Oleh. Purwalodra
[caption id="attachment_376447" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]
Pagi tadi, saat aku menulis status BB begini,. "Ingat!!!. Jasad ini hanya rumah sementara kita. Perlakukan ia seoptimal mungkin, sebagai sarana menimba ilmu" Tiba-tiba ada mahasiswiku mengirim pertanyaan begini, "Met pagi Bapak ?. Maaf bicara mengenai jasad, saya sangat takut akan kematian. Saya selalu stress saat teman, sahabat atau keluarga, bahkan orang yang tidak saya kenal meninggal, hal kaya gini kenapa ya pak ?. Saya sering terbawa emosi, meratapi mereka, menangisi dan tak selesai-selesai."
Pertanyaan mahasiswa itu merupakan bentuk dari suatu trauma, dimana trauma ini ditandai dengan kegelisahan batin. Kita tak bisa merasa tenang, karena kita akan hidup penuh dengan ketakutan. Kita takut dengan masa depan, takut mati dan berbagai ketidakpastian hidup lainnya. Akar dari trauma adalah rusaknya hubungan antara manusia. Dampaknya adalah ketidakbahagian hidup. Kita akan sulit menjalankan tugas sehari-hari. Hidup kita terasa tanpa tujuan dan tanpa makna, meski penampakannya penuh keceriaan dan kesenangan.
Seperti halnya, ketika aku menerima tugas, namun pada waktu yang ditentukan tugas tersebut ternyata belum bisa diselesaikan. Maka kejadian sehari-hari ini akan menjadi trauma dimasa depan, apabila tugas tersebut berulang kembali. Pengaruh trauma ini biasanya menyerang tubuh secara fisik dalam bentuk penyakit yang bermacam-macam.
Tetapi, trauma ini bukanlah sesuatu yang mutlak. Kita bisa menyadarinya, kemudian mengatasinya. Yang kita perlukan adalah pengetahuan mendalam tentang apa itu trauma. Pengetahuan yang setengah-setengah tidak akan membantu, malah justru akan memperbesar dan memperkuat trauma itu sendiri.
Trauma terjadi pada jiwa manusia. Ia bukan hanya disebabkan oleh luka fisik, tetapi juga luka jiwa. Ketika badan sakit, ada banyak kemungkinan penyebab. Salah satu yang paling sering ditemukan, adalah penyakit tubuh yang berakar pada trauma. Ini yang biasa disebut sebagai psikosomatik, yakni penyakit tubuh yang akarnya pada situasi jiwa.
Di dalam filsafat dan psikoanalisis, jiwa adalah bagian dari manusia yang memiliki fungsi-fungsi tertentu. Pertama, jiwa adalah pintu manusia menuju kenyataan. Tanpa jiwa, tubuh tidak akan berarti apa-apa. Manusia tidak bisa terhubung dengan kenyataan di luar dirinya. Kedua, peran jiwa yakni melakukan seleksi terhadap segala bentuk pengetahuan yang masuk ke dalam kepala kita. Kenyataan itu amat rumit. Sebagai manusia, kita tidak bisa menerima semua informasi yang ada. Disinilah peran jiwa, yakni sebagai penyeleksi segala bentuk informasi yang masuk ke kepala kita, sehingga bisa diolah.
Jiwa juga bukan sesuatu yang statik. Ia kreatif dan fleksibel. Ia memungkinkan kita melampaui masalah-masalah kita sehari-hari, dan juga melampaui penderitaan-penderitaan yang kita alami. Jiwa juga tidak membuat kita menjadi budak dari sebuah kenyataan.
Karena fleksibel dan kreatif, jiwa juga membantu kita untuk menjaga kelestarian diri kita. Ia mendorong kita untuk jatuh cinta dan berkembang biak. Pria dan wanita, memiliki jenis jiwa yang berbeda. Namun, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni mengembangkan dan menjaga keberlangsungan hidup manusia.
Jiwa memungkinkan manusia untuk memahami dunianya, berpikir, mengingat dan membentuk kesadaran baru pada dirinya. Jiwa menyeleksi sekaligus mengolah informasi yang kita tangkap dari dunia. Jiwa juga menuntun tindakan kita sehari-hari. Jiwa adalah elemen utama dalam diri manusia yang memungkinkan bagian-bagian biologisnya (organ tubuhnya) bergerak dan berkembang.