Mohon tunggu...
Wira Krida
Wira Krida Mohon Tunggu... Apoteker - Praktisi Komunikasi dan Farmasi

Saya praktisi farmasi industri yang memiliki minat mendalam dalam berbagai aspek komunikasi. Sebagai seorang profesional di bidang farmasi industri, saya telah mengembangkan keahlian di sektor ini melalui pengalaman dan pembelajaran yang terus-menerus. Tidak hanya fokus pada pengembangan teknis dan operasional di industri farmasi, tetapi juga memahami pentingnya komunikasi dalam mendukung dan memperkuat keberhasilan organisasi. Dalam rangka memperluas pengetahuan di luar farmasi, saya memutuskan untuk menempuh pendidikan di bidang komunikasi. Saya meraih gelar Magister Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina pada tahun 2023. Langkah ini menunjukkan komitmen saya untuk memperdalam pemahaman tentang komunikasi, khususnya dalam konteks komunikasi organisasi dan komunikasi digital, dua bidang yang semakin penting di era globalisasi dan transformasi digital. Saat ini, Saya sedang melanjutkan studi di bidang ilmu komunikasi di Universitas Sahid. Melalui studi ini, saya berharap dapat menggabungkan pengetahuan di sektor farmasi dengan pemahaman yang lebih luas tentang komunikasi, sehingga mampu memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam pengembangan industri farmasi, baik dari segi operasional maupun strategi komunikasi. Bidang minat utama saya meliputi farmasi industri, komunikasi organisasi, serta komunikasi digital, yang menjadi fokus utama untuk pengembangan lebih lanjut di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pagar Laut Bambu: Kontroversi yang Menantang Batas Hukum, Lingkungan, dan Kehidupan Sosial Pesisir Indonesia

23 Januari 2025   14:41 Diperbarui: 23 Januari 2025   14:41 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendahuluan

Di Indonesia, wilayah pesisir selalu menjadi zona strategis sekaligus rentan, menyimpan cerita panjang tentang perjuangan melawan abrasi, banjir rob, dan perubahan iklim. Di tengah upaya mencari solusi untuk melindungi pesisir, muncul sebuah fenomena yang tak terduga: pagar laut bambu. Fenomena ini, yang bermula sebagai upaya sederhana untuk mengatasi abrasi, kini menjadi salah satu isu paling kontroversial di negeri ini. Dari sudut pandang lingkungan, hukum, hingga sosial, pagar laut bambu bukan lagi sekadar deretan batang bambu yang tertancap di pantai, melainkan sebuah simbol konflik kepentingan dan tata kelola yang dipertanyakan.

Orang awam awalnya berpikir, pemasangan pagar laut bambu dimaksudkan sebagai solusi lokal dan murah untuk menghadapi abrasi dan banjir rob. Wilayah pesisir seperti di Tangerang, Bekasi, dan Sidoarjo atau daerah yang lainnya, yang sering kali terpapar pasang surut air laut dan kehilangan daratan akibat abrasi, menjadi lokasi pemasangan pagar ini. Dengan logika yang sederhana, pagar bambu dipasang untuk menahan gelombang laut dan membantu mengendapkan sedimen, saat air laut itu kembai ke lautan sehingga dapat memperlambat kerusakan pantai.

Namun, kenyataan di lapangan ternyata tidak sesederhana itu kawan. Pagar laut bambu ini justru memicu serangkaian persoalan yang melibatkan masyarakat pesisir, pemerintah daerah, kementerian terkait, dan bahkan sampai kepada telinga Presiden. Terdapat beberapa fakta penting yang menjadi latar belakang fenomena ini:

  1. Pemasangan Tanpa Kajian Ilmiah

    • Tidak ada kajian lingkungan yang komprehensif sebelum proyek ini dilaksanakan. Pagar bambu didirikan secara serampangan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem pesisir, termasuk ekosistem mangrove yang seharusnya menjadi pelindung alami pantai.
  2. Tumpang Tindih Kepemilikan Lahan

    • Kawasan pesisir yang menjadi lokasi pemasangan pagar ternyata berada di tengah konflik agraria. Beberapa pihak memiliki sertifikat hak milik (SHM) atau hak guna bangunan (SHGB) yang diterbitkan oleh BPN, meskipun tanah tersebut berada di zona sempadan pantai yang seharusnya menjadi kawasan konservasi atau secara mudah tidak boleh ada sertifikat diatas lautan seperti yang dikatakan menteri KKP.
  3. Protes dari Nelayan

    • Nelayan pesisir yang bergantung pada laut untuk mata pencaharian merasa terancam. Pagar laut bambu membatasi akses mereka ke laut, memperburuk kondisi ekonomi masyarakat kecil yang sudah terpinggirkan oleh pembangunan pesisir.
  4. Reaksi Pemerintah dan Publik

    • Fenomena ini memicu respons keras dari berbagai pihak, mulai dari protes masyarakat hingga kecaman dari Presiden Prabowo Subianto, yang menyebut proyek ini sebagai "kegagalan tata kelola yang mencederai prinsip keadilan.

Mengapa Fenomena Ini Terjadi dan Begitu Viral?

  1. Konflik Antara Tujuan Lokal dan Dampak Global
    Pagar laut bambu muncul dari solusi lokal yang tampaknya sederhana: "gunakan bahan murah, pasang, dan selesaikan masalah abrasi." Namun, pendekatan ini mengabaikan dampak global yang jauh lebih besar. Alih-alih memperbaiki kondisi pesisir, pagar ini justru memperburuk kerusakan ekologis dan menciptakan konflik baru antara masyarakat lokal, pemerintah, dan pemegang sertifikat lahan.

  2. Simbol Kekacauan Tata Kelola
    Fenomena pagar laut bambu menjadi viral karena mencerminkan kekacauan tata kelola tanah dan pesisir di Indonesia. Di satu sisi, masyarakat lokal berusaha melindungi pesisir dari abrasi. Di sisi lain, pemerintah gagal menciptakan aturan yang konsisten tentang pengelolaan zona pesisir. Penerbitan sertifikat tanah di sempadan pantai yang seharusnya menjadi kawasan konservasi semakin memperkeruh keadaan.

  3. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    5. 5
    6. 6
    7. 7
    8. 8
    9. 9
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
    Lihat Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun