Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bila Waktunya Telah Berakhir

13 Juli 2016   10:36 Diperbarui: 15 Juli 2016   08:54 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Purwalodra

Tidak banyak orang yang menyadari bahwa segala hal yang ada di muka bumi ini ada awal dan ada akhirnya. Ada waktu untuk memulai, dan ada waktu untuk mengakhirinya. Ada saatnya menggenggam dan ada pula saatnya melepaskan. Semua ada waktunya masing-masing. Semua hal, semua peristiwa dan kejadian terlihat begitu singkat, bahkan kita tak sempat untuk menikmati, apalagi memaknainya ?! Kesenangan dan penderitaan, kemenangan dan kekalahan, datang silih berganti tanpa sempat dimengerti. Roda kehidupan seakan-akan bergerak sangat cepat, tanpa sempat menilai mana yang benar dan mana yang belum tentu benar. Dan, bilamana waktunya tlah berakhir, mungkinkah kita bisa segera menyadarinya ?! Bahwa, kesementaraan ini, memang begitu sementara ?!

Kita hidup dalam ruang dan waktu. Ruang terus berubah, begitupun waktu. Filsuf di awal abad pertengahan Eropa, yakni Agustinus, telah melihat perbedaan antara dua macam waktu, yakni waktu subyektif dan waktu obyektif. Waktu subyektif adalah waktu yang kita rasakan di dalam batin dan perasaan kita. Sementara, waktu obyektif adalah waktu sebagai mana tertera di dalam jam dan kalender. Ia adalah hari, jam dan tanggal yang digunakan sebagai panduan oleh banyak orang di dalam menjalani hidupnya.

Waktu subyektif dan waktu obyektif berjalan dengan logika yang berbeda. Satu jam terkena macet di jalan dan satu jam bersama kekasih tercinta memiliki rasa yang amat berbeda. Secara obyektif, keduanya sama, yakni satu jam. Namun, secara subyektif, keduanya amatlah berbeda. Dimensi yang berbeda ini, satu sisi yang mengalaminya adalah bathin, dan sisi lainnya yang mengalaminya adalah pikiran rasional kita.

Di masa awal perkembangan ilmu pengetahuan modern di Eropa, pandangan tentang waktu subyektif pun disingkirkan. Yang tersisa kemudian adalah pandangan tentang waktu yang obyektif atawa rasionalitas. Di sini, waktu dipandang sebagai sesuatu yang ada secara mandiri di luar diri manusia. Ia adalah bagian nyata dari alam yang bisa diukur.

Pandangan inipun kemudian dikritik oleh Immanuel Kant, filsuf Pencerahan asal Jerman. Ia berpendapat, bahwa waktu adalah bagian dari akal budi manusia. Ia tidak berada di alam, melainkan di dalam pikiran manusia. Sebagai bagian dari pikiran manusia, waktu membantu manusia sampai pada pengetahuan tentang dunia.

Di dalam filsafatnya, Kant sudah menegaskan, bahwa waktu selalu terkait dengan ruang. Keduanya adalah bagian dari pikiran manusia. Pandangan ini dikembangkan selanjutnya oleh Albert Einstein. Ia melihat, bahwa waktu tidak pernah bisa dipisahkan dari ruang. Maka dari itu, ia merumuskan konsep ruang-waktu untuk menegaskan maksudnya.

Dalam ruang dan waktu, hidup kita tak selalu sesuai dengan keinginan kita. Pada saat keinginan dan harapan kita rontok di depan mata, kita mengalami krisis hidup. Ketika krisis berulang kali terjadi, kita pun lalu merasa putus asa. Lantas, kita mengira, bahwa hidup ini tidak bermakna, dan tidak layak untuk dijalani.

Padahal, jika dipikirkan lebih dalam, hidup adalah kemungkinan tanpa batas. Kita bisa saja melakukan apapun, selama kita memiliki komitmen untuk bekerja dan berpikir, guna mewujudkan harapan serta keinginan kita itu. Salah satu kemampuan penting untuk mencapai cara berpikir ini sudah selalu terletak di otak kita sendiri. Rasa putus asa dan patah arang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Sementara itu, penelitian-penelitian terbaru dengan otak dan kesadaran kita, yang dikembangkan di dalam filsafat dan neurosains menunjukkan satu hal, bahwa perubahan di dalam diri kita itu adalah sesuatu yang mungkin. Ini bukan hanya sekedar perubahan cara berpikir, tetapi juga termasuk perubahan struktur biologis otak itu sendiri. Di dalam berbagai wacana ilmiah, hal ini dikenal sebagai neuroplastisitas, yakni kemampuan otak untuk terus berubah, sepanjang hidup kita. Otak bukanlah mesin biologis tak bernyawa, melainkan sebuah sistem biologis yang bisa terus berubah dan berkembang, sesuai dengan pengalaman hidup manusia itu sendiri.

Namun demikian, alam semesta (makro kosmos) itu selalu lebih besar dari manusia, sebagai mikro kosmosnya. Alam tidak pernah bisa sepenuhnya dipahami oleh manusia. Akal budi dan kemampuan manusia terlalu kecil untuk memahami dan “memegang” alam ke dalam tangannya. Inilah paradoks dasar dari filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi, yakni mereka berusaha untuk memahami apa sesungguhnya tak terpahami.

Ketika kita tidak bisa lagi memahami, maka kita perlu melepas akal budi kita. Kita perlu sadar sepenuhnya, bahwa kita hanyalah titik kecil di tengah jagad semesta yang luas, nyaris tak terkira. Kita perlu berusaha sampai pada satu titik, dimana kita harus melepaskan usaha kita. Dengan kata lain, untuk mengontrol alam, kita membutuhkan akal budi, sementara untuk bisa melepas alam, manusia memerlukan kebijaksanaan. Mungkin, inilah yang sekarang kurang kita miliki. Kita ingin mengontrol segala sesuatu, tetapi kita tidak pernah siap untuk melepaskannya ?!

Kemudian, bagaimana kita bisa memiliki kebijaksanaan untuk melepaskan? Dari titik ini, kita perlu sadar, bahwa segala hal di dunia ini sementara. Hidup kita ini ada dan kemudian dengan berjalannya waktu, hidup kitapun akan menghilang. Karena itu, bila waktunya tlah berakhir, mau-tidak-mau, suka-tidak-suka, kitapun harus mampu melepaskan hidup ini. Hal ini berlaku untuk segala sesuatu, mulai dari karir, keluarga, harapan, kekecewaan dan kehidupan itu sendiri. Semua ada dan akan berlalu.

Pada akhirnya, kita mestinya bisa hidup di antara sikap memegang dan melepas. Kita juga perlu menata hidup kita, sambil terus sadar, bahwa ini pun akan segera berakhir. Kita harus mampu hidup dengan sepenuh hati, sambil terus sadar, bahwa tubuh kita semua akan menjadi tanah dan debu pada akhirnya nanti. Hidup dengan kesadaran ini berarti hidup sejalan dengan alam. Hidup sejalan dengan alam juga berarti hidup seirama dengan hukum-hukum alam. Kita tidak lagi memaksakan ambisi kita di dalam kehidupan ?! Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 13 Juli 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun