Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Budaya Berpura-pura

15 September 2014   18:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:38 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14108385581038795158

Oleh. Purwalodra

[caption id="attachment_359554" align="alignright" width="300" caption="Koleksi Pribadi"][/caption]

Dalam tulisannya yang berjudul Prestensi, Reza AA. Wattimena, Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, merekayasa pernyataan Descartes dengan mengatakan "Simulo ergo sum; Aku Berpura-pura, Maka Aku Ada." Pada awal tulisannya Reza mengupas buku berjudul Masse und Macht, Elias Canetti, penulis dan pemikir asal Bulgaria, yang mencoba mengamati berbagai bentuk perilaku manusia, dan mengaitkannya dengan perilaku hewan. Salah satu perilaku yang menonjol adalah pretensi, atau berpura-pura. Perilaku semacam ini tampak di dalam perilaku bunglon. Ketika apa yang ditempatinya berubah, maka si bunglon akan mengubah warna tubuhnya, guna menyesuaikan dengan latar-belakangnya.

Kita yang dinobatkan sebagai manusia, sering memiliki perilaku yang sama dengan hewan, maka tidak heran kalo manusia juga di sebut sebagai hewan yang mampu berfikir (homo sapiens). Mungkin, kepura-puraan yang dilakukan oleh hewan, berbeda dengan kepura-puraan yang dilakukan oleh manusia. Kepura-puraan pada manusia, biasa disebut sebagai kemampuan beradaptasi, atau kemampuan untuk menyesuaikan diri. Namun, di balik itu, kita tahu, bahwa kita berusaha memoles tampilan luar kita, agar sesuai dengan keadaan di luar diri kita. Bahkan, kita menipu diri kita sendiri, demi supaya bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar kita.

Sebagai contoh saja, orang yang biasanya trauma dengan hari senin, pasti akan mengatakan 'Horeee besok hari Seniiin ....' yang dikatakan dihari minggu selepas Magrib. Dalam berdagang, seorang sales berdandan dan wangi, sehingga bisa memperoleh kepercayaan pembeli. Kita berusaha tampil ramah dan bersahabat, walaupun hati kita tak nyaman. Kita berusaha tersenyum, walaupun mungkin hati dibakar amarah dan rasa benci. Kepura-puraan semacam ini menghiasi kegiatan banyak orang di kehidupan kita sehari-hari, baik di kantor maupun di masyarakat.

Pertanyaan yang mungkin bisa kita munculkan adalah, mengapa hal ini kita lakukan ?. Dalam hal ini, Reza berusaha menjelaskan apa yang melatarbelakangi perilaku kepura-puraan tersebut, yakni :  Pertama adalah rasa takut. Orang berpura-pura, supaya ia bisa melindungi dirinya dari masalah yang akan datang, jika ia menampilkan jati diri aslinya.

Politikus yang menampilkan wajah korupnya tentu tidak akan dipilih di dalam pemilu. Pedagang yang mengungkap cacat dari barang yang ia jual tentu tidak akan dapat menjual barangnya. Rasa takut ini terkait dengan alasan kedua, yakni kebutuhan untuk bertahan hidup. Dengan berpura-pura, orang berharap bisa menyelamatkan dirinya dari berbagai ancaman yang ada.

Reza menjelaskan alasan ketiga, yaitu kebutuhan akan pengakuan. Orang melebih-lebihkan dirinya. Ia tertawa berlebihan. Ia berbicara berlebihan. Alasan sebenarnya hanyalah satu, yakni untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain, bahwa ia adalah orang yang hebat, berharga dan, mungkin saja, bahagia. Menurut Honneth, pengakuan adalah salah satu kebutuhan mendasar manusia. Orang bisa saja, secara sadar ataupun tidak, melakukan berbagai cara untuk memperoleh pengakuan.

Alasan keempat adalah kepura-puraan sebagai cara untuk mencapai tujuan tertentu dengan  jalan-jalan yang lebih mudah. Hal-hal yang berharga di dunia ini kerap sulit untuk dicapai. Ada orang yang lebih memilih untuk mencapai hal-hal tersebut dengan cara-cara yang gampang. Ia menipu orang lain, guna mendapatkan tujuannya. Kepura-puraan adalah salah satu cara terbaik untuk ini. Orang berpura-pura baik dan jujur, walaupun ia korup dan suka menipu. Jika orang lain tahu jati dirinya yang asli, maka tujuannya tidak akan tercapai. Maka, ia lalu bersembunyi di balik kedok perannya. Ia berpura-pura.

Yang kelima adalah kepura-puraan sebagai upaya untuk memotivasi diri. Orang seringkali merasa tidak percaya diri di hadapan tugas yang berat. Ia juga kerap kali gundah, jika harus berhadapan dengan orang-orang yang memiliki prestasi besar. Pretensi, dalam hal ini, diperlukan sebagai upaya untuk meningkatkan motivasi diri, guna menghadapi tantangan di depan mata.

Alasan keenam adalah kepura-puraan sebagai tindakan harapan. Orang berpura-pura rajin, walaupun ia malas. Alasannya, supaya ia bisa mengubah kebiasaannya yang malas, lalu menjadi orang yang rajin. Kepura-puraan dibalut dengan harapan atas perubahan diri secara mendasar menjadi orang yang, menurut tolok ukur tertentu, lebih baik dari sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun