Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keadilan sebagai Tanda Seru!

24 April 2016   10:36 Diperbarui: 2 Mei 2016   09:42 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Setiap saat, setiap hari, bahkan setiap periodisasi suatu kelompok, organisasi, rezim atau apalah-apalah itu, kita menyaksikan berbagai ketidakadilan. Seakan-akan keadilan mesti diperjuangkan, diharapkan, bahkan diimpikan kelak akan ada dimasa depan. Keadilan menjadi mahal ketika ia harus diperjuangkan dengan darah dan air mata. Keadilan menjadi prestise ketika ia menjadi sebuah harapan. Keadilan menjadi suatu yang istimewa ketika ia menjadi impian semua orang. Keadilan kemudian menjadi sebuah ‘tanda-tanya’ besar. Sebenarnya, ada nggak sih keadilan dimuka bumi ini ?

Banyak negara, organisasi, masyarakat atawa kelompok, bahkan secara individual bermimpi akan sebuah keadilan yang sejati. Bahkan seorang yang terus menderita, miskin dan lemah tak berdaya, menyatakan bahwa Tuhan saja tidak adil pada mereka. Lalu, apakah keadilan itu sebuah kenyataan atau memang sebuah mimpi para filosof ?.

Sementara itu, persepsi tentang keadilan memiliki dimensi yang berbeda-beda dari berbagai lapisan masyarakat, lapisan organisasi, bahkan lapisan orang-orang jahat dan lapisan orang-orang sholeh. Sebagai seorang penguasa, menindas orang lain yang lemah dan tidak memberi peluang bagi orang lain untuk menduduki kekuasaannya merupakan sebuah keadilan. Bagi seorang koruptor, membelanjakan uang organisasi, perusahaan atawa negara itu adalah hak istimewa yang ia miliki, meskipun dengan dalih untuk kepentingan bersama. Seorang pimpinan, memaki-maki bawahan atau orang-orang yang bekerja padanya itu, adalah sebuah keadilan yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan semangat kerja.   

Dalam dunia binatang, secara ekosistem, kita menyaksikan seekor ular memangsa seekor tikus. Mungkin bagi seekor ular, tikus itu harus menjadi santapannya, dan itu adalah sebuah keadilan, namun apakah bagi seekor tikus hal ini merupakan sebuah keadilan ?.

Ternyata berbagai pemikiran tentang keadilan ini, sudah menjadi pergulatan abadi manusia, baik itu secara teoritis maupun praksis. Lebih dari dua ribu tahun yang lalu, seorang filosof Plato melihat keadilan sebagai harmoni, baik di tataran sosial maupun individual. Masyarakat yang adil adalah masyarakat yang anggotanya bekerja sesuai fungsi sosialnya untuk menjamin kesejahteraan bersama. Sementara individu yang sehat itu mirip seperti masyarakat yang adil, di mana semua organ tubuhnya berfungsi sempurna.

Sementara itu, Aristoteles, murid kesayangannya Plato, menyatakan bahwa ia tidak setuju dengan pendapat gurunya, dan kemudian mencoba mengajukan argumen yang lain. Baginya keadilan adalah bagian dari suatu keutamaan, dan keutamaan hanya dapat dibentuk melalui kebiasaan. Jika anda ingin jujur, tidak cukup anda hanya mengetahui apa arti jujur, tetapi anda juga perlu terbiasa bertindak jujur di dalam keseharian.

Kemudian,Thomas Aquinas, pada masa pertengahan, mencoba mengajukan argumen tambahan. Baginya keadilan adalah upaya memberikan pada orang lain apa yang menjadi haknya. Jika ia berhak atas gaji tinggi, maka tindakan yang adil adalah memberikannya gaji tinggi. Jika ia berhak atas nilai yang bagus, maka berikan ia nilai yang tinggi. Jika seorang mahasiswa berhak atas bimbingan seorang Dosennya, maka seorang Dosen tersebut wajib membimbingnya sampai selesai.

Sampai hari inipun, perdebatan tentang suatu keadilan ini masih terus berlangsung. Pada masa modern Immanuel Kant melihat keadilan sebagai bagian dari kewajiban moral yang tidak bisa dipertanyakan. Keadilan berpijak pada tiga prinsip, yakni tindakan yang bisa disetujui oleh semua orang, memperlakukan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan berasal dari kebebasan. Keadilan adalah bagian dari moralitas yang tegak berdiri di dalam hati-sanubari manusia.

Lain halnya dengan John Rawls yang melihat keadilan sebagai suatu sikap fair yang didasarkan pada prinsip-prinsip rasional yang terukur. Sementara itu,  Habermas melihat keadilan sebagai hasil dari kesepakatan dari proses komunikasi yang bebas. Jacques Derrida berpendapat lain, baginya keadilan tidak mungkin terwujud di masa sekarang. Keadilan adalah harapan yang selalu lolos dari genggaman masa kini, dan menunggu untuk diwujudkan di masa mendatang?!

Pada akhirnya, pemahaman tentang keadilan selalu berkembang dan mengundang perdebatan. Para filsuf masih berdiskusi keras untuk memahami arti sesungguhnya, dan mencari kemungkinan penerapan di dunia yang terus berubah ini. Pada kondisi praktis sekarang inipun, keadilan juga masih menjadi impian semua orang. Keadilan menjadi harapan bagi mereka yang peduli pada kemanusiaan. Sehingga, mungkin sekarang keadilan bukanlah sebuah ‘tanda tanya’ lagi, melainkan tanda seru. “Keadilan!” adalah kata yang mencerminkan tuntutan. Mari kita bekerja untuk mewujudkannya, karena kita semua yang akan merasakannya?! Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 24 April 2016.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun