Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Percayai Dirimu, Untuk Menjadi Otentik dan Unik!?

14 Oktober 2015   18:59 Diperbarui: 9 Oktober 2017   22:31 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Ketika saya mencoba mengamati berbagai peristiwa, dan perilaku masyarakat di sekitar saya, ternyata sikap dan perilaku masyarakat sudah berada di antara dua kutub ekstem kehidupan. Satu sisi sikap dan perilaku masyarakat berada pada kutub rasionalitas yang tinggi. Tapi, di sisi lain, mereka menggenggam sikap dan perilaku irrasionalitas yang ekstrem. Dua kutub ekstrem ini saling berlawanan, dan satu sama lain menganggap dirinya paling benar. Menurut saya, dua kutub ekstrem antara rasionalitas dan irrasionalitas ini, bukanlah kutub negatif dan kutub positip. Namun, kedua bentuk sikap dan perilaku ini tidak lebih hanya saling melengkapi satu sama lain.

Menyadari kehidupan yang begitu ekstrim di masyarakat kita, satu sisi hidup dalam dunia rasional dan di sisi lain hidup di dalam irrasionalitas, akan menjadikan diri kita hidup di antara kedua kutub ekstrem tersebut. Tapi, jika kita tak menyadarinya maka kita akan menjadi bagian dari kutub ekstrem itu. Kita akan kehilangan keotentikan diri kita sendiri. Oleh karena itu, kita perlu mengembangkan kepercayaan pada diri sendiri.

Nietzsche, filsuf Jerman yang hidup lebih dari satu abad yang lalu, pernah menulis, “Dalam diri seseorang, yang dibutuhkan adalah kepercayaan untuk berkembang, keinginan akan elemen yang stabil dan tak tergoyahkan, sehingga orang bisa menyandarkan dirinya.” Dia juga menambahkan, “Kebutuhan akan sandaran tak tergoyahkan itu adalah tanda kekuatan orang tersebut, atau mungkin juga tanda kelemahannya.”

Dari pernyataan Nietzsche tersebut, kita bisa berasumsi bahwa setiap diri perlu mengembangkan rasa percaya dirinya dengan berbagai sandaran dalam diri kita sendiri, bukan dari luar diri kita. Dengan begitu, kita akan mampu memaknai setiap sikap dan perilaku kita di hadapan berbagai problematika hidup. Oleh karena itu, setiap kepercayaan selalu mengandaikan adanya sesuatu, yakni kebutuhan untuk percaya itu sendiri. Kebutuhan semacam inilah yang memberi rasa stabil, memberi juga rasa bersandar kepada sesuatu yang dipercayai, untuk menjadi bagian dari jalan hidup kita.

Nietzsche sebenarnya ingin mengatakan kepada kita, bahwa hubungan antara isi kepercayaan dan kebutuhan akan percaya didalam diri kita akan menjadi tanda kekuatan ataupun kelemahan seseorang. Pertanyaannya, bagaimana mekanisme kepercayaan bisa terjadi?

Biasanya, yang terjadi bahwa kita sering mengkaitkan antara isi kepercayaan disatu sisi, dan subyek yang percaya disisi lain. Kepercayaan dianggap sebagai hasil relasi antara subyek yang percaya, yakni manusianya, dengan isi kepercayaan diluar dirinya. Dengan demikian, semakin subyek secara kuantitatif mengetahui banyak isi kepercayaan, semakin ia tidak terikat kepada salah satu kepercayaan. Dari titik ini, saya hanya ingin menekankan untuk lebih fokus kepada salah satu isi kepercayaan, yakni diri kita sendiri. Setidaknya kita mampu mempercayai diri kita sendiri, melalui upaya untuk lebih otentik dan unik.

Sudah menjadi pendapat umum, bahwa tidak ada yang lebih membahagiakan diri kita, selain menjadikan diri kita otentik. Hidup otentik berarti hidup asli, tanpa paksaan dan kepura-puraan. Untuk menjadi otentik, kita perlu mengenali diri kita sendiri, termasuk kekuatan maupun kelemahannya. Hanya dengan menjadi otentik, kita bisa mencapai kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidup ini.

Menurut Whitney Johnson, bahwa setiap orang memiliki apa yang disebutnya sebagai ketrampilan-ketrampilan yang mencengangkan (disruptive skills). Ia menyatakan bahwa hal Ini adalah kapasitas-kapasitas yang ada di dalam diri kita namun kita tidak menyadarinya. Ketrampilann ini unik dan hanya dapat diraih melalui latihan bertahun-tahun. Dengan mengenali ketrampilan unik ini di dalam diri, kita bisa meningkatkan nilai diri kita sendiri di dalam masyarakat. Tapi, bagaimana cara mengenali ketrampilan unik dalam diri ini ? Mungkin, inilah yang menjadikan Whitney Johnson bertahun-tahun meneliti, dan menuliskannya dalam Harvard Business Review, yang berjudul  “How to Identiy Your Disruptive Skills.”

Untuk menjawab pertanyaan diatas, Johnson menyarankan agar kita mengajukan pertanyaan ini pada dirinya sendiri, yakni,  “Apa yang aku pikirkan, ketika aku tidak harus berpikir tentang apapun?Apa yang akan aku terus lakukan, bahkan ketika tidak seorang pun akan membayarku melakukan itu?” Dengan menjawab pertanyaan itu, kita akan secara perlahan namun pasti menemukan ketrampilan unik yang hanya kita miliki.

Kemudian, ia juga menyarankan kepada kita, agar mencoba menanyakan kepada orang lain, apa yang kiranya mereka anggap merupakan kekuatan unik dari diri kita. Seringkali masukan ataupun penilaian dari orang lain akan membukakan mata kita tentang siapa kita sesungguhnya. Namun jangan salah, penilaian itu bisa membangkitkan kepercayaan diri, atau justru melenyapkan harapan kita. Kita harus cukup peka membedakan keduanya. Coba fokus pada apa yang bisa membangunkan kepercayaan diri, lalu tekuni itu secara perlahan, namun pasti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun