Oleh. Purwalodra
Perilaku masyarakat 'kapitalis semu' kita saat ini sudah berada di titik paling buruk dalam kehidupan masyarakat di sekitar kita. Perilaku ini bisa dilihat dari kenyataan sehari-hari, dimana tingkat emosional masyarakat, mulai dari level yang paling tinggi sampai masyarakat bawah, terlihat di jalan-jalan, di pasar-pasar, di mall-mall, di tempat-tempat ibadah, di ATM-ATM, bahkan di toillet-toillet umum. Tingkat emosional ini menjadi indikator masyarakat bahwa mereka berada dalam kegalauan 'tingkat dewa' dan sulit merasakan kedamaian, serta senantiasa diburu untuk mendapatkan banyak uang. Karena, karakteristik sistem kapitalis selalu mensyaratkan seseorang memiliki kekayaan sebagai modal untuk kehidupannya. Seseorang yang tidak memiliki uang banyak, tidak memiliki kehidupan.
Pada tingkat emosional yang tak terkendali inilah, kejahatan menjadi suatu peristiwa yang tidak akan disadari oleh setiap individu yang melakukannya. Mereka dengan sengaja bertindak jahat hanya untuk uang. Mereka menipu, menghasut, mencurigai, memprovokasi bahkan membunuh hanya demi uang. Saking sengajanya yang mereka perbuat, sebelum melakukan kejahatan, mereka berdo’a dan memohon pada Tuhan agar kejahatannnya sukses. Kalo perlu menggelar kegiatan syukuran, bagi-bagi berkat, atau apalah-apalah gituuu ?!.
Suatu ketika, seorang teman diam-diam mendapatkan promosi menjadi Kepala Bidang, tanpa sepengetahuan saya, di perusahaan dimana ia bekerja. Untuk melampiaskan rasa bahagia dan senangnya ini, ia kemudian mengajak saya pulang kampung untuk berziarah ke makam orang-tuanya, bahkan secara kecil-kecilan mengadakan syukuran dengan mengundang beberapa orang tetangga dan teman-teman lainnya. Yang terlihat dan terbaca dari motif semua ini adalah kebahagiaannya atas promosi yang diperolehnya, dan dengan harapan kehidupan ekonominya akan berubah, alias punya peluang untuk menmpuk kekayaan sebagai modal kehidupan berikutnya. Saya melihat, secara langsung maupun tidak langsung, teman saya ini menganggap bahwa uang dan kehormatan adalah segalanya, yang bisa merubah kondisi hidupnya. Namun apa yang terjadi berikutnya ?!. Di akhir masa jabatannya, ternyata bukan kekayaan yang diperolehnya, tapi justru meningkatnya jumlah hutang hampir dua ratus persen. Dan yang lebih tragis lagi, pergantian dirinya harus melalui konspirasi dari orang-orang diatasnya untuk menyingkirkannya. Kalo sudah begini, sakitnya tuh dimana-mana ?!!.
Meskipun, mungkin pengalaman teman saya diatas tidak ada pengaruhnya secara langsung dengan sistem kapitalisme, yang terlanjur kawin dengan orang-orang yang taat beragama, tapi paling tidak ketika seseorang menganggap bahwa uang dan kepopuleran menjadi tujuan hidupnya, maka ia sudah hidup tenggelam dalam isme-isme konsumen kapitalis. Mungkin, ini juga merupakan satu sisi gelap dari kehidupan manusia.
Memang, dalam kondisi alamiahnya, terlepas dari sistem apapun dan pandangan manapun di dunia ini, bahwa kehidupan manusia adalah perjuangan untuk melenyapkan sisi gelap dirinya sendiri. Kehidupan manusia adalah upaya untuk menjinakkan naluri destruktif yang tertanam di dalam hakekat dirinya. “Adalah merupakan suatu fakta nyata”, demikian tulis George Kennan, seorang ahli strategi Amerika Serikat pada masa perang dingin, “bahwa ada secuil sisi totaliter terkubur di dalam, jauh di dalam, diri setiap orang.” (Brooks, 2009)
David Brooks, seorang jurnalis New York Times, juga menegaskan, bahwa kejahatan itu nyata. Ia tidak bisa dibantah. Buktinya adalah keberadaan Hitler dan Stalin. Mereka mengorbankan begitu banyak nyawa untuk mewujudkan ambisi politisnya. Sementara itu, Hannah Arendt, seorang filsuf perempuan Jerman, juga berpendapat, bahwa kejahatan itu muncul di dalam banalitas (sesuatu yang buruk namun menjadi biasa dilakukan) kehidupan. Semakin manusia terbiasa bertindak jahat, semakin tindakan itu tidak terasa lagi sebagai jahat, melainkan sebagai sesuatu yang normal-normal saja.
Tentu saja sisi gelap manusia pun memiliki tingkatan, mulai dari maling ayam sampai koruptor, dan dari tukang contek sampai pelaku genosida. Lain lagi pendapat yang dikemukakan oleh Michel Foucault, baginya setiap bentuk pengetahuan adalah bentuk dari kekuasaan, dan kekuasaan itu memiliki fungsi penciptaan. Segala sesutu diproduksi oleh kekuasaan, termasuk pengetahuan kita tentang baik dan buruk. Maka dari itu kejahatan tidak buruk pada dirinya sendiri. Suatu tindakan tidaklah jahat pada dirinya sendiri. Manusialah yang menilainya sebagai jahat. Segala sesuatu di dunia ini temporal. (dalam Billington, 1997) Manusialah yang memberikan isi pada segala sesuatu.
Oleh karena itu, kita mencoba menyadari bahwa kejahatan itu nyata, baik sebagai penilaian subyektif, dan juga sebagai fakta obyektif. Perilaku jahat itu nyata. Motivasi jahat itu nyata. Manusia berperang melawan sisi gelap (jahat) di dalam dirinya sendiri, sehingga kita bisa mengatakan bahwa kejahatan dan perang itu abadi ?!!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 04 Agustus 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H