Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merelatifkan Berbagai Sudut Pandang !

23 Juli 2015   05:53 Diperbarui: 23 Juli 2015   05:53 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Purwalodra

Kasus kerusuhan di Tolikara, Papua, sampai sekarang, masih menyisakan polemik sudut pandang. Sebagian besar masyarakat melihatnya dari sudut pandang ‘Sara’, sementara pihak keamanan melihatnya dari sudut pandang aksi spontanitas tanpa terencana. Para politisi melihatnya sebagai aksi teroris. Sementara Pemerintah melihatnya dari sudut pandang ‘pengeras suara.’ Para tokoh Islam melihat peristiwa ini adalah momentum jihad. Lalu, para tokoh kristianipun melihatnya dalam koridor antisipasi adanya balas dendam. 

Gemuruh lautan berbagai sudut pandang, tentang kasus Tolikara, Papua ini telah membuka tabir, bahwa justru di era informasi saat ini telah terjadi desain ulang fanatisme baru yang dibentuk dari modernitas kehidupan. Meskipun, pemerintah masih menggunakan cara-cara lama dalam menyelesaikan masalah di Tolikara, Papua, yakni ‘pencitraan’. Melalui berbagai desain ulang pemberitaan, sampai merehabilitasi Masjid yang terbakar dengan dana milyaran rupiah. Yang lebih aman biasanya, mencari-cari dalang kerusuhan yang ditimpakan kepada pihak-pihak luar negeri atau luar daerah Papua.

Polemik terkait dengan peristiwa perusakan simbol-simbol agama ini sebenarnya hanya puncak gunung es dari permasalahan yang lebih dalam, yakni badai relativisme yang kini melanda masyarakat kita, terutama masyarakat yang tenggelam dalam lautan informasi. Relativisme membawa orang pada kebingungan, dan akhirnya melakukan pembiaran serta ketidakpedulian terhadap berbagai tindakan yang bisa merugikan orang lain, atau merugikan kepentingan bersama.

Relativisme adalah suatu paham yang terdiri dari beragam argumen. Di balik beragam argumen tersebut, ada satu yang sama, yakni bahwa realitas, dan seluruh aspeknya, termasuk pikiran, moralitas, pengalaman, dan penilaian manusia, tidaklah mutlak, melainkan relatif posisinya pada sesuatu yang lain.

Yang paling sering ditemukan adalah relativisme dalam bidang moral. Argumen yang sering muncul adalah, apa yang baik dan buruk itu amat relatif pada kultur setempat. Di satu tempat satu tindakan dianggap baik. Sementara di tempat lain, tindakan yang sama dianggap tidak baik.

Argumen-argumen relativisme sering membawa kita pada akhir yang membingungkan, karena kita seolah tidak lagi bisa memutuskan secara pasti apa yang baik dan buruk, apa yang benar dan apa yang salah. Namun relativisme jelas memiliki pesonanya sendiri yang memikat para pemikir, dan tak bisa begitu saja diabaikan.

Dari titik ini, mungkin pemerintah sudah mampu melihat bahwa kondisi masyarakat kita sudah termakan oleh paham-paham realitivisme ini, sehingga Pemerintah dalam kasus Tolikara, Papua ini mencoba mengganti judul-judul berita agar persoalan lebih menyempit, dan memperhalus bahasa agar publik menjadi lebih bingung. Selain pencitraan, penyelesaian kasus Tolikara, Papua hanya dilakukan dengan merehabilitas sarana-prasarana ibadah dengan dana dari berbagai kementerian di tingkat pusat. Sementara, aktor dan dalang intelektual masih bebas membela diri di berbagai media publik setempat. Inikah yang disebut dengan sebuah keadilan ?!.

Padahal bagi yang memahami paham relativisme ini, yakni : ada kelemahan yang amat mendasar dari relativisme, yakni paham tersebut mengajak kita memasuki alam ketidakpastian eksistensial diri dan anarki sosial, karena tidak ada lagi satu pijakan bersama yang mendasari makna hidup maupun relasi-relasi sosial politik di dalam masyarakat.

Dari dua ekses relativisme itu, yakni ketidakpastian makna hidup dan anarki sosial, kita bisa menurunkan banyak sekali hal-hal negatif, mulai dari kecenderungan apatisme sosial di dalam masyarakat modern, negara otopilot di mana pemerintah tak lagi memegang otoritas yang diberikan kepadanya, sampai dengan anarki sosial yang menciptakan kekacauan serta beragam kejahatan lainnya, seperti pembakaran, penjarahan, pemerkosaan, penghancuran, pembunuhan, dan sebagainya.

Sementara, pada level etika (filsafat moral), relativisme juga memiliki pengaruh besar. Pandangan ini mempertanyakan keabsahan tolok ukur moral dan hukum positip yang telah berlaku lama di masyarakat. Apa yang baik dan apa yang benar digoyang, dan dipertanyakan ulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun