Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Takaran Kebahagiaan Kita Beda

6 Maret 2015   23:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:03 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1425633562889124659

Oleh. Purwalodra

[caption id="attachment_401185" align="aligncenter" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]

Kebahagiaan manusia masih menjadi misteri. Dan usaha mencari serta menemukan kebahagiaan pada diri kita seringkali adalah suatu usaha yang problematis. Banyak upaya yang bisa dicapai, namun seringkali semua upaya itu saling bertentangan satu sama lain. Akibatnya tidak ada prinsip, sikap dan pengertian tunggal yang menyeluruh tentang kebahagiaan. Kadang, kebagiaan yang ingin dicapai akan mengorbankan kebahagiaan lainnya. Jika saja kebahagiaan bisa dipahami secara menyeluruh, maka kebahagiaan hanyalah persoalan intelektual saja. Namun faktanya kebahagiaan melampaui dimensi intelektualitas. Oleh sebab itu, pikiran manusia tidak dapat, dan tidak bisa memahaminya secara utuh. Kebahagiaan masih menyisakan misteri bagi manusia yang hendak mencarinya.

Dengan kata lain kebahagiaan merupakan harapan, keinginan, atau sebuah cita-cita yang layak untuk terus dikejar. Di dalam pengalaman hidup sehari-hari kita bisa saja menemukan banyak cara untuk mencapai kebahagiaan ini. Beberapa filsuf dari Inggris, yang mengajarkan cara untuk mencapai kebahagiaan, lebih memilih menggunakan kata well-being, daripada kata happiness. Itulah konsep kebahagiaan menurut mereka. Di peradaban Yunani Kuno, para filsuf menggunakan kata Eudaimonia. Tidak ada kata yang pas untuk menerjemahkan maksud kata itu, namun kira-kira maksudnya terkait dengan kebahagiaan.

Menurut pandangan kita, sebagai orang tua dari anak-anak kita, kebahagiaan itu terjadi pada saat anak-anak kita menyelesaikan sekolahnya, pada saat anak-anak kita menikah dan pada saat anak-anak kita melahirkan seorang cucu. Namun, mungkin berbeda buat keluarga-keluarga lainnya di sekitar kita. Dan ternyata, konsep kebahagiaan selalu berakar pada kehidupan manusia. Kebahagiaan itu tidak hanya soal kesenangan saja, tetapi juga soal penderitaan untuk meraih sesuatu, harapan, tangis, dan bahkan amarah, dan di dalam proses itu, kebahagiaan adalah proses trial and error, yakni proses untuk mencoba, mengalami kesalahan, dan kemudian mencoba lagi. Maka tidak ada yang abadi di dalam kebahagiaan, kecuali proses yang dijalani manusia untuk memperolehnya. Dalam arti ini kebahagiaan adalah suatu proses belajar manusia di dalam menjalani kehidupan.

Mencermati kebahagiaan sebagai suatu proses, bisa kita maknai bahwa kebagiaan akan selalu berubah sesuai perkembangan hidup dan fikiran manusia. Berarti pula sejarah kebahagiaan akan sama panjangnya dengan sejarah kemanusiaan di muka bumi ini. Kita menyaksikan kisah-kisah kebahagiaan sejak Adam-Hawa diciptakan. Pada saat Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, pada saat Hawa dipertemukan kembali dengan Adam di Jabbal Rahmah, setelah bertahun-tahun terpisah karena melanggar larangan Allah.

Memang kebahagiaan tidak mempunyai dimensi abadi di dalam dirinya sendiri. Yang abadi adalah Tuhan, serta usaha manusia untuk mendekati-Nya, dan kemudian memperoleh kebahagiaan. Namun bukan berarti kebahagiaan itu sama sekali tidak memiliki tatanan, atau bahwa kebahagiaan itu penuh dengan relativitas. Kebahagiaan tidak memiliki konsep yang pasti sepanjang jaman, karena ia tertanam erat pada derita, tawa, dan tangis manusia yang berubah sepanjang jaman, serta berubah seiring dengan perubahan pola berfikir manusia itu sendiri.

Mungkin saja, kebahagiaan seorang istri apabila suaminya tetap setia pada keluarga. Sementara kebahagiaan seorang suami ketika dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari anak-anak dan istrinya. Seorang majikan akan bahagia apabila bawahannya bekerja produktif, sementara kebagiaan bawahannya ketika ia dibayar layak sesuai apa yang dikerjakannya. Namun, banyak orang lupa bahwa mereka sesungguhnya sudah memiliki semuanya untuk merasa bahagia. Dalam kondisi itu mereka ingin mendapatkan lebih dari sekedar 'bahagia'. Dengan bahagia yang mereka maksud adalah keinginan untuk tertawa lebih banyak, mendapatkan kenikmatan lebih banyak, lebih sukses, lebih kaya, lebih berhasil dalam hal relasi dengan orang lain, dan 'lebih-lebih' lainnya. Perasaan tidak cukup tumbuh di hati mereka. Hidup bahagia tidak cukup, mereka menginginkan 'lebih' dari bahagia.

Jika kita mau memahami apa yang telah diteliti oleh Heather Summers and Anne Watson (2006), bahwa orang-orang yang paling berbahagia di muka bumi ini adalah orang-orang yang berpendapat, bahwa kebahagiaan merupakan suatu pilihan, bahkan suatu gaya hidup. Dan pilihan gaya hidup tersebut dapat dibentuk melalui proses pembiasaan, atau habituasi.

Menurut mereka, yang menjadi dasar dalam membentuk gaya hidup bahagia, antara lain, bahwa kita bisa dan akan terus berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan. Namun untuk mengerti arti kebahagiaan dan menjadi orang yang bahagia, kita perlu memahami apa arti ketidakbahagiaan terlebih dahulu. Ketidakbahagiaan adalah situasi-situasi, baik yang ada di luar maupun di dalam diri kita, yang tidak perlu, karena memangkas potensi kebahagiaan yang ada di dalam diri kita. Ketidakbahagiaan adalah semacam penghalang yang membuat pikiran kita terperangkap dalam emosi-emosi negatif, seperti takut, cemas, marah, sedih, dan sebagainya.

Dan ternyata, kebahagiaan kita akan senantiasa berbeda takaran dan jenisnya, karena kebahagiaan tidak lebih dari sebuah akibat. Ketika penyebabnya berbeda maka akibat yang ditimbulkannya juga akan berbeda. Jika penderitaan kita di sebabkan karena uang, maka kebahagiaan kita ada pada nominal uang yang kita peroleh. Oleh karena itu, yang penting dalam hidup ini, ketika kita menghadapi situasi sulit, cobalah untuk tidak terlalu memproyeksikan kebahagiaan kita ke masa depan. Cobalah untuk hidup disini dan saat ini. Insya Allah kita akan lebih bersemangat menghadapi tantangan di depan mata, dan kita akan menemukan kebahagiaan di situ.  Wallahu A'lamu Bishshawwab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun