Oleh. Purwalodra
Masih banyak orang yang tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Membuang sampah sembarangan, menyakiti orang lain, bahkan cuek dengan apa yang ia perbuat kepada orang lain. Baginya yang penting ia senang dan nyaman, dengan dirinya dan kepentingannya sendiri. Tidak jarang orang seperti ini, mengorbankan dan membuat orang lain menderita demi kesenangannya. Orang-orang seperti inilah yang biasa saya sebut sebagai egois dan maunya senang sendiri, tanpa rasa peduli dan empati pada sesamanya ?!.
Seorang suami yang hanya pengen senang sendiri, biasanya tidak peduli dengan istri dan anak-anaknya. Seorang Istri yang juga menjadikan ‘kesenangan’ sebagai tujuan hidupnya, akan lupa pada suami dan anak-anaknya. Seorang pejabat bila tujuannya juga ingin merasa nyaman dan senang, apalagi masih membutuh kemewahan, sudah pasti rakyatnyalah yang bakal menjadi korban kebijakannya. Seorang penguasa yang ingin kekuasaannya lebih lama, karena dengan begitu akan lebih panjang kesenangan yang dinikmatinya, maka bawahan dan orang-orang di sekitarnya sudah pasti jadi tumbal atas kesenangan dan kemewahan sang penguasa tersebut.
Ada fakta yang bisa dipercaya keilmiahannya, bahwa orang yang yang terlalu senang hidupnya, cenderung akan terserang penyakit jantung koroner. He .. he .. he .. Sejenis penyumbatan pembuluh darah yang menuju ke Jantung. Bisa saja yang menyumbat pembuluh darah tersebut lemak-jahat atau kolesterol, atau apalah-apalah gitu. Dan, biasanya orang yang mengumbar kesenangan dan tak peduli pada orang lain, adalah orang-orang yang tak peduli juga pada dirinya sendiri, baik soal makan, minum, sikap dan perilaku lainnya. Inilah yang mengakibatkan adanya pola hidup yang tidak disiplin dan selalu meremehkan hal-hal kecil dalam hidupnya. Sehingga, bukan hanya pembuluh darahnyanya saja tersumbat, tapi juga pembuluh perasaan dan pikirannya juga tersumbat oleh sikap egoisnya sendiri ?!.
Orang yang menjadikan kesenangan dan kemewahan menjadi tujuan hidupnya, adalah orang yang tidak mampu mengenal dirinya sendiri. Ia juga tidak mampu membedakan mana alat dan mana tujuan hidupnya. Yang jelas, ketika seseorang selalu mengejar kesenangan, maka tingkat kesenanganpun semakin hari semakin meningkat. Sehingga, pada titik tertentu kesenangan yang diharapkan tidak mungkin akan diperoleh. Maka, ujung-ujungnya adalah penderitaan yang berkepanjangan.
Sikap semacam itu sebetulnya bukan hal yang sulit untuk dimengerti oleh kebanyakan orang. Bagi sementara orang, yang mendatangkan nikmat dan kesenangan dianggap sebagai yang baik sehingga layak dikejar dalam hidup. Sementara yang mendatangkan rasa sakit dianggap sebagai yang tidak baik, sehingga pantas ditolak. Sikap semacam ini juga bukan barang baru dalam filsafat hidup manusia. Adalah para hedonis yang selalu menekankan kenikmatan dan kesenangan sebagai ukuran yang baik. Hedonisme adalah pandangan yang menempatkan kenikmatan dan kesenangan sebagai tujuan tertinggi dari hidup manusia.
Ketika John Locke (1632-1704) menegaskan sikap etis yang dimotivasi oleh melulu pengalaman inderawi akan rasa senang/nikmat dan rasa sakit, para moralis mengutuknya sebagai hedonis sejati. Mereka menganggapnya sebagai yang tidak bermoral, karena mengesampingkan nilai-nilai lainnya dalam kehidupan manusia yang kompleks ini. Tetapi sesungguhnya manusia modern mempraktekkan apa yang dikatakan oleh Locke tersebut. Lihat saja fenomena korupsi di negeri ini ! Orang yang baru menempati kekuasaan sedikit saja akan tergoda untuk menggunakan kekuasaan itu, untuk memperkaya dan mencari keuntungan diri sendiri, keluarga, atau kelompoknya.
Tentu saja kesenangan dan kenikmatan menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup manusia. Tetapi sebagai nilai-nilai dalam hidup, kesenangan dan kenikmatan tidak bisa berdiri sendiri. Sebab, manusia itu multi dimensi. Dia pertama-tama hidup berdampingan dengan orang lain, terutama dengan sanak keluarga dan orang-orang dekatnya, lalu dengan masyarakat di mana ia tinggal.
Kebebasan manusia untuk mendapatkan kesenangan dan kenikmatan selalu berdampingan dengan kebebasan yang sama dari orang-orang lain yang hidup bersama dengannya. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial, maka segala nilai kehidupan manusia mesti mempertimbangkan segi-segi sosialitasnya.
Di sinilah pentingnya penegakan kembali hukum dan peraturan yang pada hakekatnya mengatur manusia dalam masyarakat agar bebas dalam menjalankan hidupnya. Hakekat hukum dan peraturan memang mengatur kebebasan dalam hidup bersama. Mungkin kata “mengatur kebebasan” terdengar kontradiktif. Tetapi, ketika kebebasan dalam hidup bermasyarakat tidak diatur, dampaknya lebih parah.