Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia Bukan Alat Kepentingan Apapun!

5 Juli 2016   04:14 Diperbarui: 7 Juli 2016   10:42 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konsep kapitalis, manusia tidak lebih dari faktor produksi, yang keberadaannya disamakan dengan mesin (machine), material, money, methode dan market. Karena itu, harga manusia sebanding dengan upah yang dibayarkan kepada dirinya. Manusia hanya sebatas alat untuk memperoleh outcome dari proses produksi sebuah institusi atawa lembaga atau perusahaan. Ketika kita menganggap manusia sebagai alat atau faktor produksi, maka hilanglah kemanusiaan kita sebagai manusia ?!.

Manusia perlu untuk selalu menjadi tujuan, apapun yang terjadi. Ia tidak pernah boleh menjadi alat bagi tujuan apapun di luar dirinya. Manusia bukan barang ataupun alat yang bisa dimanfaatkan. Inilah nilai pertama yang selalu harus dipegang ?!. Namun, yang terjadi saat ini, manusia tidak lebih sebagai komoditas seperti barang yang diperdagangkan, seperti halnya melalui outsouching (alih daya) oleh parabroker tenaga kerja. Eksploitasi manusia atas manusia ini bukan hal baru di dunia ini, namun sejak lama ternyata manusia sudah menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).

Yang lebih mengerikan lagi di era humanistik saat ini, ketika suatu perusahaan mempekerjakan karyawannya tanpa upah yang layak dan tanpa ada kesempatan untuk berkembang. Faktanya, ketika seorang karyawan diketahui oleh perusahaan mengikuti pendidikan dengan biaya sendiri, maka manajemen segera memecatnya sebagai karyawan, dengan alasan mengganggu produktivitas kerja. Kondisi semacam ini merupakan hal biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan manufaktur di negeri ini.

Sementara, UU keternagakerjaan secara implisit maupun eksplisit tidak melindungi karyawan atawa buruh yang ingin mengembangkan dirinya melalui pendidikan, kursus atawa lainnya. UU Ketenagakerjaan kita masih berorientasi kepada faktor produktivitas saja, dimana karyawan atawa buruh hanya sebatas faktor produksi, bukan sebagai asset perusahaan. Dengan demikian, wajar saja jika pasal-pasal tentang outsourchingbelum bisa dihapus atawa diharamkan dalam UU ketenagakerjaan kita.

Dengan UU ketenagakerjaan saat ini, memberi peluang kepada seluruh lembaga, institusi, perusahaan, baik yang berorientasi profit maupun non profit, untuk menjadikan manusia sebagai alat bagi tujuan-tujuan tertentu di luar dirinya, entah sebagai alat penghasil keuntungan atau peraih kekuasaan. Seperti hewan ataupun tumbuhan, manusia diperas demi kepentingan manusia lain yang merasa lebih punya kekuatan. Sebenarnya, hal ini tidak boleh dibiarkan, namun apa boleh buat tohk para penguasa kita masih menghargai rakyatnya, yang berprofesi sebagai pengusaha dari pada buruh atawa karyawan.

Mungkin, masih beruntung bagi karyawan atau buruh perusahaan yang masih memiliki kekuatan dari serikat buruh/pekerja di dalamnya, bahwa setiap tahun mereka disesuaikan upah minimumnya, baik secara kabupaten/kota dan bahkan regionalnya. Tapi, untuk para Tenaga Pendidik dan Kependidikan, setiap yayasan yang menaungi sekolah, membayar guru-guru dan staf TU-nya tanpa kontrol dari serikat pekerja kependidikan maupun pemerintah setempat. Sehingga, boleh jadi banyak sekolah swasta atau yayasan swasta membayar guru-gurunya tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Honor guru dan staf tata usaha pada sekolah-sekolah swasta masih dihitung dari jumlah jam mengajar. Sementara, jumlah jam mengajar selama sebulan penuh, seorang guru hanya memperoleh upah seharga jam mengajar seminggu. Apakah hal ini masih dianggap wajar, atau pikiran kita masih berada di zaman Ki Hajar Dewantara dulu ?!.

Lalu, apakah mungkin cara-cara kapitaslis seperti itu, masih dianggap layak, atau mungkin para buruh, karyawan, guru atau pekerja lainnya, perlu memiliki keteguhan hati dan bersabar menunggu para pengusaha pendidikan dan penguasa menyadari semua ini ?!. Atau, kita menunggu makin banyaknya para tenaga pendidik dan kependidikan melakukan bunuh diri, lantaran kebutuhan dasar ekonominya tidak terpenuhi ?! Pada titik ini, kita akan sulit menemukan akal sehatnya.

Selanjutnya, jika kita menelaah lebih dalam tentang makna bekerja bagi kita, manusia, Franz Magnis-Suseno pernah berpendapat, bahwa refleksi filsafat tentang kerja dapat ditemukan sejak 2400 tahun yang lalu. Walaupun pada masa itu, kerja dipandang sebagai sesuatu yang rendah. Warga bangsawan tidak perlu bekerja. Mereka mendapatkan harta dari status mereka. Bahkan dapat dikatakan bahwa pada masa itu, manusia yang sesungguhnya tidak perlu bekerja. Ia hanya perlu berpikir dan menulis di level teoritis. Semua pekerjaan fisik diserahkan pada budak. Budak tidak dianggap sebagai manusia seutuhnya.

Pada abad ke 17 dan 18, refleksi filsafat tentang kerja mulai berubah arah. Salah seorang filsuf Inggris yang bernama John Locke pernah berpendapat, bahwa pekerjaan merupakan sumber untuk memperoleh hak milik pribadi. Hegel, filsuf Jerman, juga berpendapat bahwa pekerjaan membawa manusia menemukan dan mengaktualisasikan dirinya. Karl Marx, murid Hegel, berpendapat bahwa pekerjaan merupakan sarana manusia untuk menciptakan diri. Dengan bekerja orang mendapatkan pengakuan.

Secara singkat Magnis-Suseno menegaskan, bahwa ada tiga fungsi kerja, yakni fungsi reproduksi material, integrasi sosial, dan pengembangan diri. Yang pertama dengan bekerja, manusia bisa memenuhi kebutuhannya. Yang kedua dengan bekerja, manusia mendapatkan status di masyarakat. Ia dipandang sebagai warga yang bermanfaat. Dan yang ketiga dengan bekerja, manusia mampu secara kreatif menciptakan dan mengembangkan dirinya. Dari titik ini, masihkah kita mampu memperalat manusia untuk kepentingan diri kita sendiri ?! Wallahu A’lamu Bishshawwab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun