Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Pendidikan" Kita Dibalut Perban

12 Desember 2014   16:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:27 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

[caption id="attachment_382121" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]

Dalam diskusi tentang Kurtilas (kurikulum dua ribu tiga belas) di kantor yayasan, aku sedikit memaksakan diri untuk menjadi benar. Meskipun sebenarnya itu masih dalam koridor relativistik. Bagiku, ketika kurtilas sudah dinyatakan tidak lagi berlaku di bumi Indonesia, maka selesai sudah kurikulum tersebut berlaku legal di negeri ini. Namun demikian, opsi-opsi lain yang mengikuti pemberhentian berlakunya kurtilas oleh Pemerintah, menjadikan pendidikan kita mengalami kecelakaan sejarah yang melukai seluruh sivitas akademika di Indonesia.

Berbagai kekurangan maupun kelebihan yang ada dalam kurtilas ini, tentu menjadi kajian banyak pihak, namun yang perlu menjadi perhatian kita semua adalah bahwa kurikulum suatu pendidikan hendaknya tidak menyimpang dari tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Sudah semestinya, untuk menciptakan atau membentuk kurikulum baru, pemerintah harus mengacu pada kurikulum sebelumnya. Kurtilas harus berdasarkan evaluasi dari kurikulum-kurikulum yang lalu, sehingga baik itu kualitas maupun dari segi prosesnya akan berjalan dengan baik, serta memberi ruang kepada para pendidik untuk ikut 'cawe-cawe' (ikut serta) merumuskan kurikulum tersebut. Dan yang lebih penting lagi kurikulum tidak perlu harus dipaksakan dan ditargetkan untuk bisa berlaku secepatnya.

Meskipun terlihat lebih detil dalam evaluasi dan prosesnya, kurikulum dua ribu tiga belas, ini memiliki kendala praksis yang cukup signifikan, antara lain keseimbangan antara orientasi dari proses pembelajaran dengan hasil dalam kurikulum 2013 itu sendiri. Keseimbangan sulit dicapai karena kebijakan pada ujian nasional (UN) masih juga diberlakukan. UN hanya mampu mendorong orientasi pendidikan pada hasil dan justru sama sekali tidak memperhatikan proses upaya pembelajaran. Hal ini akan berdampak pada dikesampingkannya subjek mata pelajaran yang tidak diujikan dalam UN tersebut. Padahal, mata pelajaran non-UN juga mampu memberikan kontribusi yang besar untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Kemudian, Pemerintah mengintegrasikan subjek mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) terhadap Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk level jenjang pendidikan dasar.

Selanjutnya, meminjam kosa kata Syafii Maarif, bahwa dunia pendidikan Indonesia perlu siuman. Caranya sederhana yang bisa ditempuh, antara lain para praktisi pendidikan dan semua orang yang terkait di dalamnya, termasuk orang tua murid, harus kembali memahami makna dasar dari pendidikan itu sendiri. Pemahaman tersebut kemudian menjadi nyata di dalam tindakan.

Dari kondisi yang terjadi di Indonesia, terkait dengan dihentikannya implementasi kurtilas ini, mungkin perlu kita cermati lagi dua penyakit akut pendidikan Indonesia yang selama ini belum terobati. Yang pertama adalah tiadanya paradigma pendidikan yang kokoh. Yang bercokol adalah kelatahan dan mental konformis. Kesemuanya menandakan matinya integritas pendidikan.

Pendidikan diorientasikan untuk mencari keutungan finansial. Segala variabel pendidikan pun diukur dengan pola pikir bisnis. Kustomisasi gelar yang tidak perlu menjadi barang dagangan yang laku. Pembelinya adalah konsumen-konsumen dangkal yang tertipu pasar.

Pimpinan institusi pendidikan tak ubahnya pedagang kacang. Mereka menjajaki kacang-kacang pendidikan di pasar manusia. Manusia pun kini seperti kacang. Mereka adalah komoditi yang siap dihisap untuk memperoleh uang. Para praktisi pendidikan mengalami krisis identitas.

Si pedagang kacang berpikir, bahwa pendidikan harus mengabdi sepenuhnya pada dunia kerja. Tuan utama pendidikan adalah industri. Maka manusia harus dicetak sesuai dengan kebutuhan industri. Siswa didik tak ubahnya seperti obeng atau tang pertukangan. Mental pengecut adalah dasar di balik cara berpikir ini. Para praktisi pendidikan takut, bahwa mereka kehilangan relevansi. Semua pikiran dan tindakan mereka dibayang-bayangi rasa takut kehilangan kehidupan. Irasionalitas adalah buah dari ketakutan semacam ini. Ketakutan itu memperbodoh. Ketakutan itu membuat manusia menjadi dangkal. Kebijakan yang keluar dari ketakutan lebih akan menghancurkan, daripada menyelamatkan. Tidak ada kejernihan di dalamnya.

Dua penyakit akut ini telah membunuh pendidikan Indonesia, sebelum kurtilas diberlakukan. Neoliberalisme telah menghisap roh pendidikan dari semua institusi pendidikan formal Indonesia. Pola berpikir link and match yang pernah menjadi trend dalam pendidikan kita, juga telah melenyapkan esensi pendidikan itu sendiri. Keduanya seperti kanker yang menggerogoti pikiran para praktisi pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun