Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dunia, Semakin Serba Relatif !!?

2 November 2014   04:41 Diperbarui: 3 Oktober 2018   21:25 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto koleksi pribadi

Oleh. Purwalodra

Pagi tadi saya memberikan pengantar tentang pemahaman kurikulum 2013 yang biasa disingkat dengan Kurtilas, kepada para Guru-guru Madratsah Ibtida'iyyah (MI) di Bekasi. Dalam pengantar Kurtilas ini saya mengatakan, bahwa penerapan kurikulum 2013 di Indonesia yang menuntut diterapkannya sistem tematik ini sangat dipengaruhi oleh pemahaman relativisme yang ada di masyarakat. Paham relativisme memerlukan penerapan kurikulum yang relevan dengan tujuan pendidikan, fleksibilitas, dan Praktis.

Saat ini kita hidup di dunia yang serba relatif, karena apa yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan penuh dengan ketidakpastian. Sikap dan pola fikir kitapun terkontaminasi faham relativisme ini, sehingga kita tidak mampu menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana salah. Semuanya realtif, serba relatif. Hidup kita seakan berada diatas buih di lautan yang sulit untuk menjadi pegangan. Kita menjadi orang yang linglung, tak punya pendirian, tidak tegas, dan yang lebih parah lagi kita tak lagi percaya pada diri sendiri. Kini kita tak lebih dari hewan peliharaan yang harus memanjakan majikannya, agar kita tetap diberi makan.

Menurut Stanford Encyclopedia of Philosophy, relativisme adalah suatu paham yang terdiri dari beragam argumen. Namun, di balik beragam argumen tersebut, ada satu yang sama, yakni bahwa realitas dan seluruh aspeknya, termasuk pikiran, moralitas, pengalaman, dan penilaian manusia, tidaklah mutlak, melainkan relatif posisinya pada sesuatu yang lain. Dari definisi ini kita bisa memaknai bahwa relativisme merupakan pandangan yang mampu mengaburkan kebenaran dari sebuah realitas.

Kita akan banyak menemukan sikap relativisme ini di bidang moral. Argumen yang sering muncul adalah, apa yang baik dan buruk itu amat relatif pada kultur setempat. Di satu tempat satu tindakan atau perilaku bisa dianggap baik, sementara di tempat lain, tindakan atau perilaku yang sama bisa jadi dianggap tidak baik.

Argumen-argumen relativisme sering membawa kita pada akhir yang membingungkan, karena kita seolah tidak lagi bisa memutuskan secara pasti apa yang baik dan buruk, apa yang benar dan apa yang salah. Mungkin, hidup di tengah-tengah relativisme akan membantu kita tambah sabar, kalo perlu sabar tingkat dewa. Sebagai contoh, ketika seorang pimpinan melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan, maka bisa jadi dianggap wajar-wajar saja, namun ketika bawahan melakukan kesalahan seperti  yang dilakukan atasannya, maka bawahan ini kemudian dianggap sebagai seorang yang kurang-ajar.

Relativisme berpijak pada satu pengandaian dasar, bahwa manusia adalah mahluk yang terikat dengan akar historis dan budaya, sehingga ia tidak pernah bisa sampai pada kebenaran yang bersifat universal.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, ada satu kelemahan yang amat mendasar dari relativisme, yakni paham tersebut mengajak kita memasuki alam ketidakpastian eksistensial diri dan anarki sosial, karena tidak ada lagi satu pijakan bersama yang mendasari makna hidup maupun relasi-relasi sosial politik masyarakat.

Mungkin, untuk menyikapi kondisi yang serba relatif ini, kita coba kembali ke rumah hati nurani kita masing-masing. Karena hati nurani adalah kemampuan manusia untuk melihat ke dalam dirinya, dan membedakan apa yang baik dan apa yang buruk. Lepas dari segala kekurangan dan kelemahannya, manusia adalah mahluk yang mampu menentukan apa yang harus, yang baik dilakukan, dan membuat keputusan berdasarkan pertimbangannya tersebut.

Setiap orang sangat memerlukan keutaman yang tepat untuk bisa menghadirkan hati nuraninya di dalam berbagai konteks kehidupan yang amat dinamis. Salah satunya yang cukup penting, menurut Aquinas, adalah sikap bijaksana, atau yang disebutnya sebagai prudence.

Di tengah himpitan hidup yang serba relatif ini, yang sekaligus baik namun juga berpotensi besar untuk merusak kehidupan kita, mampukah hati nurani kita sebagai manusia menjadi makna hidup pribadi di tengah badai relativisme dewasa ini?. Mampukah hati nurani kita sebagai manusia memberikan titik pijak untuk bisa hidup bersama dalam keadilan, harmoni, dan kemakmuran? Bagaimana cara mengasah kepekaan hati nurani? Ataukah ada alternatif selain berpijak pada hati nurani kita sebagai manusia? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi 'PR' kita untuk hidup kita lebih baik, di hari esok. Wallahu A'lam Bishshawwab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun