Pendahuluan
Di Indonesia, wilayah pesisir selalu menjadi zona strategis sekaligus rentan, menyimpan cerita panjang tentang perjuangan melawan abrasi, banjir rob, dan perubahan iklim. Di tengah upaya mencari solusi untuk melindungi pesisir, muncul sebuah fenomena yang tak terduga: pagar laut bambu. Fenomena ini, yang bermula sebagai upaya sederhana untuk mengatasi abrasi, kini menjadi salah satu isu paling kontroversial di negeri ini. Dari sudut pandang lingkungan, hukum, hingga sosial, pagar laut bambu bukan lagi sekadar deretan batang bambu yang tertancap di pantai, melainkan sebuah simbol konflik kepentingan dan tata kelola yang dipertanyakan.
Orang awam awalnya berpikir, pemasangan pagar laut bambu dimaksudkan sebagai solusi lokal dan murah untuk menghadapi abrasi dan banjir rob. Wilayah pesisir seperti di Tangerang, Bekasi, dan Sidoarjo atau daerah yang lainnya, yang sering kali terpapar pasang surut air laut dan kehilangan daratan akibat abrasi, menjadi lokasi pemasangan pagar ini. Dengan logika yang sederhana, pagar bambu dipasang untuk menahan gelombang laut dan membantu mengendapkan sedimen, saat air laut itu kembai ke lautan sehingga dapat memperlambat kerusakan pantai.
Namun, kenyataan di lapangan ternyata tidak sesederhana itu kawan. Pagar laut bambu ini justru memicu serangkaian persoalan yang melibatkan masyarakat pesisir, pemerintah daerah, kementerian terkait, dan bahkan sampai kepada telinga Presiden. Terdapat beberapa fakta penting yang menjadi latar belakang fenomena ini:
Pemasangan Tanpa Kajian Ilmiah
- Tidak ada kajian lingkungan yang komprehensif sebelum proyek ini dilaksanakan. Pagar bambu didirikan secara serampangan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem pesisir, termasuk ekosistem mangrove yang seharusnya menjadi pelindung alami pantai.
Tumpang Tindih Kepemilikan Lahan
- Kawasan pesisir yang menjadi lokasi pemasangan pagar ternyata berada di tengah konflik agraria. Beberapa pihak memiliki sertifikat hak milik (SHM) atau hak guna bangunan (SHGB) yang diterbitkan oleh BPN, meskipun tanah tersebut berada di zona sempadan pantai yang seharusnya menjadi kawasan konservasi atau secara mudah tidak boleh ada sertifikat diatas lautan seperti yang dikatakan menteri KKP.
Protes dari Nelayan
- Nelayan pesisir yang bergantung pada laut untuk mata pencaharian merasa terancam. Pagar laut bambu membatasi akses mereka ke laut, memperburuk kondisi ekonomi masyarakat kecil yang sudah terpinggirkan oleh pembangunan pesisir.
Reaksi Pemerintah dan Publik
- Fenomena ini memicu respons keras dari berbagai pihak, mulai dari protes masyarakat hingga kecaman dari Presiden Prabowo Subianto, yang menyebut proyek ini sebagai "kegagalan tata kelola yang mencederai prinsip keadilan.
Mengapa Fenomena Ini Terjadi dan Begitu Viral?
Konflik Antara Tujuan Lokal dan Dampak Global
Pagar laut bambu muncul dari solusi lokal yang tampaknya sederhana: "gunakan bahan murah, pasang, dan selesaikan masalah abrasi." Namun, pendekatan ini mengabaikan dampak global yang jauh lebih besar. Alih-alih memperbaiki kondisi pesisir, pagar ini justru memperburuk kerusakan ekologis dan menciptakan konflik baru antara masyarakat lokal, pemerintah, dan pemegang sertifikat lahan.Simbol Kekacauan Tata Kelola
Fenomena pagar laut bambu menjadi viral karena mencerminkan kekacauan tata kelola tanah dan pesisir di Indonesia. Di satu sisi, masyarakat lokal berusaha melindungi pesisir dari abrasi. Di sisi lain, pemerintah gagal menciptakan aturan yang konsisten tentang pengelolaan zona pesisir. Penerbitan sertifikat tanah di sempadan pantai yang seharusnya menjadi kawasan konservasi semakin memperkeruh keadaan.-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!