Oleh. Wira Dharmadumadi Purwalodra
Di balik tirani yang kokoh,
Ia mencakar-cakar langit hati dan pikiran.
Mental kotor bersembunyi di dedaunan,
yang tak lagi beranting dan berbatang.
Di atas menara legitimasi dan kekuasaan,
Suara gemuruh genderang perang,
bersaut-sautan.
Lensa kekuasaan sudah tembus pandang.
Hanya dia, satu-satunya yang patut di gadang.
Mengemas putusan tanpa sanggahan.
Bawahan hanyalah jelaga kotor,
di pantat penggorengan,
yang segera lenyap di pikiran.
Keangkuhan mewarnai mental sang diktator.
Ia yakin, tak ada yang lebih mampu dari dirinya.
Tak perlu partisipasi, hanya perintah dan larangan,
Yang selalu memecah gendang telinga bathin,
dan membelenggu diri dalam tirani.
Banyak korban hanyut dan menyingkir.
Potensi di dedaunan talas, jatuh satu-satu.
Inspirasi musnah bersama embun.
Kreatifitas terikat, terpateri pada dinding-dinding,
kesunyian,
Semuanya akan terpuruk dalam senyap,
yang memilukan.
Bekerja, sebatas kewajiban tanpa jiwa.
Ketegangan dan ketakutan memeluk sanubari.
Kreativitas sejak kemaren mati.
Kekecewaan tak lagi terasa menyakitkan.
Segeralah datang, hai para pemberani.
Lawan ketidaknyataan dan ketidakpastian.
Bunyikan lonceng-lonceng kesadaran.
Keluarkan mereka dari ketakutan,
Angkat mereka dari ketaksadaran,
dari mimpi-mimpi palsu yang melenakan.
Mereka yang tersandera kediktatoran,
segera kembali tuk berfikir sehat.
Di atas keabadian dan kesejatian.
Bergeraklah hadirkan Sang Maha Merubah.
Jangan biarkan para diktator-diktator merajai,
tubuh, pikiran, dan jiwa.
Cahaya keadilan, cahaya kesejahteraan, dan
cahaya keabadian, jadikan satu rumah.
Nyalakan kedamaian dan kelestarian,
bersama yang Maha Nyata.
Tanggalkan ego.
Tanggalkan tirani keserakahan,
Bangkit lawan kemunafikan.
Tebar wewangian kebaikan, kejujuran, dan
ketulusan.
Ciptakan penghormatan, emphati,
dan kasih-sayang.
Bekasi, 6 Juli 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H