.285 armada udara atau setara 7x lipat armada Indonesia. Kesejangan yang tinggi dari jumlah armada ini menyebabkan tindakan agresif menjadi pilihan yang berbahaya bagi Indonesia sehingga diperlukan strategi lain yang lebih aman.
Beberapa strategi humanis penyelesaian konflik Laut Natuna Utara oleh pemerintah Indonesia dapat dilakukan dengan diplomasi internasional dan langkah preventif. Pertama, diberlakukannya upaya manajemen perbatasan wilayah Laut Natuna Utara melalui kesepakatan perbatasan atau diplomacy border. Kedua, meningkatkan eksplorasi minyak di Laut Natuna Utara khususnya di Blok Natuna Sea A yang saat ini memproduksi 2.350 barel minyak per hari. Wujud eksplorasi ini penting dilakukan untuk menunjukkan eksistensi Indonesia dalam wilayah sengketa. Ketiga, meningkatkan pertahanan Laut Natuna Utara. Upaya preventif atau pencegahan konflik Laut Natuna Utara wajib dilakukan Kementerian Pertahanan dengan meningkatkan kekuatan militer seperti pembangunan pangkalan militer, penambahan kapal TNI AL, penambahan Batalion Infantri dan peningkatan patroli di sekitar Laut Natuna Utara.
Tidak hanya strategi humanis, Indonesia juga harus bersiap melakukan tindakan tegas dalam penyelesaian konflik kedaulatan ini. Strategi A2/AD atau Anti-Access/Area Denial menjadi langkah tegas terbaik untuk menjaga kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara. Strategi yang diadaptasi dari NATO ini didefinisikan sebagai upaya pencegahan agar lawan tidak melakukan penyerangan di suatu kawasan dalam area konflik. Strategi A2 meliputi: (1) Fase A0 atau perdamaian sebelum konflik seperti soft power, lawfare, dan zona abu-abu (Tangredi, 2018). Strategi A2 bertujuan untuk mencegah lawan mendapatkan bantuan dalam area tempur dan menangkal peningkatan intervensi dari pihak luar. Langkah ini dinilai baik untuk mendorong biaya asimetris ketika melawan musuh dengan teknologi canggih. Sedangkan strategi Area Denial (AD) merupakan strategi untuk melumpuhkan senjata konvensional musuh. Dalam kondisi ini AD bertujuan menghambat operasi dari lawan di darat, laut dan udara. Strategi AD akan mampu mengubah perhitungan musuh sebelum konflik memanas dengan memperhitungkan peluang kekuatan.
Dengan mengadopsi strategi A2/AD di tingkat strategis militer, Indonesia dapat meningkatkan pertahanan udaranya dengan merencanakan, mengatur, dan memperbarui alutsista sesuai dengan rencana strategis yang ditetapkan. Hal ini akan membantu Indonesia dalam menangkal operasi strategis Cina dengan mengembangkan pertahanan udara yang lebih terintegrasi, termasuk pengadaan rudal balistik jarak jauh, senjata pemusnah massal, perang di cyberspace, senjata anti-satelit, dan pembaruan sistem operasi.
Oleh karena itu, Indonesia harus mampu mempertahankan kedaulatan teritorial di Laut Natuna Utara dari intervensi China. Upaya berkelanjutan jalur diplomasi, peningkatan manajeman perbatasan, peningkatan eksplorasi Laut Natuna Utara hingga peningkatan personil pertahanan menjadi upaya preventif yang wajib dilaksanakan. Tidak hanya itu, Indonesia juga harus tegas dengan berani menerapkan strategi A2/AD sebagai upaya penyelesaian konflik Laut Natuna Utara ketika jalur damai tidak bisa terlaksana.