Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Geliat Pikiran, Diantara Kekuasaan dan Kepentingan

27 Februari 2016   06:25 Diperbarui: 16 Maret 2016   08:58 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Sejak terjun ke dunia akademis, saya sudah terlatih untuk menguji sebuah kebenaran, baik secara ilmiah maupun alamiah. Kadang saya siap dengan berbagai resiko yang ada, ketika kebenaran yang saya perjuangkan ini memiliki tumbal. Seringkali sebuah kebenaran itulah yang membuat saya jatuh ke lubang yang sama, yakni penderitaan. Saya menyadari, bahwa tidak selamanya pikiran yang logis, rasional dan sistematis itu menyimpan kedamaian dalam jiwa kita. Justru, seringnya pikiran yang logis, rasional, dan sistematis inilah yang menjadikan saya terus menderita.

Selain kondisi diatas, jika kita mampu mengkaji lebih jernih, ternyata berbuat baikpun bisa jadi berbuah petaka, ketika perbuatan baik itu dilakukan dengan pamrih. Kehendak baik menjadi jalan ke neraka, ketika ia dilumuri dengan kepentingan kotor. Ini terjadi, karena orang yang berbuat baik tidak memiliki kejernihan pikiran. Pikirannya dilumuri dengan perhitungan kekuasaan dan kepentingan jahat.

Man Gong, seorang Zen Master asal Korea, menegaskan, bahwa tugas utama kita sebagai manusia adalah menyadari jati diri sejati kita. Semua tugas lain perlu dikesampingkan, supaya kita bisa sampai pada kesadaran semacam ini. Tanpa kesadaran akan jati diri sejati kita sebagai manusia, hidup kita akan terus dipenuhi penderitaan, walaupun kita kaya dan sukses di mata masyarakat. Menyadari jati diri sejati kita adalah tugas asli kita sebagai manusia, ketika dilahirkan ke dunia.

Sehingga, kejernihan yang lahir dari kesadaran kita, akan menjadikan kita sebagai manusia yang kritis dalam mensikapi hidup ini. Kita tidak lagi menjadi manusia naif yang gampang percaya dan ‘manut’. Kita melihat kenyataan yang sebenarnya, dan bukan lagi kenyataan yang diberikan kepada kita oleh pihak-pihak lain yang hendak menyembunyikan kebenaran.

Rene Descartes, pada zamannya, pernah menyatakan bahwa “aku berpikir, maka aku ada.” Pernyataan ini menegaskan bahwa pikiran kita, sebagai manusia, dianggap sebagai inti dari sebuah kepribadian seseorang. Pikiran manusia juga dianggap sebagai satu-satunya ‘sesuatu’ yang tak terbantahkan keberadaannya.

Sementara itu, dalam filsafat pengetahuan Immanuel Kant juga menegaskan, bahwa pikiran manusia bergerak dengan beragam kategori. Dengan beragam kategori ini, yaitu, ruang, waktu, substansi, esensi, dan sebagainya, manusia mampu memahami dunianya. Bisa juga dibilang, bahwa pikiran manusia ‘menciptakan’ dunia, yakni dunia sebagaimana dihidupinya.

Persoalan yang kemudian muncul ke permukaan adalah, bahwa optimisme terhadap pikiran manusia itu tiba-tiba hancur berkeping-keping, sejalan dengan berubahnya waktu. Pikiran kita yang logis, rasional dan sistematis itu, berubah menjadi semacam alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang justru tidak rasional, seperti perilaku politik yang menyimpang, eksploitasi dan perilaku-perilaku buruk lainnya. Pikiran kita ternyata mampu menciptakan cara pandang dualistik-antagonistik yang melahirkan perbedaan kawan-lawan.

Cara pandang dualistik-antagonistik yang memisahkan dan membuat tegangan antar manusia inilah, akar dari segala konflik yang ada. Kita, kemudian, melihat orang lain sebagai sosok yang berbeda, bahkan musuh. Kita juga melihat alam sebagai sesuatu yang terpisah, yang bisa diperas untuk kepentingan sekelompok manusia saja. Pada tingkat pribadi, cara pandang dualistik-antagonistik ini mampu melahirkan begitu banyak kecemasan yang mendalam, karena perasaan kita terpisah dengan alam dan manusia lain yang begitu kuat ?!.

Sementara itu, Adorno dan Horkheimer melihat semua masalah yang muncul ini sebagai sebuah krisis. Mereka menyebutnya sebagai dialektika pencerahan. Intinya adalah, ternyata bahwa akal budi atawa pikiran manusia telah berubah menjadi mitos baru. Pikiran manusia adalah pembebas yang kini justru menjadi penjara-penjara baru bagi hidup manusia dan melahirkan berbagai masalah.

Jürgen Habermas mencoba mengatasi masalah dualistik-antagonistik ini dalam bukunya yang berjudul Teori Tindakan Komunikatif. Ia menawarkan jalan keluar dengan memahami bahwa pikiran manusia sebagai akal budi komunikatif. Sisi komunikatif ini memang sudah selalu ada di dalam tutur bahasa dan di dalam pola pembicaraan antar sesama manusia. Jika sisi ini dikembangkan, maka akal budi komunikatif tersebut bisa menjadi jalan keluar dari berbagai krisis di dalam kehidupan manusia. Akal budi komunikatif dianggap sebagai jalan keluar bagi kebuntuan akal budi alias pikiran kita sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun