Oleh. Purwalodra.
Ketika manusia tenggelam dalam berbagai persoalan hidupnya, maka terbersit dalam fikiran konyolnya untuk mengakhiri hidupnya dengan segera. Namun begitu banyak pertimbangan ketika sesorang harus membunuh dirinya secara sengaja. Mereka akhirnya memutuskan untuk mati dalam hidup atau menunggu keajaiban datang padanya. Namun, jika persoalan itu menimpa saya, mungkinkan saya akan melakukan perjalanan menuju kelahiran, atau melakukan sesuatu yang mampu melepas belenggu pikiran yang lama-kelamaan merenggut nyawaku juga.
Perjalanan menuju kelahiran merupakan upaya jiwa dalam menelisik sejauh mana penyebab masalah kita itu muncul dalam kehidupan ini. Kemudian kita mencari jawaban atas pertanyaan, mengapa begini ? dan mengapa begitu ?. Upaya ini lebih baik dari pada mengakhiri hidup kita sendiri dengan segera. Karena masalah hidup berada pada ranah fisik, maka penyelesaiannya tentu perlu bantuan dari dalam diri kita yang bernama jiwa. Prinsipnya adalah, bahwa masalah fikiran tidak bisa diselesaikan dengan fikiran, masalah fikiran harus di selesaikan dengan cara-cara spiritual.
Menurut Sokrates masalah utama manusia adalah tubuhnya. Tubuh perlu makan, perlu istirahat dan perlu dipenuhi kebutuhannya, sehingga ia menghalangi hidup manusia yang ingin mencapai pengetahuan dan kebijaksanaan. Cita-cita tertinggi seorang filsuf adalah melepaskan diri dari kebutuhan tubuhnya, sehingga ia bisa bebas mengejar pengetahuan dan kebijaksanaan. Kematian adalah jalan paling baik untuk mencapai tujuan ini.
Sementara itu, pengetahuan tentang kebaikan dan kebenaran yang sejati, menurut Sokrates, hanya dapat dicapai melalui kegiatan dan tindakan dari jiwa. Selama manusia masih memiliki raga, ia tidak akan bisa mencapai pengetahuan tentang kebenaran dan kebaikan sejati itu. Pengandaian dasar Sokrates adalah, bahwa jiwa manusia itu adalah abadi, dan akan hidup terus, setelah kematian. Ada beberapa bukti atas argumen ini yang ditawarkan oleh Sokrates.
Pembuktian pertama menggunakan pola dialektik, yakni melihat kehadiran dari sesuatu dari lawannya, misalnya baik dan buruk, terang dan gelap, dan sebagainya. Jadi, sesuatu itu bisa ada dan tercipta, karena kehadiran dari lawannya. Argumen ini, menurut Sokrates, juga berlaku untuk pembuktian, bahwa kehidupan bisa lahir dari kematian, sama juga kematian selalu lahir dari kehidupan. Fakta bahwa kehidupan setelah kematian itu mungkin juga merupakan dasar untuk berpendapat, bahwa jiwa manusia itu abadi.
Pembuktian kedua disebut Sokrates sebagai argumen “mengingat kembali”. Ketika orang mengetahui sesuatu yang baru, selalu terbersit sejenak di dalam pikirannya, bahwa ia sudah mengetahui hal ini sebelumnya. Ia hanya lupa, dan merasa, bahwa itu adalah pengetahuan baru. Juga jika kita melihat sesuatu yang indah, kita sering merasa, bahwa kita telah melihat itu sebelumnya, dan kita merindukannya.
Menurut Sokrates, ini adalah bukti, bahwa jiwa kita sebagai manusia sudah ada sebelum kita hidup. Jiwa adalah abadi, dan ia telah mengetahui banyak hal. Ketika kita lahir, jiwa kita kehilangan sebagian pengetahuannya. Maka, kita mesti belajar, karena belajar adalah tindak mengingat kembali, apa yang telah kita lupakan sebelumnya. Dalam hal ini, Plato, yang menggunakan mulut Sokrates untuk mengutarakan pendapatnya, belajar banyak dari Phytagoras, terutama tentang ide jiwa yang berpindah dan kelahiran kembali.
Pembuktian ketiga adalah argumen perbandingan antara jiwa dan raga. Jiwa itu tak terlihat dan tetap. Sementara, raga itu terlihat dan terus berubah. Jiwa itu abadi. Sementara, raga itu berubah, dan dapat hancur. Dualisme semacam inilah yang, menurut Sokrates, menggerakan seluruh kenyataan yang ada , yakni tegangan antara “yang terlihat-berubah” dan “yang tak terlihat-abadi”.
Pembuktian keempat adalah hubungan yang amat erat antara jiwa dan raga. Jiwa adalah penyebab, sementara raga adalah akibat. Dasar logis dari argumen ini adalah, bahwa sesuatu tidak bisa berdiri sendiri di dalam kenyataan, melainkan selalu mengandaikan adanya hal lain yang bersifat universal. Menurut Plato, yang universal ini adalah ide.
Benda-benda di dalam kenyataan selalu berubah dan tidak sempurna. Sementara, ide selalu sempurna dan abadi. Misalnya, kita bisa punya wajah cantik. Namun, wajah itu bisa berubah, misalnya menjadi menua. Namun, ide tentang kecantikan tidak akan pernah hilang, walaupun wajah kita sudah tidak cantik lagi. Wajah yang cantik adalah hal di dalam kenyataan. Sementara, ide kecantikan adalah ide yang bersifat universal.