Hal ini tentu menambah tingkat kesulitan perjalanan, namun justru membuat pengalaman tersebut semakin dicari karena dianggap sebagai "petualangan tersendiri".
Anehnya, alih-alih menjauhkan wisatawan dari destinasi ini, cerita-cerita tentang kemacetan ini malah semakin menarik minat. Popularitas suatu destinasi wisata seolah semakin dikukuhkan ketika media sosial penuh dengan cerita perjuangan menuju tempat tersebut. Kemacetan dipandang sebagai bukti betapa populernya suatu tempat, dan bahwa berlibur ke sana adalah sebuah prestasi tersendiri.
Tinjauan Berdasarkan Teori Uses and Gratifications
Teori Uses and Gratifications yang dipopulerkan oleh Elihu Katz dan Jay G. Blumler pada 1970-an, menekankan bahwa audiens media bukanlah penerima pasif, melainkan pengguna aktif yang mencari kepuasan tertentu dari konten yang mereka konsumsi. Dalam konteks fenomena kemacetan di media sosial, ada beberapa aspek yang relevan untuk dianalisis:
- Kebutuhan Informasi: Pengguna media sosial mencari informasi mengenai kondisi terkini dari tempat wisata, termasuk kondisi lalu lintas, cuaca, dan seberapa padat lokasi tersebut.
- Kebutuhan Hiburan: Ironisnya, banyak orang justru merasa terhibur melihat postingan kemacetan parah. Bagi sebagian orang, melihat perjuangan orang lain dalam kemacetan dapat memberikan hiburan dan bahkan bahan lelucon.
- Kebutuhan Identitas Sosial: Dalam era digital, keikutsertaan dalam tren, termasuk tren liburan ke tempat yang ramai, menjadi salah satu bentuk identitas sosial. Orang-orang merasa perlu membuktikan bahwa mereka tidak ketinggalan dengan berlibur di tempat yang sedang viral, meskipun harus menghadapi kemacetan yang menyiksa.
Teori ini membantu kita memahami bahwa masyarakat memiliki motivasi tersendiri dalam mengonsumsi konten terkait kemacetan, yang pada akhirnya justru memperkuat ketertarikan mereka terhadap destinasi yang sedang populer.
Dampak dari Konten Kemacetan terhadap Perilaku Masyarakat dan Ekonomi
Dampak konten kemacetan terhadap perilaku masyarakat sangatlah nyata. Fenomena FOMO membuat orang semakin terdorong untuk berlibur ke tempat yang populer, meskipun mereka menyadari potensi kemacetan ekstrem. Hal ini memengaruhi bagaimana masyarakat merencanakan liburannya; mereka lebih memilih mengikuti arus tren dibandingkan menghindari keramaian.
Ada pula dampak sosial dan psikologis yang dapat timbul, termasuk kelelahan fisik akibat perjalanan panjang, hingga meningkatnya stres dan kecemasan selama terjebak dalam kemacetan. Pada kasus ekstrem, seperti yang terjadi di Puncak, kemacetan yang berlangsung selama 12-14 jam dapat menyebabkan korban jiwa akibat kondisi fisik yang memburuk. Di Bromo, meski kemacetan sering kali tidak memakan korban jiwa, wisatawan yang harus berjalan kaki berkilo-kilometer untuk menghindari kemacetan menghadapi tantangan fisik yang tidak ringan.