Kabupaten Banyuwangi, terletak di ujung timur Pulau Jawa, pernah dikenal dengan stigma sebagai "Kota Santet". Narasi ini menciptakan kesan negatif yang berdampak pada citra daerah, membatasi potensi pengembangan ekonomi dan sosial. Namun, dalam satu dekade terakhir, Banyuwangi berhasil bertransformasi menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di Indonesia. Dengan berbagai inovasi di bidang pariwisata, budaya, dan infrastruktur, Banyuwangi kini dikenal sebagai "Kota Festival" yang mendapat julukan “The Sunrise of Java” ini juga menjadi salah satu kabupaten termaju di Indonesia. Dalam artikel ini, penulis membahas upaya Banyuwangi dalam mengubah stigma tersebut, strategi yang diterapkan, serta dampak positif yang telah diraih.
• Sejarah Stigma Kota Santet
Pada era 1980-an hingga awal 2000-an, Banyuwangi sering diidentikkan dengan praktik ilmu hitam dan santet. Berita-berita tentang konflik sosial yang melibatkan dugaan santet, terutama di daerah pedesaan, kerap mendominasi pemberitaan nasional. Hal ini menciptakan citra buruk yang membuat Banyuwangi terisolasi dari arus pembangunan. Banyak investor enggan berinvestasi, dan sektor pariwisata pun nyaris tidak berkembang meskipun Banyuwangi memiliki potensi alam yang luar biasa.
• Perubahan Citra Banyuwangi
Transformasi Banyuwangi dimulai pada tahun 2010, ketika Abdullah Azwar Anas menjabat sebagai Bupati Banyuwangi. Beliau memperkenalkan visi baru untuk menjadikan Banyuwangi sebagai kabupaten yang inovatif, partisipatif, dan inklusif. Salah satu fokus utamanya adalah membangun sektor pariwisata sebagai penggerak utama perekonomian daerah.
1. Banyuwangi Festival (B-Fest)
Inovasi pertama yang menjadi katalis perubahan adalah peluncuran Banyuwangi Festival (B-Fest) pada tahun 2012. Festival ini awalnya terdiri dari 12 acara yang menampilkan seni, budaya, dan tradisi lokal, seperti Gandrung Sewu, Festival Kuwung, dan Jazz Pantai. Hingga tahun 2024, B-Fest telah berkembang menjadi lebih dari 99 event setiap tahunnya.
Acara-acara tersebut tidak hanya menarik wisatawan domestik dan mancanegara, tetapi juga menjadi sarana untuk memperkuat identitas budaya masyarakat Banyuwangi. Gandrung Sewu, misalnya, adalah tarian kolosal yang melibatkan ribuan penari Gandrung, simbol budaya khas Banyuwangi. Acara ini sukses menarik perhatian internasional dan menjadi ikon kebanggaan daerah.
2. Pengembangan Infrastruktur Pariwisata
Untuk mendukung pertumbuhan pariwisata, pemerintah Banyuwangi melakukan investasi besar-besaran dalam infrastruktur. Bandara Blimbingsari yang sebelumnya hanya melayani penerbangan kecil, dikembangkan menjadi bandara internasional dengan desain ramah lingkungan. Bandara ini menjadi gerbang utama bagi wisatawan yang ingin mengunjungi Banyuwangi.
Selain itu, akses utama menuju destinasi wisata seperti Kawah Ijen, Pantai Pulau Merah, dan Taman Nasional Alas Purwo diperbaiki untuk mempermudah akses wisatawan. Pemerintah yang berkolaborasi dengan investor juga membangun fasilitas pendukung seperti hotel, restoran, dan pusat informasi wisata di berbagai lokasi strategis.
3. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Transformasi Banyuwangi tidak hanya berfokus pada infrastruktur, tetapi juga pada pemberdayaan masyarakat lokal. Pemerintah mengadakan pelatihan bagi pelaku UMKM, pemandu wisata, dan pengelola homestay untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Desa-desa wisata seperti Desa Adat Osing Kemiren menjadi contoh sukses pemberdayaan masyarakat.