Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Mau Jadi Korban Perploncoan !

26 Juli 2015   14:56 Diperbarui: 26 Juli 2015   14:58 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra.

Pada tahun pelajaran atau tahun akademik baru ini, Kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) di sekolah-sekolah Menengah Atas, dan Kegiatan Orientasi Program Studi dan Pengenalan Kampus (OPSPEK) di Perguruan Tinggi, menjadi perbincangan banyak kalangan, baik akademisi maupun pemerhati pendidikan di seluruh Indonesia. Mereka mempertanyakan kembali esensi dari kegitan tersebut, dan tujuan-tujuan yang meruanglingkupi kedua kegiatan diatas. Mereka juga menyayangkan adanya ekses dari yang menyertai kegiatan MOS dan OPSPEK, yakni : kekerasan, pelecehan dan dehumanisasi dari kegiatan tersebut, yang justru mengakibatkan degradasi (penurunan) semangat belajar dan sikap mental ilmiah dari peserta didik di jenjang SLTA, maupun calon mahasiswa di level Perguruan Tinggi.

Masih banyak kita temui di banyak kampus di masyarakat kita, bahkan banyak yang sempat di upload di youtube, tindak kekerasan, pelecehan dan dehumanisasi yang terjadi pada masa orientasi dan pengengenalan kampus. Sementara, birokrasi pendidikan kita sudah jelas-jelas melarang adanya perploncoan yang identik dengan tindak kekerasan, pelecehan dan dehumanisasi tersebut di seluruh kampus, maupun sekolah-sekolah menengah atas. Namun, nyatanya masih banyak kita temus kegiatan masa orientasi yang disertai dengan kegiatan perpeloncoan.

Memang, pada tahun 1980-an, dimana ketahanan sekolah maupun kampus, serta upaya untuk menanamkan ‘rasa’ memiliki peserta didik maupun mahasiswa perlu adanya perploncoan. Hal ini dilakukan agar sikap mental, kemandirian, disiplin dan rasa bangga terhadap kampus atau sekolah tertanam kuat dalam diri peserta didik atau mahasiswa itu sendiri. Namun, di era informasi saat ini kebohongan-kebohongan seperti itu tidak bisa disembunyikan. Karena perploncoan yang berimplikasi kepada tindak kebohongan ini sangat berakibat negatif terhadap perkembangan mental peserta didik dan calon mahasiswa. Akhirnya, untuk menutupi kebohongan-kebohongan para senior tersebut, muncullah kekerasan, pelecehan bahkan proses dehumanisasi yang berakibat dendam, ketika yang bersangkutan menjadi senior di kampusnya kelak.

Beberapa pemikiran kritis terhadap perploncoan di dalam kegiatan OPSPEK di level perguruan tinggi, antara lain :

  1. Perploncoan hanya melestarikan budaya feodal dengan mewajibkan para peserta untuk menghormati secara paksa kepada seniornya dan menuruti segala kehendak senior. Hanya terkesan memuaskan para senior yang ‘sok gila kuasa’ dan menganggap rendah status mahasiswa baru tak lebih sebagai budaknya.
  2. Pelaksanaan perploncoan selama ini yang bermaksud menanamkan kedisiplinan dengan hukuman dan kekerasan hanyalah sebuah bentuk militerisasi dalam kampus. Ini adalah bentuk kebohongan mahasiswa yang katanya anti militerisme dalam kampus tetapi malah melestarikan militerisme dari waktu ke waktu.
  3. Penanaman nilai-nilai baru dalam waktu yang singkat dan dalam tekanan perploncoan, bukan merupakan proses pendidikan. Karena proses pendidikan adalah proses pembiasaan dalam atmosfir akademis.
  4. Pembuatan aneka atribut yang aneh-aneh merupakan suatu pemborosan uang dan waktu semata, tak sebanding dengan nilai-nilai yang ditanamkan dalam serangkaian aneka atribut tersebut. Bahkan, kegiatan seperti ini menanamkan kepada peserta didik maupun calon mahasiswa kepada budaya konsumtivisme baru.
  5. Thorndike, seorang ahli psikologi pembelajaran menyatakan bahwa hukuman tidak efektif untuk meniadakan suatu perilaku tertentu. Begitu halnya dengan hukuman dan sanksi pada kegiatan perpeloncoan. Hal ini tidak akan efektif bagi mahasiswa baru untuk menghilangkan perilaku-perilaku buruknya.
  6. Kekuasaaan sangat dekat dengan kekerasan, maka tak heran jika panitia yang memiliki wewenang dan posisi lebih tinggi dari mahasiswa baru akan melakukan kekerasan, baik fisik maupun psikis kepada mahasiswa baru.
  7. Tak dapat dipungkiri bahwa perploncoan merupakan sarana balas dendam bagi senior atas perlakuan kakak kelas yang mereka alami pada waktu mengikuti perploncoan dulu. Rasa dendam akan selalu muncul dalam segala perlakuan yang menyakitkan, namun berhubung perpeloncoan merupakan kegiatan yang belum dilarang sehingga kesempatan membalas hanya mungkin dilakukan pada perploncoan tahun berikutnya.
  8. Memang terbukti bahwa kegiatan perploncoan akan mengakrabkan para mahasiswa, namun proses keakraban pada mahasiswa akan terjadi dengan sendirinya ketika mahasiswa mulai beraktivitas dalam kampus tanpa perlu dipaksakan dalam suatu momentum perpeloncoan.
  9. Setiap orang memiliki kerentanan psikologis yang berbeda-beda, sehingga hukuman yang serampangan ataupun perlakuan yang menekan mental pada kegiatan perploncoan dapat menimbulkan suatu TRAUMA PSIKOLOGIS tersendiri bagi beberapa orang. Trauma ini pada akhirnya akan menimbulkan abnormalitas kejiwaan seseorang. Sehingga, mengakibatkan seseorang akan sulit untuk berubah, apalagi mengembangkan sikap mental ilmiahnya.
  10. Kenangan dalam perploncoan hanya menciptakan romantisme tertentu ketika diceritakan beberapa waktu setelah kegiatan tersebut usai. Namun tentunya setiap orang tidak ingin mengalami perpeloncoan untuk beberapa kali lagi. Ini merupakan bukti bahwa setiap orang tidak menginginkan perploncoan itu terjadi lagi dalam hidup mereka.
  11. Dan, masih banyak lagi yang lainnya.

Pada akhirnya, sudah sejak lama seharusnya kita berfikir ulang tentang kegiatan perploncoan ini di sekolah-sekolah maupun di kampus-kampus kita. Jangan sampai, seperti apa yang dikemukakan oleh Sir Ken Robinson, profesor pakar pendidikan dan kreativitas dari Inggris, bahwa sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, saat ini, hanya sebagai pembunuh kreativitas para siswa dan mahasiswanya. Dan, sudah saatnya, kita harus melakukan revolusi di bidang pendidikan yang lebih mengutamakan bangunan kreativitas dan imajinasi peserta didik maupun mahasiswanya. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 26 Juli 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun