Oleh. Purwalodra
Sudah dua hari ini saya menderita sakit gigi, yang bengkaknya sampe seluruh pipi sebelah kiri. Namun di balik rasa sakit yang saya derita, ada kenikmatan tersendiri, ketika saya harus minta izin atasan saya, untuk tidak masuk kantor selama dua hari. Dalam dua hari itu saya banyak tidur, banyak makan, banyak dekat sama istri, dan banyak menulis di Kompasiana ini .. he .. he .. he .. ternyata rasa nikmat itu amat dekat dengan rasa sakit ya ?!.
Begitu pula, pada saat saya berolah raga, yang saya rasakan adalah merasa lelah, sakit, dan linu-linu di bagian-bagian tubuh tertentu. Keringat bercucuran. Bau badan pun seperti parfum kadaluarsa. Namun mengapa saya terus melakukannya? Ternyata, banyak orang pun melakukannya. Ketika berolahraga ada semacam batas yang tipis antara rasa sakit akibat mengolah otot dan rasa nikmat yang ditimbulkannya. Bahkan kesehatan pun identik dengan tegangan abadi, antara rasa sakit dan sekaligus nikmat, yang ditimbulkan oleh olah raga.
Mungkin, seperti halnya juga ketika orang melakukan perbuatan korupsi, para koruptor itu berada pada tegangan antara rasa nikmat dan rasa sakit. Perasaan nikmatnya adalah mendapatkan uang tanpa bekerja keras, bisa berbelanja barang mewah tanpa perlu berfikir rasional-ekonomis, dan plesiran ke berbagai tempat tanpa berhitung biaya. Sementara, rasa sakitnya adalah kegelisahan dan rasa cemasnya yang muncul setiap saat, dan menghantuinya setiap waktu, jangan-jangan ada mata-mata KPK di sudut-sudut pikirannya sendiri ?!.
Di era modern sekarang, khususnya di kota-kota besar di Indonesia, orang berburu kenikmatan adalah hal yang wajar. Tidak jarang orang yang memiliki kelebihan uang, akan semakin haus untuk mendapatkan lebih dari harta yang dia miliki. Dengan kelebihan pendapatannya itu, seseorang menjadi lupa diri dan berburu kesenangan dimana-mana. Di mall-mall dengan aktivitas belanjannya. Di tempat-tempat hiburan, diskotik, bahkan di tempat-tempat pelacuran. Bahkan, anak-anak kitapun, sejak kecil, sudah diperkenalkan dan dididik untuk bisa menikmati tempat-tempat hiburan seperti halnya, belanja di mall-mall, menonton film, nongkrong di caffe-caffe, bahkan travelling ke berbagai negara. Kita mengajarkan bahwa uang adalah segalanya, untuk memenuhi berbagai kenikmatan hidup. Akhirnya, kita mendidik anak-anak kita bahwa, kenikmatan hidup adalah uang.
Banyak teman-teman sekantor pun, sedang mengalami banyak penderitaan akibat dari tindakannya yang tidak rasional-ekonomis. Mereka meminjam uang, baik dari bank maupun koperasi, tanpa melihat penghasilan yang ia peroleh. Mereka menggunakan uang itu untuk membangun rumah, membeli kendaraan atawa sekedar melampiaskan hobi yang bergengsi tinggi. Semua ini, ternyata, bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi lebih dari itu, yakni memenuhi gengsi dan gaya hidup semata. Yang jelas, kenikmatan dari penggunaan uang pinjaman itulah yang mereka kejar. Ujung-ujungnya, tak satupun pinjaman itu bisa terbayarkan cicilannya.
Menurut De Sade, filsuf dan pemikir asal Perancis, yang lahir tahun 1740, ia mencoba mendefinisikan ulang makna kenikmatan. Baginya kenikmatan tertinggi tidak dapat dilepaskan dari rasa sakit. Oleh karena itu, seakan-akan rasa sakit yang di derita seseorang merupakan kenikmatan tersendiri. Mungkin, hal inilah yang biasa disebut sebagai paradoks kenikmatan (paradox of pleasure), yakni pada titik yang paling ekstrem, kenikmatan tak dapat lagi dibedakan dari rasa sakit. Seperti halnya, seorang koruptor Indonesia, yang tertangkap tangan oleh KPK. Ia masih bisa senyum-senyum kepada khalayak, padahal dalam hati dan pikirannya dikerumuni berbagai kesedihan dan penderitaan.
