Oleh. Purwalodra
Dalam pergaulan sehari-hari, kita sering menemukan orang-orang yang ada di komunitas kita, melakukan tindakan atau perilaku yang tidak sewajarnya dilakukan. Perilaku ini biasanya untuk menutupi sesuatu yang sengaja disembunyikan, atau sebagai bentuk tanggungjawab untuk menjaga hubungan yang baik dengan seseorang. Sehingga seseorang, terpaksa melakukan tindakan berpura-pura. Bisa berpura-pura baik, berpura-pura sombong, berpura-pura ramah, dan sebagainya. Secara fisik, kita tidak mampu membedakan, orang yang benar-benar sombong dengan orang yang pura-pura sombong. Atau, bahkan kita sulit membedakan orang yang benar-benar baik, dengan orang yang pura-pura baik. Namun demikian, kemampuan kita untuk berpura-pura, ternyata juga mampu merubah diri kita secara positip ?!.
Menurut, Elias Canetti, penulis dan pemikir asal Bulgaria, yang mencoba mengamati berbagai bentuk perilaku manusia, dan mengaitkannya dengan perilaku hewan. Salah satu perilaku yang menonjol adalah sikap berpura-pura. Perilaku semacam ini tampak di dalam perilaku bunglon. Ketika latar belakang berubah, maka si bunglon akan mengubah warna tubuhnya, guna menyesuaikan dengan latar belakangnya. Jika hal ini dikaitkan dengan perilaku manusia, maka inilah yang saya sebut sebagai cara lain untuk menyelamatkan diri sendiri.
Ternyata, kita diberi kemampuan oleh Tuhan, untuk berpura-pura di hadapan orang lain, guna mencapai tujuan dan kepentingan kita. Lalu kita menyebutnya sebagai kemampuan beradaptasi, atau kemampuan untuk menyesuaikan diri. Namun, di balik itu, kitapun mengetahui, bahwa kita berusaha memoles tampilan luar kita, agar sesuai dengan keadaan di luar diri kita. Bahkan, kita bisa menipu diri kita sendiri, agar bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar kita.
Dalam dunia politik, mungkin perilaku seperti ini sering terjadi. Orang bisa saja menjual harga dirinya demi ‘kepentingan’ yang dianggap abadi. Kepura-puraan ini merupakan strategi, sekaligus senjata untuk melakukan sebuah manufer secara politik. Pertanyaannya, mengapa kita berpura-pura ?.
Biasanya, kita berpura-pura karena ada rasa takut pada diri kita. Kita berpura-pura, supaya kita mampu melindungi diri kita sendiri dari masalah yang datang dari luar diri kita. Sehingga, kita menampilkan jati diri atau identitas diri kita yang tidak sebenarnya. Dengan begitu, kita akan terselamatkan dari tuntutan atau rongrongan dari luar diri kita. Kepura-puraan inilah yang bisa menyelamatkan diri kita dari berbagai ancaman yang ada.
Selain itu, kepura-puraan kita juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan atas pengakuan dari orang lain. Kita bisa melebih-lebihkan diri. Kita bisa tertawa berlebihan. Kita bisa berbicara berlebihan. Kita melakukan semua ini, sebenarnya hanya untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain, bahwa kita adalah orang yang hebat, berharga dan, mungkin saja, bahagia ?!.
Selanjutnya, kita bisa berpura-pura untuk mencapai tujuan tertentu dengan jalan-jalan yang lebih mudah. Memang, hal-hal yang berharga di dunia ini seringkali sulit untuk dicapai. Oleh karena itu, banyak orang berpura-pura untuk mencapai hal-hal tersebut dengan cara-cara yang gampang. Orang lebih mudah menipu orang lain, guna mendapatkan tujuan dan kepentingan yang ia inginkan. Sebagai contoh, orang berpura-pura baik dan jujur, walaupun ia korup dan suka menipu. Jika orang lain tahu siapa dirinya yang asli, maka tujuannya tidak akan tercapai. Oleh karena itu, ia lalu bersembunyi di balik topeng-topeng perannya. Makanya, ia kemudian berpura-pura ?!!.
Berpura-pura juga bisa digunakan untuk memotivasi diri. Kita seringkali merasa tidak percaya diri di hadapan tugas-tugas yang berat. Kita juga sering kali cemas dan grogi, jika harus berhadapan dengan orang-orang yang memiliki prestasi besar. Kepura-puraan, dalam hal ini, diperlukan sebagai upaya untuk meningkatkan motivasi diri, guna menghadapi tantangan yang harus kita hadapi di depan kita.
Ternyata juga, kepura-puraan kita merupakan tindakan untuk mencapai harapan-harapan. Kita berpura-pura rajin, walaupun sebenarnya kita malas mengerjakan tugas-tugas yang menjadi pekerjaan kita itu. Kepura-puraan ini bisa mengubah kebiasaannya yang malas, lalu menjadi orang yang rajin. Kepura-puraan kita, yang dibalut dengan harapan dan ditujukan untuk perubahan diri sendiri, akan menjadikan kita lebih baik dari sebelumnya. Dengan begitu, maka kepura-puraan kita mampu memberi kontribusi positip terhadap diri sendiri.
Kepura-puraan ini juga bisa digunakan sebagai bagian dari pengkondisian di masyarakat kita. Bahkan, kepura-puraan ini menjadi sebuah keharusan di masyarakat kita, guna mengurangi kecemasan dan sikap-sikap anarkhis lainnya. Sebagai contoh saja, masyarakat kita harus bisa berpura-pura tidak mengalami krisis, karena penurunan nilai rupiah terhadap dollar USA dan kenaikan harga-harga sembako, hal ini bertujuan agar masyarakat tidak panik dan cemas. Jadi, kepura-puraan ini merupakan tindakan yang dianggap berharga dan wajib dijalankan oleh seluruh anggota masyarakat, agar tidak  menimbulkan banyak gejolak. Dengan begitu, maka kondisi politik tetap bisa terkendali dan stabilitas bisa terjaga. Tapi sekarang, justru gejolak itu muncul ketika salah satu parpol berani membelot ke kubu lainnya ?!. He .. he .. he .. Apakah manufer politik ini juga termasuk peilaku berpura-pura ?!!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.