Oleh. Purwalodra
[caption id="attachment_371487" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]
Tak terasa sudah tujuh tahun ini hidupku tanpa keberadaan identitas, yang melekat sebagai seorang pekerja. Ketiadaan identitas ini begitu melekat karena berbagai faktor yang berhasil mengikisnya, salah satunya adalah ketiadaan peran yang signifikan dan kecurigaan yang sangat dalam tentang sosok diriku dimata orang lain. Akibatnya, selama itu aku merasakan ketiadaan energi yang mampu memeluk semangatku dalam melakukan berbagai aktivitas.
Ketidaaan identitas ini merupakan persoalan psikologis dan kejiwaan, dimana aku merasa harus mempertanyakan kembali, siapa saya ?. Bahkan, di era perubahan yang begitu cepat ini kita semua seakan kehilangan identitas sebagai manusia. Di dalam kondisi semacam ini, tata nilai menjadi berubah. Tidak ada lagi kepastian, semua serba relatif, Â karena semua tata-nilai yang ada, baik yang berasal dari agama maupun budaya, memiliki kelemahan dan kekuatan masing-masing yang tak dapat dibandingkan satu sama lain. Kita sering melihat, orang-orang yang begitu taat beribadah ternyata masih mendzolimi orang lain, memanipulasi dan bahkan memaksakan kehendaknya. Ini merupakan wujud dari kehilangan identitasnya sebagai dirinya sendiri.
Krisis identitas ini juga sering ditunjukkan oleh orang-orang yang baru saja menunaikan Ibadah Haji. Dengan status Haji Mabrur yang disandangnya, mereka yakin akan memperoleh nama terhormat di masyarakat. Bahkan, tidak sedikit yang ingin menunaikan ibadah Haji berkali-kali tanpa mempedulikan kesenjangan yang begitu nyata di masyarakat.  Seringkali  juga, kita merasa terjebak di antara beberapa "dunia" yang seringkali amat berbeda. Inilah situasi yang di dalam filsafat eksistensialisme dikenal sebagai ketanpa-akaran. Di dalam keadaan ini, kita sulit untuk membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup kita, karena tata-nilai yang kita punya juga amat lentur dan terus berubah.
Persoalan identitas ini lalu menjadi masalah yang amat penting. Ketika akar dalam diri kita dan identitas kita goyah, kita lalu merasa tidak nyaman hidup di keluarga kita yang mungkin telah memegang nilai-nilai tertentu sebelumnya. Tegangan lalu muncul. Keluarga mengharapkan peran tertentu dari kita, sementara kita, sebagai pribadi, tidak merasa nyaman dengan peran itu. Seringkali, situasi ini membuat kita terputus dari keluarga kita sendiri.
Ketika akar diri, identitas dan keluarga menjauh, kita lalu kerap merasa bingung dan khawatir. Kita tidak lagi memiliki panduan di dalam hidup kita, guna membuat keputusan-keputusan penting. Kita tidak lagi memiliki tujuan yang jelas di dalam hidup kita. Keadaan ini juga disebut sebagai keadaan ketanpa-nilaian. Lalu, hidup pun menjadi sesuatu yang kosong. Hidup menjadi seolah tanpa makna dan arah. Kita, manusia, terombang-ambing di berbagai belantara peristiwa, tanpa sungguh punya kontrol atas hidup kita. Kita bagaikan perahu yang mengarungi badai, tanpa kepastian, kemana kita akan pergi.
Keadaan ketiadaan identitas ini bisa melahirkan masalah-masalah yang serius. Orang bisa begitu mudah bunuh diri, ketika ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ini terjadi, karena ia tidak memiliki akar dan arah yang jelas dalam hidupnya. Ketika hidup terasa tak bermakna dan hampa, maka pilihan untuk mengakhiri hidup tampak menjadi pilihan yang masuk akal. Kalo toch, tidak seekstrim itu, kehilangan identitas ini akan berakibat stress yang akut bahkan kegilaan. Hal ini sudah terjadi di beberapa teman sekantor yang kemudian menjadi sinting, lalu perusahaan tanpa ampun, segera memecatnya.
Pilihan lainnya ketika seseorang kehilangan identitasnya adalah menjadi seorang hedonis murni. Artinya, seseorang lalu hidup dengan tujuan utama mencari kesenangan-kesenangan sesaat. Kita tidak lagi mempedulikan tujuan-tujuan hidup lainnya. Kita menghabiskan waktu, uang dan tenaga untuk mencari kenikmatan seksual, makan tanpa aturan dan membeli barang-barang mewah yang tidak kita butuhkan, sekedar untuk mengisi kekosongan di dalam hati kita.
Kemungkinan lainnya adalah, kita lalu bergabung dengan organisasi tertentu, guna mengisi kekosongan nilai yang kita rasakan. Organisasi itu lalu seolah menjadi "tuan" atas diri kita, karena kita tidak lagi kritis di dalam memahami visi dan misi organisasi tersebut. Kita lalu disetir oleh organisasi itu, tanpa lagi mampu berpikir. Inilah salah satu akar kehadiran organisasi-organisasi teroristik yang tersebar di berbagai belahan bumi Indonesia.
Dari krisis identitas yang kita alami sekarang ini, sebenarnya kita sangat membutuhkan hadirnya seorang sahabat, bukan sekedar teman. Persahabatan adalah hubungan yang bermutu tinggi. Dan semua yang bermutu tinggi tidak bisa berjumlah banyak. Hukum alam dasar berbunyi disini, "Kualitas tidak pernah bisa berbarengan dengan kuantitas." Maka, persahabatan pun ditemukan di dalam lingkungan kecil.