Oleh. Purwalodra
Beberapa hari ini, tersiar khabar bahwa harga daging sapi dan daging ayam melonjak naik. Kenaikan harga daging sapi ini, menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, akibat dari kelangkaan persediaan sapi yang siap di sembelih ?!. Sementara, kenaikan harga daging ayam lebih disebabkan karena harga pakan ayam ikut-ikutan melonjak naik, seiring dengan penurunan nilai rupiah terhadap Dollar Amerika. Maklum aja, beberapa komponen utama pakan ayam sekarang, juga harus impor dari luar negeri ?!. Suatu ketika, istri saya memutuskan, ‘ya udah kalo gitu kita beralih ke daging ayam aja Pa !.’ Mendengar putusan istri, saya cuma bisa bilang, ‘ma, jangankan ayam kampung yang sekarang sudah macem-macem mintanya, ayam kampus aja susah sekarang nyarinya ?!’ Kontan istri saya nyengirrrr, tujuh keliling ?!.
Sekelumit kondisi diatas, tentu akan mengakibatkan kegelisahan nasional karena terjadi kelangkaan bahan pangan, khususnya daging. Perlu disadari pula, bahwa negeri ini belum memiliki sistem ketahanan ekonomi fundamental yang baik. Jangankan swasembada pangan manusia, swasembada pakan ayam saja kita masih sangat tergantung pada luar negeri. Kalau mau lebih tajam lagi kita menganalisis kondisi sekarang, maka kemana saja para sarjana pertanian, peternakan dan para dokter hewan kita ?!. Sehingga kebutuhan impor pangan dan peternakan kita semakin tahun semakin meningkat. Dari titik ini saja kita bisa melihat, ternyata kita belum mampu bersaing dengan negara tetangga kita. Bagaimana kita bisa siap membuka lebar-lebar negeri ini, untuk masuknya produk-produk internasional. Sementara, produk-produk lokal kita saja belum mampu bersaing. Jangan-jangan, dengan masuknya produk-produk luar negeri tersebut, justru akan mematikan produk-produk lokal kita ?!.
Terkait dengan kenaikan harga daging ini, dan jika saja masyarakat kita mampu bersatu membangun ekonomi kesejahteraan bersama, maka cara-cara sinergistis, simultan dan berkesinambungan, bisa sedikit mengurai benang kusut ekonomi kita. Sebagai contoh saja, ketika daging sapi dan ayam terjadi kelangkaan di pasar, karena ulah para spekulan, kita dan seluruh masyarakat bisa saja ‘mogok’ makan daging, ganti dengan makan ‘tempe’ atau ‘tahu’. Atau, jika harga ‘tempe’ dan ‘tahu’ naik, kita secara serentak bisa ganti lauk-pauk kita dengan yang lainnya.
Dalam ekonomi kesejahteraan publik, apabila terjadi krisis kelangkaan pangan yang mengakibatkan harga-harga terus merangkak naik, maka masyarakat secara spontan bisa segera mengatasinya sendiri, dengan mengurangi permintaan terhadap barang-barang tersebut. Jadi, ketika harga daging naik justru kita bisa bersyukur, Alhamdulillah harga daging naik, besok bisa ganti makan yang lain ?!. Secara sederhana, inilah model ekonomi kesejahteraan bersama yang dimodelkan oleh Christian Felber, dari Austria.
Secara teoritis, jantung hati dari ekonomi kesejahteraan publik, sebagaimana dirumuskan oleh Felber, adalah kerja sama antar warga, guna mewujudkan tata politik dan ekonomi yang memberikan kesejahteraan bagi semua, tanpa kecuali. Christian Felber, yang lahir di Salzburg, Austria pada 9 Desember 1972. Ia menyelesaikan pendidikannya di Wina dan kemudian di Madrid sampai mendapatkan gelar Magister Filsafat. Pada 1998, ia mendapatkan beasiswa pemerintah Austria untuk mendalami literatur di Austria.
Pandangannya tentang ekonomi kesejahteraan publik ini, berakar dalam sekali di pemahaman filosofis tentang ekonomi, sebagaimana dirumuskan oleh Aristoteles. Menurutnya, kerja sama mengandaikan adanya dorongan hati dari seluruh rakyat untuk ikut ambil bagian di dalam semua bentuk proses sosial-masyarakat, walaupun kerap kali keadaan sulit, dan kebijakan yang ada tidak sesuai dengan kepentingan dan kehendaknya. Namun, mentalitas semacam ini, yakni kerja sama dan ikut ambil bagian, bukanlah hal asing bagi masyarakat di negeri ini, karena sudah selalu tertanam di dalam bentuk kerja sama yang sudah ada, yakni gotong royong.
Di dalam pemahaman tentang gotong royong, kesejahteraan bersama menjadi tujuan utama, dan bukan kesejahteraan sebagian orang, walaupun mereka adalah mayoritas. Kepentingan individu diperbolehkan, sejauh itu bisa ambil bagian di dalam kesejahteraan bersama suatu masyarakat. Sekali lagi perlu ditegaskan, “bersama” bukan berarti mayoritas, melainkan sungguh-sungguh semua orang yang ada di negeri ini.
Di dalam terpaan neoliberalisme, dimana uang dan keuntungan menjadi tolok ukur semua bagian kehidupan masyarakat, maka budaya gotong royong di Indonesia terkikis, nyaris hilang. Namun, kemungkinan untuk menghidupkannya kembali selalu ada, dan ketika kita belajar dari Felber, budaya itu digabungkan dengan tata ekonomi kesejahteraan publik yang berpijak lebih kuat pada demokrasi dan martabat manusia, yang kemudian dijaga keberlangsungannya oleh sistem hukum dan perjanjian yang bersifat mengikat, namun terbuka.
Selanjutnya, ekonomi kesejahteraan publik tidak melihat pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama. Uang, keuntungan, dan pertumbuhan ekonomi hanya dilihat berguna, sejauh ia mengembangkan kesejahteraan bersama seluruh warga. Jika uang, keuntungan dan pertumbuhan hanya menghasilkan kesenjangan yang besar antara yang kaya dan yang miskin, maka ia harus diatur lebih ketat, misalnya dengan kebijakan pajak, ataupun bentuk-bentuk lainnya.