Oleh. Purwalodra
Seminggu di kampung, menikmati liburan akhir tahun, aku menemukan puisi Kahlil Gibran tentang 'Kesenangan dan kesedihan'. Ketika cinta yang tertinggal di atas dedaunan talas, mengkristal seperti batu permata, usai hujan semalaman, kesenangan dan kesedihan tak lagi memiliki 'amplitudo' yang berarti. Kerna perjalanan panjang yang akan terlalui mampu menenggelamkannya, didasar dinamika kehidupan kita. Puisinya bercerita bahwa :
Kesenanganmu adalah kesedihan yang tersembunyi
Dan dalam diri yang sama dari mana tawamu bangkit adalah diri yang seringkali kaupenuhi dengan air mata.
Bagaimana tidak ?
Semakin dalam kesedihan menggali lubang dalam wujudmu, semakin banyak kesenangan yang akan dapat kau tampung.
Bukankah gelas yang menyimpan anggurmu adalah gelas yang dibakar bersama tembikar ?
Dan tidakkah seruling yang melambungkan jiwamu adalah bambu yang dikerat dengan pisau ?
Ketika engkau gembira, lihatlah di kedalaman hatimu, dan engkau akan melihat bahwa sebenarnya engkau sedang meratapi sesuatu yang pernah menjadi kebahagiaanmu.
Diantaramu ada yang berkata, "Kesenangan lebih besar dari kesedihan," dan yang lain berkata, "Bukan, kesedihanlah yang lebih besar."
Tapi kukatakan kepadamu, keduanya tak terpisahkan.