Fenomena kemacetan menuju destinasi wisata semakin menarik perhatian publik, terutama di media sosial. Kemacetan parah nan mematikan yang terjadi di area wisata seperti Puncak, Batu, Bromo, Dieng, dan Jogja kerap kali mengundang kontroversi.
Ironisnya, alih-alih mengurangi minat masyarakat untuk berkunjung, peristiwa ini justru semakin memancing keinginan banyak orang untuk "berpartisipasi" dalam keramaian. Bahkan, muncul fenomena Fear of Missing Out (FOMO) di mana seseorang merasa khawatir ketinggalan momen jika tidak ikut berlibur saat orang lain melakukannya.
Destinasi wisata seperti Batu, Bromo, Dieng, Jogja, dan Puncak menjadi lokasi favorit masyarakat saat liburan, namun tak bisa lepas dari masalah besar: kemacetan parah. Peristiwa ini bukan hanya menyebabkan ketidaknyamanan, tetapi bahkan berdampak fatal.Â
Pada momen liburan besar, kemacetan di Puncak pernah memakan waktu hingga 12-14 jam, dengan beberapa korban jiwa yang meninggal akibat kelelahan dan kondisi kesehatan yang memburuk di tengah antrian panjang kendaraan.Â
Fenomena serupa juga terjadi di Bromo, di mana pengunjung terpaksa berjalan kaki hingga berkilo-kilometer demi mencapai Penanjakan untuk menyaksikan sunrise karena kendaraan tidak bisa bergerak di tengah kemacetan.
Yang menarik, berita mengenai kemacetan ekstrem ini justru tidak menurunkan minat wisatawan. Sebaliknya, destinasi-destinasi tersebut semakin populer, dianggap sebagai tempat yang "wajib" dikunjungi.Â
Dengan fenomena FOMO yang semakin menguat di era media sosial, masyarakat malah terpicu untuk ikut merasakan pengalaman tersebut, bahkan jika harus menghadapi tantangan fisik dan mental di jalan menuju liburan.
Tinjauan Mengenai Konten Media Sosial yang Memuat Konten Berita Kemacetan
Media sosial memiliki peran besar dalam menyebarkan cerita kemacetan parah di tempat wisata. Instagram, Twitter, hingga TikTok sering diwarnai dengan unggahan yang menggambarkan betapa beratnya perjalanan menuju destinasi populer.Â
Salah satu yang paling mencengangkan adalah ketika Puncak mengalami kemacetan 12-14 jam, di mana beberapa pengendara terpaksa tidur di mobil atau tepi jalan karena tidak ada pergerakan sama sekali. Bahkan, ada laporan mengenai pengunjung yang mengalami serangan jantung di tengah kemacetan karena stres dan kondisi kesehatan yang memburuk.
Di Bromo, kemacetan menuju Penanjakan untuk melihat sunrise begitu padat sehingga banyak wisatawan memilih turun dari kendaraan mereka dan berjalan kaki sejauh beberapa kilometer.Â
Hal ini tentu menambah tingkat kesulitan perjalanan, namun justru membuat pengalaman tersebut semakin dicari karena dianggap sebagai "petualangan tersendiri".
Anehnya, alih-alih menjauhkan wisatawan dari destinasi ini, cerita-cerita tentang kemacetan ini malah semakin menarik minat. Popularitas suatu destinasi wisata seolah semakin dikukuhkan ketika media sosial penuh dengan cerita perjuangan menuju tempat tersebut. Kemacetan dipandang sebagai bukti betapa populernya suatu tempat, dan bahwa berlibur ke sana adalah sebuah prestasi tersendiri.
Tinjauan Berdasarkan Teori Uses and Gratifications
Teori Uses and Gratifications yang dipopulerkan oleh Elihu Katz dan Jay G. Blumler pada 1970-an, menekankan bahwa audiens media bukanlah penerima pasif, melainkan pengguna aktif yang mencari kepuasan tertentu dari konten yang mereka konsumsi. Dalam konteks fenomena kemacetan di media sosial, ada beberapa aspek yang relevan untuk dianalisis:
- Kebutuhan Informasi: Pengguna media sosial mencari informasi mengenai kondisi terkini dari tempat wisata, termasuk kondisi lalu lintas, cuaca, dan seberapa padat lokasi tersebut.
- Kebutuhan Hiburan: Ironisnya, banyak orang justru merasa terhibur melihat postingan kemacetan parah. Bagi sebagian orang, melihat perjuangan orang lain dalam kemacetan dapat memberikan hiburan dan bahkan bahan lelucon.