Motif utama dari filsafat Marquis de Sade adalah untuk memahami kejahatan (Vice and Wickedness) di dalam diri dan kehendak manusia. Metode yang digunakan adalah pengamatan dan refleksi diri (self-reflection), yakni melihat ke dalam dirinya sendiri. De Sade juga terkenal, karena ia menulis empat novel kontroversial. Di dalam novel-novel itu, ia memaparkan hal-hal yang menggetarkan serta mengagetkan “orang baik-baik”. Juga di dalam novel-novel itu, kita akan menemukan jiwa pemberontakan total yang terdapat di dalam diri de Sade. Di balik semua itu, kita juga bisa menemukan pemahaman yang amat kaya, yang merentang dari seksualitas sampai moralitas, dari politik sampai agama, dari estetika sampai metafisika, dari kritik sastra sampai dengan persoalan hidup dan mati. Ini semua membuat ia menjadi salah satu tokoh besar di dalam sejarah filsafat Barat. Dengan pemikirannya yang kontroversial dan tajam, ia bisa dibilang adalah satu-satunya orang yang sungguh mengalami revolusi Prancis dari sisinya yang paling hitam.
De Sade hendak memahami, dan mengalami langsung, pola berpikir orang yang hidupnya melulu mengejar kenikmatan-kenikmatan inderawi (sense pleasure), dan motivasi hidupnya adalah murni untuk memuaskan seluruh hasrat dirinya. Manusia ideal Sadean adalah manusia pemburu kenikmatan ekstrem yang tak peduli, apakah kenikmatan yang ia dapatkan itu sementara atau selamanya. Tujuan utama hidup manusia, menurut de Sade, adalah mencapai kenikmatan setinggi mungkin, dan sesering mungkin. Manusia adalah mahluk pemburu segalanya, dan seringkali tak peduli dengan akibat dari pemburuannya.
Bagi de Sade, etika adalah soal pembalikan-pembalikan. Apa yang dianggap masyarakat sebagai baik justru dipandangnya sebagai sesuatu yang jahat (vice), dan sebaliknya. Nilai tertinggi yang diagungkan oleh de Sade adalah kenikmatan ekstrem (extreme pleasure). Inilah nilai obyektif yang dipegangnya. Dan, kenikmatan ekstrem pada titik yang paling menyimpang seringkali amat dekat dengan kejahatan. Pemikiran De Sade merupakan cermin pada kita semua, bahkan kita diajak untuk melihat diri kita sendiri, bersama dengan pikiran-pikiran maupun motivasi-motivasi tersembunyinya. Ia mengajak kita untuk jujur pada dorongan-dorongan hewani primitif di dalam diri kita, dan menatanya dengan sehat serta proporsional.
Pada akhirnya, De Sade menyadari, bahwa manusia punya hasrat untuk menyimpang, dan semua hasrat itu harus disadari, diakui, dan dikelola dengan bijak. Namun bukan berarti hasrat untuk menyimpang itu adalah kodrat terdalam manusia. Itu sama saja dengan mengatakan, bahwa karena ada beberapa efek tidak sehat dari memakan nasi, maka nasi itu adalah racun. Itu argumen yang berlebihan, dan tidak taat pada asas-asas penarikan kesimpulan. Sisi gelap manusia dan peradaban yang diciptakannya harus diakui sepenuhnya, dan secara bijak dikendalikan, atau diarahkan untuk menghasilkan hal-hal baik bagi semua ?!. Semoga kita mampu mengendalikan hasrat-hasrat dalam diri kita, agar kenikmatan yang kita peroleh tidak menyimpang !?. Wallahu A’lamu Bishshawwab,