Baru kali ini, saya menguji skripsi mahasiswa, dimana ada seorang mahasiswa tidak mampu mempertahankan apa yang ia teliti, dan harus mengulang proses sidang skripsinya dengan syarat, data primer dan analisisnya mesti dipermak total ?!.
Sehingga, pada akhir penutupan Sidang, suasana menjadi kurang kondusif untuk larut bersama kebahagiaan mahasiswa lainnya, yang lulus dalam sidang skripsi dan komprehensif itu.
Dengan berbagai perasaan yang tidak menentu pula, saya merasakan kesedihan yang luar biasa, karena sesuatu yang mestinya berjalan secara alamiah, wajar dan lancar-lancar saja, tiba-tiba muncul persepsi dan dugaan yang melahirkan pertanyaan, “apa sih yang sebenarnya terjadi di benak mahasiswa, ketika mereka akan dan sedang menghadapi sidang skripsi ?!”
Memang bagi sebagian besar mahasiswa, saat-saat dimana ia harus menyelesaikan skripsinya, adalah saat dunianya diselimuti oleh kegelisahan, kekuatiran, dan kecemasan. Jangankah mahasiswa S1, mereka yang akan mengakhiri program pasca sarjana saja merasakan hal yang sama ketika mereka akan dan sedang melakukan Sidang Tesis dan Disertasinya.
Seringkali, kita sendiri tidak mampu melampaui perasaan gelisah, kuatir dan cemas dengan aktivitas yang satu ini, sehingga banyak mahasiswa yang mengalami kegagalan, hanya gara-gara tidak mampu melampaui kegelisahan, kecemasan dan kekuatirannya sendiri, sehingga pada saat sidang skripsi berlangsung mereka begitu sulit mengatakan apa yang sebenarnya sudah ada di dalam batok kepalanya itu !
Padahal, saya selaku dosen penguji tidak pernah bertanya sesuatu yang tidak mahasiswa ketahui. Bahkan, saya senantiasa memotivasi mereka agar tetap tenang, jernihkan pikiran dan anggap semua ini hanya diskusi biasa. Tapi, herannya mereka menganggap Sidang Skripsi itu ‘sesuatu’ bingits, sehingga mendengar nama aktivitas itu saja, sudah berdiri bulu-kuduk mereka?! Mungkin, hal ini yang dinamanakan sebagai ‘sindrome tugas akhir’ kaleee ya?!
Saya, juga punya anak kandung yang saat ini sedang menjalani proses akhir dalam perkulihannya, alias sedang menyusun skripsi. Saya selalu bilang pada anak saya, bahwa membuat skripsi itu sama halnya meletakkan cucian piring dan gelas, lalu dimasukkan ke dalam lemari, yang tentunya bukan lemari pakaian khan?!.
Artinya, bahwa menulis skripsi itu, sama halnya dengan menulis apapun, cuma bedanya kalo skripsi itu perlu dibarengi dengan proses penelitian, yang aturan mainnya sudah ada di setiap kampus.
Sebenarnya, kita bisa menulis skripsi, karena sudah membaca skripsi-skripsi sebelumnya. Hal yang sama juga, kita bisa membuat Cerpen alias Cerita Pendek, karena sudah pernah membaca Cerpen itu sebelumnya. Lalu, apanya yang susah?! Bagi saya sih, yang susah ya kemauannya untuk membaca karya-karya ilmiah sebelumnya itu. Iya khan ?. Ngaku aja....!
Saya menyadari, bahwa di era informasi sekarang ini, kita semua tenggelam dalam lautan informasi. Karena, selain informasi tersebut selalu ada di genggaman kita, ternyata kita sendiri tidak mampu memilah-memilih informasi yang bermanfaat untuk hidup kita, saat ini. Pada saat kita tenggelam di lautan informasi, maka kita tak akan mampu mengenali mana informasi yang baik atawa yang buruk untuk diri kita sendiri. Karena itu, kita perlu secara tegas menentukan siapa diri kita, dan informasi apa yang berguna bagi hidup kita ?!
Dulu, sewaktu saya menjadi mahasiswa S1, pada saat saya ingin mengakhiri perkuliahan atawa menyusun skripsi, persepsi yang ada dibenak saya adalah ingin mengakhiri kuliah dengan ‘khusnul khotimah’ alias dengan kebanggaan, bukan dengan kecematasan dan kegelisahan?! Dengan persepsi ‘khusnul khotimah’ inilah, saya bisa menjadikan aktivitas akhir perkuliahan saya, saat itu, begitu menggairahkan dan penuh semangat.