Oleh. Purwalodra
Beberapa waktu lalu, anak saya mengungkapkan kekecewaannya, bahwa lulusan SMK begitu terbatas memilih prodi perkuliahan, ketika kelak akan melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi. Lulusan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang ditujukan sebagai calon-calon tenaga kerja, atawa bisa langsung bekerja, berpengaruh pada peserta didik yang kelak akan melanjutkan pendidikannya. Alhamdulillah, saat ini hampir seluruh perguruan tinggi negeri  sudah mau menerima siswa SMK, namun soal-soal testnya masih disamakan dengan peserta didik lulusan SMA. Kondisi seperti ini, menjadi latar belakang para peserta didik untuk pindah sekolah ke SMA. Misalnya, kelas 10 mereka bersekolah di SMK, sementara kelas 11 dan 12-nya mereka pindah sekolah ke SMA.
Diskriminasi pendidikan semacam itu, semestinya sudah lama dihapuskan. Lulusan SMK tidak berarti harus bekerja setelah tamat. Dan, lulusan SMA pun tidak berarti harus melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi. SMK dan SMA sama-sama sekolah menengah, yang memberikan kebebasan peserta didiknya untuk bisa melanjutkan pendidikan tanpa diskriminasi. Dengan demikian, lulusan SMK pun kelak bisa menjadi seorang jenderal militer di kemudian hari.
Saya menyadari, masyarakat kita secara umum sedang mengalami kelupaan tentang arti pendidikan yang sejati. Pendidikan kita saat ini begitu menderita, karena berbagai kepentingan ideologis politik, ekonomi, bisnis, dan militer, kini ikut campur tangan menentukan arah dan isi pendidikan kita. Selain dari pada itu, pendidikan kita seolah-olah terkapar tanpa daya. Sementara, para praktisi pendidikan dan masyarakat pada umumnya lupa, bahwa pendidikan tidak hanya ada untuk mengabdi pada kepentingan ideologis politik, ekonomi, bisnis, ataupun militer semata, namun juga untuk membuat manusia semakin utuh dan bermartabat.
Manusia yang utuh dan bermartabat terlihat pada kemampuannya untuk memahami dunia dengan pola berpikir yang rasional, bermoral, terbuka, kritis, dan sistematis. Tetapi semua ini hanya tinggal kenangan. Semua ini digantikan dengan pendidikan yang melulu menjadi pelayan kepentingan-kepentingan eksternal yang seringkali  justru bisa merendahkan martabat manusia itu sendiri. Oleh karena itu, kita berharap banyak kepada para praktisi pendidikan, untuk mengingatkan kembali esensi pendidikan di masyarakat kita.
Ketika para praktisi pendidikan kita tidak mampu memahami esensi pendidikan yang sebenarnya, dan membiarkan peserta didik kita ditawan oleh kepentingan politik, bisnis, atau militer, maka yang terjadi adalah, bahwa pendidikan tersebut justru akan menindas martabat mereka. Akibat lainnya, yakni kreativitas dibungkam atas nama koherensi ideologi politik. Eksplorasi ide dibungkam atas nama aturan baku dan standar ilmiah yang mencekik. Inovasi dibungkam atas nama kepatuhan pada atasan manajerial di dalam bisnis. Kita tidak bisa memungkiri lagi, bahwa dunia pendidikan kita kehilangan arah, dan semakin jauh dari visi-misinya untuk mengembangkan martabat manusia.
Akibat berikutnya, dari pendidikan yang kehilangan esensinya ini, adalah peserta didik kita akan lupa pada dirinya sendiri. Hal ini jelaslah, bukan manusia yang bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik di masyarakat. Bahkan dapat dikatakan secara tegas, bahwa lemahnya moral bangsa ini jelas merupakan kegagalan sistem pendidikan yang selama ini ada, yakni pendidikan yang kehilangan esensinya sendiri.
Lantas, pendidikan yang kehilangan esensinya, dan semata memfokuskan dirinya untuk mengabdi pada kepentingan-kepentingan eksternal, dan seringkali tidak sesuai dengan visi pendidikan itu sendiri, akan membuat pendidikan menjadi penyiksaan. Pendidikan menjadi keterpaksaan yang dijalani oleh para peserta didik dengan murung dan gelisah, bahkan kecewa. Oleh karena itu, pendidikan perlu kembali menyadari esensinya sendiri, lalu melenyapkan ganguan-gangguan yang membuat pendidikan tersebut kehilangan esensinya sejak awal. Hanya dengan begitu masyarakat kita bisa mulai mengarah ke arah peningkatan sumber daya manusia secara seimbang.
Jauh sebelum tahun masehi ditetapkan, Aristoteles juga berpendapat bahwa esensi dari setiap bentuk pendidikan adalah pendidikan karakter. Dalam arti ini karakter dapat dibentuk melalui proses habituasi, atau pembiasaan. Orang bisa bertindak jujur, karena ia terbiasa bertindak jujur, dan bukan karena ia tahu, apa yang dimaksud dengan jujur. Dua konsep ini, Â yakni akal budi sebagai pengarah tindakan moral dan proses habituasi sebagai pola pendidikan karakter yang tepat, merupakan inti dari teori Aristoteles dalam hal pendidikan.
Saat ini, perkembangan bisnis, sains, dan teknologi membuat pendidikan pun tidak bisa lepas dari ketiganya. Mata kuliah dan mata pelajaran sains dan bisnis menjadi dominan dan prioritas di berbagai institusi pendidikan. Tujuannya satu yakni memenuhi permintaan pasar tenaga kerja yang melek sains dan teknologi. Pada titik inilah, persoalan lainpun akan muncul, yakni : lenyapnya dimensi humaniora dari pendidikan.
Dalam era informasi teknologi ini, kriteria untuk menilai keberhasilan suatu lembaga adalah kinerjanya. Kinerja berarti maksimilisasi pendapatan dari pengeluaran. Pendidikan pun mau tak mau terpengaruh dengan perubahan cara pandang ini. Pendidikan dengan demikian didesak untuk memenuhi kebutuhan akan individu-individu yang mampu menomorsatukan efektivitas dan efisiensi diatas segalanya. Jika kinerja pendidikan dinilai dengan tolok ukur seperti itu, yakni sekedar mempersiapkan tenaga kerja untuk memuaskan kepentingan pasar, maka degradasi kemanusiaanlah yang akan kita peroleh.