Oleh. Purwalodra
Saya menyadari, mungkin saya adalah suami yang paling galak sama istri. Sedikit saja ada salah dari istri, saya bisa ngomel sampai tiga hari. Tapi, kalo yang salah itu saya sendiri, saya berusaha, gimana caranya agar istri nggak marah sama saya, lebih dari tiga jam. Dari perilaku sehari-hari ini, istri saya selalu bersyukur, ‘untungnya punya anak laki-laki cuma satu, kalo saja punya anak laki-laki tiga, trus ditambah Bapaknya, bisa kiamat kecil setiap hari ?!’ He .. he .. he .. ini sikap syukur istri saya gara-gara punya anak laki-lakinya satu, sementara yang dua lagi perempuan ?. Itung-itung kalo diambil vooting masih menang satu suara. Xixixixixi ....
Jika kita menengok di bilik kehidupan lainnya, hampir setiap hari hidup kita berhadapan dengan kompetisi. Pandangan bahwa hidup ini adalah arena kompetisi merupakan pemahaman yang tidak keliru, namun jika dipahami lebih dalam hal ini akan membawa kita pada sosok mahluk yang tidak mau mengenal kata ‘kalah.’ Mahluk itu adalah manusia, yang menganggap hidupnya adalah sebuah kompetisi, yang mempertaruhkan kemenangan dan kekalahan.
Dalam setiap kompetisi, tidak ada orang yang bakal mau kalah atau mengalah. Dalam benak mereka selalu tertanam kata ‘menang’ meskipun kenyataannya ‘kalah.’ Karena itu, berkompetisi menciptakan ilusi bahwa setelah kita menang, kita menjadi yang nomor satu. Seolah tujuan kompetisi adalah kemenangan. Memang nasihat luhur bahwa kompetisi adalah sarana untuk belajar, itu mudah diucapkan. Namun itu tidak cukup, karena ilusi kemenangan atau nomor satu telah begitu dalam tertanam.
Dari sedikit paparan tersebut, sebenarnya saya tidak menyukai kompetisi. Selain saya tidak memiliki kemampuan yang perlu dikompetisikan, saya juga berpandangan bahwa hidup ini tidak ada yang harus dikompetisikan. Alasannya, tidak lain dan tidak bukan adalah bahwa setiap manisia itu memiliki keunikan masing-masing. Dengan keunikan itu, kita mampu mengembangkan dirinya tanpa harus diniatkan untuk melakukan persaingan. Manusia yang mampu melihat keunikan dirinya, secara otomatis mampu bertahan dan mengembangkan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat. Dengan keberbedaannya itu, manusia akan memiliki daya saing yang tinggi. Oleh karena itu, pesannya adalah jadilah diri kita sendiri !?.
Kemudian, di sisi lain manusia hidup dengan tujuan di dalam hatinya. Tujuan itu memacunya untuk bangun pagi, dan kemudian bekerja. Tanpa tujuan, hidup manusia terasa hampa. Tujuan yang mengental kuat sering tersesat menjadi ambisi. Ia lalu berusaha untuk mencapai ambisi tersebut. Segala daya upaya dilakukan, supaya ambisi itu menjadi kenyataan. Ambisi ini akan mengundang cara-cara yang jahat, sehingga tujuan dan ambisi hidup kita sering mengaburkan tata nilai dalam hidup kita sendiri.
Setiap ambisi yang tertanam di pikiran kita, akan menciptakan hidup dalam tegangan. Kecemasan dan kegelisahan hidup membayangi perjalanan hidup kita, yang penuh dengan ambisi. Padahal di dunia ini, kepastian itu berada pada setiap ikhtiar atau usaha yang kita lakukan, namun hasil dari setiap usaha kita itu tidak ada yang bisa memastikan ?! Ketidakpastian inilah yang membuat kita memiliki tegangan yang semakin besar, untuk terus memacu ambisi. Kita lupa bahwa dalam hidup ini selalu ada dua kemungkinan, yakni : gagal atau berhasil. Kegagalan adalah kemungkinan. Keberasilan juga kemungkinan. Ia bukanlah kemutlakkan, bahkan jika kita telah mengupayakan segala cara untuk mencapainya.
Kita juga perlu menyadari bahwa kegagalan adalah “kata”. Ia adalah label yang kita tempelkan pada suatu peristiwa. Ia bukanlah kenyataan itu sendiri. Ia adalah tempelan pikiran kita atas pengalaman tertentu. Begitu pula dengan keberhasilan, Ia juga adalah “kata”. Ia juga adalah label. Ia bukanlah kenyataan dan ia akan berubah, sejalan dengan perubahan manusia itu sendiri.
Kita memahami bahwa kegagalan dan keberhasilan itu sementara dan semu. Keduanya akan berubah. Keduanya akan datang, dan kemudian pergi. Ketika kita menjadikan keberhasilan ataupun kegagalan sebagai tujuan dan obsesi, maka kita akan terus menjalani hidup yang palsu. Sejatinya, hidup bukanlah soal menang atau kalah, berhasil atau gagal. Ia bukanlah kompetisi. Ia bukanlah pertempuran. Ia bukanlah pengejaran ambisi. Ia juga bukan usaha untuk menghindari kegagalan atau kekalahan.
Dalam sejarah manusia, seorang pemenang di masa lalu akan kalah di masa kini. Sementara, seseorang yang kalah di masa lalu juga akan menang di masa kini, atau di masa depan. Roda hidup itu selalu bergerak, tak peduli, siapa yang kalah atau gagal, siapa yang menang atau berhasil. Sudah saatnya, kita tidak boleh sibuk terfokus pada kegagalan dan keberhasilan, karena semuanya adalah semu dan palsu. Kita perlu belajar untuk melihat apa yang lebih kekal dan lebih dalam dari kegagalan atau keberhasilan. Kita perlu untuk “melampaui” kegagalan dan keberhasilan itu.
Pertanyaannya sekarang, apa yang kekal itu ? Yang kekal adalah kebebasan hati kita. Kita perlu menyadari hidup kita sendiri, dan kemudian mencapai kebebasan di dalam hati. Kebebasan ini membuat kita tidak lagi memilih antara, yang berhasil atau menang dan yang kalah atau gagal. Kita juga tidak lagi memilih sakit atau senang, kaya atau miskin. Kita bebas dari obsesi dan ambisi, sambil terus bekerja dan belajar, mengisi hidup kita dengan hal-hal yang bermakna, sesuai dengan ke-unikan kita masing-masing.