Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyelaraskan Diri dengan Kehendak-Nya

26 November 2014   12:27 Diperbarui: 4 Oktober 2017   22:17 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Kemaren, sembari makan siang bersama teman karib yang sudah tidak lagi jadi sahabat, aku berbincang tentang berbagai hal, mulai dari pekerjaan, pendidikan sampai dengan perempuan. Perbincangan itu begitu dalam sampai-sampai menyentuh sisi spiritual kehidupan. Aku yang mencoba memaknai semua peristiwa menjadi sebuah filofi hidupku, dan mengakui bahwa apapun yang datang dan pergi dalam hidup kita adalah kehendak-Nya. Ia tak bisa ditawar apalagi kita rencanakan. Sementara, temanku bilang, bahwa tidak semua peristiwa datang dan pergi begitu saja, ia sebenarnya kita tarik dalam kehidupan kita, tanpa kita sadari bahwa semua itu kita yang menginginkannya.

Percakapan yang tidak mengindahkan waktu istirahat kantor siang kemaren, Sampai pada suatu pertanyaan yang sama, yakni bagaimanakah sebenarnya hubungan antara kehendak Tuhan dengan kebebasan manusia?. Tuhan, dalam hampir setiap perspektif agama, dipandang sebagai suatu zat yang maha tinggi dan bersifat absolut. Oleh sebab Dia tidak dibatasi ruang dan waktu, dan semua limit yang berlaku bagi makhluk-Nya, maka sebenarnya tuhan itu berada di luar lingkaran alam ini. Sehingga dari sini, lahirlah pemahaman bahwa untuk berhubungan dengan Dzat yang ada di luar lingkaran ini dibutuhkan suatu perantara, yang bagi orang jahiliyah, perantara itu adalah  batu, matahari, pohon-pohon dan sebagainya.

Pemahaman seperti diatas dibantah oleh Allah melalui firman-Nya, "jika hamba-Ku bertanya tentang Aku, katakanlah Aku dekat". Ayat ini, seterusnya juga menunjukkan bahwa Tuhan berperan aktif dalam kehidupan kita di dunia ini, di bumi, di semesta ini. Nah, di sisi yang lain, dalam pandangan umum, manusia itu dikatakan bersifat bebas. Jika kita kaitkan kebebasan manusia dengan kehendak dan peran aktif tuhan dalam kehidupan ini, maka timbul pertanyaan apakah manusia itu benar-benar bebas?. Pasalnya, jika Tuhan mengintervensi hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia, melalui kehendak bebas-Nya dan kekuasaan-Nya maka manusia itu sebenarnya tidaklah bebas. Ia senantiasa  berada dalam garis kehendak tuhan. Maka dari itu, kebebasan manusia senantiasa ada dalam batas-batas kehendak tuhan, jika manusia tetap ingin dikatakan bebas.

Kita melihat bahwa konteks kehendak dan kebebasan itu adalah dua istilah yang berbeda. Kemudian, timbul pertanyaan, mengapa tidak disesuaikan saja, misalnya istilah kehendak tuhan dengan kehendak manusia, atau kebebasan tuhan dengan kebebasan manusia?. Kehendak, bagaimana pun juga, ia secara hakikat sudah mengandung arti kebebasan. Siapapun yang berkehendak, maka sebenarnya ia sedang 'membebaskan' keinginannya dari batasan yang ada. Manusia tentu memiliki banyak kehendak, ia ingin kaya, hendak berkuasa, hendak berimajinasi, hendak abadi, dan hendak memiliki ini-itu. Begitu juga dengan alam, ia juga memiliki kehendak. Akan tetapi, kehendak manusia dan alam ini tidak dapat diwujudkan seluruhnya, karena batas-batas yang dimilikinya.

Kita dan alam, dalam mewujudkan apa yang kita kehendaki ternyata terbentur dengan keterbatasan kemampuan. Bahkan aku membayangkan, jika manusia itu kuasa, tentulah ia akan menjadikan dirinya sebagai tuhan, sebab manusia memang memiliki keinginan untuk itu. Aku rasa, alam juga begitu, ia berkeinginan untuk menjadi tuhan. Masalahnya adalah apakah makhluk mampu menjadikan dirinya memiliki kekuasaan layaknya tuhan?. Tentu  jawabannya tidak. Maka dari itu, tidaklah sesuai jika kita mensejajarkan istilah kehendak tuhan dengan kehendak  bebas manusia, begitu juga dengan istilah kebebasan tuhan dengan kebebasan manusia.

