Oleh. Purwalodra
Banyaknya para pengungsi Timur Tengah ke Eropa di abad modern sekarang ini, merupakan fenomena, terutama bagi saya sendiri. Sampai-sampai saya beranggapan bahwa negara-negara Timur Tengah yang mayoritas Muslim, ternyata dihuni oleh manusia-manusia rakus kekuasaan. Mereka berperang, saling memperebutkan kekuasaan dengan berkedok agama, atau atas-nama perang suci, dan masing-masing pihak yang berseteru selalu berdalih untuk memperolah syurganya Tuhan. Saya tidak tahu persis apakah para pengungsi yang melarikan diri dari negaranya tersebut, ingin mencari kedamaian, takut mati, atau mencari syurganya Tuhan juga. Namun, ketiga alasan itu wajar dan bisa diterima secara umum oleh pikiran manusia yang waras.
Bagi saya, kekerasan apapun yang berkedok agama dan motif politik apapun di balik kekerasan di suatu negara, tidaklah manusiawi. Meskipun, saya selalu menutup mata dan telinga tentang kekerasan negri ini dimasa lampau. Pikiran saya ini begitu sederhana, sehingga saya tak pernah melihat latar belakang mengapa ada penguasa yang tidak melindungi rakyatnya. Menurut pikiran saya yang awam ini, setiap pemimpin negara pasti melindungi rakyatnya, karena rakyat adalah bagian integral dari suatu negara dan bangsa. Jika ada konflik politik di suatu negara, maka manusia tidak lebih seperti serigala bagi manusia lainnya. Mereka yang kuat dan berkuasa berhak membunuh sesamanya yang kalah. Mereka yang kalah berhak mengungsi atau melarikan diri, bahkan bisa menyerahkan diri untuk dibunuh oleh sang pemenang.
Secara definitif, pengungsi adalah orang-orang yang melarikan diri dari tempat asalnya, karena berbagai alasan, seperti perang, diskriminasi politis, bencana alam, atau pencarian penghidupan yang lebih baik. Orang-orang yang mengungsi karena alasan-alasan diatas, tentu tidak lagi berfikir tentang asal kewarganegaraannya itu. Bagi mereka, hidup adalah hidup yang jauh dari perang, konflik, diskriminasi atau apapun itu. Hidup bagi seorang pengungsi adalah hidup yang layak sebagai manusia, yang bisa memenuhi kebutuhan fisik dan keamanannya.
Sebagai orang bodoh, jika saya membayangkan negara tempat saya tinggal mengalami perang saudara. Rumah saya hancur, karena bom yang dilepaskan oleh salah satu pihak yang berperang. Saya tak punya uang, ataupun alat-alat dasar untuk mempertahankan kehidupan. Makanan pun tinggal sedikit, sementara saya harus melindungi istri dan anak-anak saya. Maka, mau tidak mau, atau suka tidak suka, saya pasti akan memilih untuk mengungsi atau bergabung dengan salah satu pihak yang berseteru. Menurut pikiran saya yang awam, saya merasa terhormat jika bergabung ke salah satu pihak yang berkonflik. Alasannya sederhana, betapa tak berharganya manusia, jika mati tak meninggalkan status darimana kita berasal. Mati sebagai salah satu diantara kubu yang berseteru, lebih berarti, daripada mati sebagai rakyat biasa. Oleh karena itu, prinsip saya sejak dulu adalah, kalo mau hidup harus berani mati ?!
Mungkin, prinsip tersebut sudah mendarah-daging dalam hidup saya, sehingga dimanapun saya berada. Di tempat manapun saya bekerja, saya selalu berpegang pada prinsip diatas. Bahkan, ketika ada pimpinan yang tidak suka keberadaan saya, saya selalu katakan bahwa saya tidak akan mundur, kecuali dipecat ! Tentu, syarat dan ketentuan berlaku ?! Wkwkwkwkwk ... Pemecatan itu harus sesuai dengan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.
Kembali pada persoalan pengungsi diatas, saya selalu merujuk pada seorang pemikir politik dari Italia, yakni Giorgio Agamben. Ia banyak menulis tentang teori-teori politik dengan menggunakan sudut pandang yang khas. Pemikirannya mempengaruhi wacana politik kontemporer di level internasional. Ia belajar filsafat dan hukum di Universitas Roma. Tesis doktoralnya berisi tentang pemikiran politik Simone Weil. Ia juga sempat belajar dari Martin Heidegger, terutama dalam kuliah-kuliah Heidegger tentang Hegel dan Herakleitos. Agamben telah mengajar di banyak universitas, terutama di Italia, Prancis, AS, dan Swiss.
Pandangan Agamben terkait dengan filsafat politik, yang berbicara tentang persoalan-persoalan kehidupan manusia. Biasanya, para filsuf politik selalu melihat kehidupan manusia dalam konteks politik, yakni konteks manusia dengan adanya suatu negara, atau entitas politik lainnya, yang menopang kehidupan manusia itu sendiri. Namun, menurut Agamben, semua itu menjadi tidak berarti, ketika di hadapkan dengan konsep ‘pengungsi’. Pandangan Agamben tentang ‘pengungsi’ haruslah dilihat sebagai apa adanya dirinya,yang tidak dibatasi oleh negara, bangsa atau entitas politik apapun. Keberadaan pengungsi yang semakin banyak di akhir abad 20 dan abad 21, membuat Agamben harus memikirkan ulang konsep manusia di dalam filsafat politik modern, yang tidak lagi sebagai manusia legal politis yang terikat pada suatu entitas politik tertentu, seperti negara, melainkan sebagai manusia yang telanjang, rapuh, tak berdaya, tak punya kewarganegaraan. Agamben mengajak kita untuk melebarkan secara radikal perlindungan hak-hak asasi manusia kepada sosok-sosok ‘telanjang’ semacam itu. Jadi, dalam konteks ini, kita harus melihat pengungsi sebagai sosok manusia yang wajib ditolong, apapun warga negaranya, apapun agama dan ras-nya sekalipun.
Entah mengapa, terbersit dalam pikiran saya yang dangkal ini, jika kondisi dan situasi negeri ini sama dengan negara-negara di Timur Tengah sana, saya tidak punya pilihan lain, selain bisa mati di negara sendiri. Karena, hampir setengah abad ini, saya bisa hidup layak sebagai manusia. Saya tidak akan lari dari negeri ini. Saya ingin mati sebagai pemenang atawa sebagai orang yang kalah di tanah ini. Ya, persis, di tanah ini, ... disini !. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 23 September 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H