- Kebutuhan Identitas Sosial: Dalam era digital, keikutsertaan dalam tren, termasuk tren liburan ke tempat yang ramai, menjadi salah satu bentuk identitas sosial. Orang-orang merasa perlu membuktikan bahwa mereka tidak ketinggalan dengan berlibur di tempat yang sedang viral, meskipun harus menghadapi kemacetan yang menyiksa.
Teori ini membantu kita memahami bahwa masyarakat memiliki motivasi tersendiri dalam mengonsumsi konten terkait kemacetan, yang pada akhirnya justru memperkuat ketertarikan mereka terhadap destinasi yang sedang populer.
Dampak dari Konten Kemacetan terhadap Perilaku Masyarakat dan Ekonomi
Dampak konten kemacetan terhadap perilaku masyarakat sangatlah nyata. Fenomena FOMO membuat orang semakin terdorong untuk berlibur ke tempat yang populer, meskipun mereka menyadari potensi kemacetan ekstrem. Hal ini memengaruhi bagaimana masyarakat merencanakan liburannya; mereka lebih memilih mengikuti arus tren dibandingkan menghindari keramaian.
Ada pula dampak sosial dan psikologis yang dapat timbul, termasuk kelelahan fisik akibat perjalanan panjang, hingga meningkatnya stres dan kecemasan selama terjebak dalam kemacetan. Pada kasus ekstrem, seperti yang terjadi di Puncak, kemacetan yang berlangsung selama 12-14 jam dapat menyebabkan korban jiwa akibat kondisi fisik yang memburuk. Di Bromo, meski kemacetan sering kali tidak memakan korban jiwa, wisatawan yang harus berjalan kaki berkilo-kilometer untuk menghindari kemacetan menghadapi tantangan fisik yang tidak ringan.
Dari sisi ekonomi, fenomena ini tentu membawa dampak positif, terutama bagi industri pariwisata. Peningkatan jumlah pengunjung berarti lebih banyak pendapatan bagi sektor pariwisata, mulai dari penyedia jasa transportasi, penginapan, restoran, hingga pedagang lokal. Namun, kemacetan yang tak terkendali juga bisa memicu dampak negatif seperti kerusakan lingkungan, meningkatnya polusi udara, dan penurunan kualitas layanan wisata akibat overturisme.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana konten media sosial tentang kemacetan dapat memperkuat perilaku konsumtif masyarakat terhadap pariwisata. Di satu sisi, ekonomi lokal diuntungkan, namun di sisi lain, ada risiko yang perlu diatasi seperti pengelolaan infrastruktur dan dampak lingkungan yang perlu diperhatikan.
Kesimpulan dan Saran
Fenomena kemacetan di destinasi wisata populer seperti Puncak dan Bromo bukan hanya masalah lalu lintas, tetapi juga cerminan bagaimana media sosial memengaruhi persepsi dan perilaku masyarakat. Meskipun kemacetan berpotensi menimbulkan dampak fatal, termasuk korban jiwa akibat kelelahan, minat masyarakat untuk mengunjungi tempat-tempat ini justru semakin meningkat, sebagian besar didorong oleh fenomena FOMO dan kebutuhan akan pengakuan sosial.
Teori Uses and Gratifications menunjukkan bahwa konten kemacetan di media sosial tidak sekadar menyajikan informasi, tetapi juga memenuhi kebutuhan hiburan dan identitas sosial masyarakat. Hal ini membantu menjelaskan mengapa kemacetan justru menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak orang.
Untuk menyikapi fenomena ini, berikut adalah beberapa saran:
- Pemerintah: Perlu ada langkah serius dalam mengatasi kemacetan di destinasi wisata, baik melalui peningkatan infrastruktur maupun penerapan kebijakan pembatasan jumlah pengunjung dan lebih mendorong lagi pembangunan serta promosi tempat -- tempat wisata baru supaya tidak hanya berkonsentrasi pada tempat wisata yang sudah terkenal dan viral sebelumnya.
- Masyarakat: Sebaiknya lebih bijak dalam merencanakan liburan. Menghindari waktu puncak dapat membantu mengurangi kemacetan dan memberikan pengalaman yang lebih nyaman.
- Media Sosial: Platform media sosial dapat berperan dalam memberikan informasi yang lebih seimbang, dengan menekankan pentingnya wisata yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, meskipun kemacetan sering kali dianggap sebagai masalah besar, fenomena ini juga menunjukkan bagaimana daya tarik sosial dan tren di media digital sangat perkasa sehingga mampu mengalahkan segala bentuk ketidaknyamanan, bahkan risiko serius yang dihadapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H