Oleh sebab itu juga, paling jauh, kebebasan manusia itu terbatas pada pilihan (hukum) yang diberikan tuhan, dan kebebasan dalam arti hubungannya dengan sesama manusia. Seperti yang saya sebutkan di atas, frasa kebebasan tuhan ternyata tidak relavan dengan frasa kebebasan manusia. Sehingga dengan begitu, kebebasan manusia, jika kita memakai istilah ini, adalah kebebasan dalam memilih koridor-koridor hukum tuhan. Pengertian hukum disini adalah pengertian hukum dalam arti yang luas, termasuk juga di dalamnya hukum alam (sunnatullah) dan hukum syariah. Maka dari itu sejak lahir, sebenarnya kebebasan manusia itu hanya berada di sekitar kebebasan memilih ini-itu saja. Manusia bebas memilih, apakah ia taat kepada tuhan atau tidak.

Manusia juga bisa memilih apakah menghormati hak orang lain atau tidak.Ternyata kita memang hanya bisa memilih. Adapun kemampuan kita berbuat dibatasi oleh hukum tuhan juga. Manusia mungkin hendak menjadikan dunia ini bebas dari diskriminasi, bebas dari perbudakan. Nyatanya, kita terikat juga dengan hukum alam yang tuhan ciptakan. Kita tidak bisa membersihkan hati semua manusia dari kerakusannya akan kekuasaan, yang menyebabkan ia memperbudak manusia lainnya. Nyatalah bagi kita, keterbatasan hak kita, dan keterbatasan kemampuan kita.

Dari sini dapatlah dipahami bahwa mengapa di masa-masa sebelumnya tidak ada istilah hak asasi manusia dalam Islam. Sejak awal, Islam telah menonjolkan pembebanan kepada manusia. Aku rasa, istilah mukallaf jelas-jelas menunjukkan  Islam memandang manusia sebagai subjek dari segala beban hukum. Ia adalah orang yang dibebani dengan ketentuan Ilahi. Dari perspektif taklif, manusia ternyata tidak memiliki kebebasan murni bahkan cenderung manusia itu adalah pihak yang dijadikan obyek hukum (sunatullah). Dan dari perspektif ini juga manusia ternyata harus menjaga manusia lainnya.

Jika pada perspektif hak asasi di awali dengan pernyataan bahwa manusia itu memilih hak-hak dasarnya, kemudian baru diikuti dengan keharusan untuk menghormati dan memelihara hak-hak dasar ini, maka dalam perspektif Islam tidaklah demikian. Justru Islam terbalik dalam hal ini. Islam lebih mendahulukan kepada perintah menghormati dan menjaga hak-hak dasar manusia yang kemudian akan diikuti dengan hasil terpeliharanya hak-hak dasar manusia itu. Dengan kata lain, Islam lebih mengedepankan kewajiban untuk memelihara manusia dan segala hal  yang melekat padanya, ketimbang menuntut hak dirinya sendiri.  Sebab, siapa pun yang mengamalkan Islam secara kaffah dan juga memiliki pemahaman yang kaffah tentangnya, maka sebenarnya ia sudah bertindak melindungi hak asasi manusia melampaui apa yang digembar-gemborkan oleh pihak barat hari ini.

Islam memandang itu semua adalah kewajiban manusia,  baik terhadap sesamanya maupun terhadap Tuhannya. Karena kewajiban, maka manusia tidak boleh semena-mena terhadap jiwanya, terhadap badannya. Tidak boleh semena-mena terhadap harta, tidak boleh semena-mena terhadap kelanjutan hidup dan generasinya. Sebab itu semua adalah amanah. Jiwa, harta, dan lainnya. Itu semua milik tuhan. Maka, walaupun Islam memelihara jiwa, harta manusia, namun Islam tidak membenarkan pembunuhan manusia terhadap dirinya sendiri, atau mengubah-ubah ciptaan Tuhan. Karena itu semua pada dasarnya adalah hak tuhan, bukan hak manusia. Oleh karena itu, kewajiban manusia lah untuk menjaga hal-hal tersebut, agar sesuai dan selaras dengan kehendak-Nya. Wallahu A'alam Bishshawwab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun