Excel Philosophy, ditulis kembali oleh Purwalodra
[caption id="attachment_398699" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]
Merujuk pada tulisan Excel Phylosophy (22/2/2015) pada kolom Filsafat di Kompasiana ini yang berjudul ‘Tuhan Agamawan Vs Tuhan Einstein”, rasanya saya begitu tertarik untuk kembali menulis ulang tulisan anda dengan gaya bahasa dan redaksi yang sedikit berbeda, namun makna dan maksud tulisan tetap sama, yakni bagaimana kita mengenal Tuhan dari sudut Agamawan dan Ilmuwan (Einstein).
Satu sisi, kaum agamawan meyakini Tuhan dari sudut personal, sisi lain kaum ilmuan meyakini Tuhan dari sudut penelitian dan pengalaman pengetahuannya. Keduanya tidak ada yang perlu dipersalahkan, namun kekuatan keyakinan inilah yang mungkin bagi seorang rasional-pragmatis seperti saya memiliki kekuatan yang berbeda. Mohon izin kepada Excel Philosophy untuk menayangkan kembali tulisan anda dengan judul yang berbeda, dan saya sangat mengapresiasi tulisan anda.
Konsep Tuhan yang kita kenal dan yang kita fahami dari ajaran ‘institusi agama’ mungkin saja kita maknai secara tekstual, kita hanya melihat dan memahami Tuhan dari sudut pandang antropomorfis-simbolis. Maksudnya, Tuhan dalam pandangan tersebut cenderung bersosok dan seolah memiliki sifat kemanusiaan (personal) secara harfiah. Dimana Tuhan personal tersebut dengan kehendaknya dapat menghukum dan memberi pahala bagi manusia (dalam pehamaman simbolis semata).
Tak bisa dipungkiri, Tuhan seringkali dikonsepkan dalam sebuah gagasan oleh para agamawan. Tanpa disadari, konsep Tuhan yang dipahami oleh para kaum agamawan tersebut justru membatasi Tuhan itu sendiri. Makna Tuhan menyempit, sesempit fikiran kita, manusia. Dalam hal ini, konsep Tuhan personal yang dipahami secara harfiah, seperti halnya manusia.
Tuhan personal (dalam pemahaman harfiah), sebenarnya sangat berpotensi untuk membunuh Tuhan itu sendiri. Misalnya saja pada konsep Tuhan personal, dimana beberapa sifat Tuhan yang kita kenal, antara lain :
- Omnipotent (Maha Kuasa, bisa melakukan apapun, kapanpun dan dimanapun)
- Omniscience (Maha Mengetahui, bisa mengetahui segalanya baik di masa lalu ataupun di masa depan)
- Omnipresent (Bisa berada di manapun)
Persoalannya, bagaimana mungkin Tuhan bisa omnipotent dan omniscience sekaligus?Jika Tuhan omniscience, berarti Dia bisa mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan. Sedangkan jika dia omnipotent, dia bisa melakukan apapun di masa depan.
Jika Tuhan dengan kemampuan Omniscience-Nya mengetahui bahwa di masa depan akan terjadi kejadian A, lalu dengan kemampuan omnipotent-Nya Dia mengubah kejadian tersebut menjadi kejadian B, maka secara tidak langsung Tuhan salah tentang pengetahuan awalnya mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan.
Atau bisa saja Tuhan mengetahui kalau Dia akan mengubah kejadian A menjadi kejadian B, tapi dengan kemampuan omnipotent-Nya Dia tidak mengubah apapun di masa depan sehingga di masa depan tetap terjadi kejadian A. Secara tidak langsung, Tuhan salah mengenal pengetahuan awalnya akan masa depan.
Kasus di atas hanya salah satu contoh argumen yang mematahkan konsep “Tuhan Personal” yang dipahami secara harfiah oleh sebagian besar kita, kaum beragama. Pandangan mengenai Tuhan Personal justru sangat berpotensi untuk menghancurkan sifat transenden Tuhan. Memahami Tuhan hanya sebatas simbolis saja akan mengikat Tuhan dalam gagasan imanen dan menghancurkan transendensi-Nya.
Karena pemahaman harfiah kita tentang Tuhan justru mengikat Tuhan hanya dalam konsep imanen, bukankah itu berarti mematahkan sifatnya yang omnipresent ? Jika Tuhan itu omnipresent seharusnya Tuhan bisa saja berada dalam kondisi transenden maupun imanen, walaupun itu adalah dikotomi yang berlawanan.
Bertolak dari situ, para saintis seperti Albert Einstein mencoba membuat gagasan tentang Tuhan yang impersonal. Dipengaruhi oleh hipotesa Spinoza dalam karyanya yang berjudul Ethics, Einstein kemudian menggagaskan bahwa “Tuhan merupakan Kecerdasan Tertinggi yang menampakkan dirinya dalam harmoni dan keindahan alam”. Tuhan bukanlah sesuatu yang bersosok (personal) seperti manusia secara harfiah. Sebagaimana pandangan Spinoza, Tuhan adalah struktur pengatur kosmis yang impersonal. Dalam pandangannya, sesuatu yang oleh salah satu Kitab Suci disebut sebagai aktifitas Ilahi, yang sejatinya adalah semacam hukum ketentuan alam. Sesuatu yang disebut sebagai kehendak Tuhan mengejawantah sebagai hukum-hukum alam yang bekerja sebagaimana mestinya (Sunatullah).
Melihat kedua pandangan baik dari kaum agamawan maupun saintis seperti Einstein sendiri, Excel Phylosophy berpendapat bahwa secara substansial, sejatinya mereka mengakui gagasan Tuhan transenden yg mendasari penciptaan dan harmoni alam semesta. Perbedaannya, kaum agamawan hanya sekedar menafsirkan Tuhan secara tekstual sedangkan Einstein menafsirkan Tuhan secara kontekstual. Tapi walaupun begitu, sifat-sifat Tuhan yang seolah-olah personal tetap dapat dipahami melalui hukum-hukum alam (Sunatullah).
Sifat-sifat Tuhan yang imanen hanyalah sifat-sifat universal Tuhan yang dapat dijangkau oleh akal manusia. Sedangkan sifat transenden adalah sifat-sifat khusus Tuhan yang tidak bisa diselami oleh akal secara rasional. Permasalahan utama kaum agamawan, mereka mempecayai Tuhan yang transenden, namun disaat yang sama mereka tanpa sadar memaknai sifat imanen Tuhan bahkan sampai ke sifat khususnya yang seharusnya di luar jangkauan akal. Mereka tanpa sadar menghancurkan sifat transenden Tuhan dan yang pada akhirnya mereka membunuh-Nya. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 23 Februari 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H