Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menemukan Akar Tindak Kekerasan

20 Juli 2015   21:28 Diperbarui: 20 Juli 2015   21:28 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Kita bisa mengingat kembali katalog kekerasan di negeri ini sejak tumbangnya rezim Soeharto, mulai dari kerusuhan Mei 1998 dengan target etnis China, perang saudara di Maluku antara kelompok Kristen dan Muslim, perselisihan etnis di Kalimantan antara Dayak dan Madura, pengejaran dukun-dukun santet di Blambangan, tawuran antar pelajar, dan seterusnya. Dan dalam pertarungan politis dalam rangka Pemilu 2014 kemaren, kecemasan akan kekerasan tak juga dijauhkan dari kita. Kita bisa berkilah bahwa saat itu kita berada dalam keadaan tidak normal. Namun, dalam keadaan yang dianggap “normal” sekalipun pencuri sandal di masjid dan para pembegal sepeda motor di wilayah tertentu sudah bisa mengalami nasib mengenaskan seperti bidaah di Eropa abad pertengahan : dibakar massa.

Mengapa manusia melakukan kekerasan kepada sesamanya? Pertanyaan sederhana ini menyimpan keheranan. Keheranan adalah sebuah perasaan yang timbul saat orang menghadapi yang tidak lazim. Dapat dibayangkan apa yang terjadi di dalam sebuah masyarakat yang menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang lazim. Tak ada keheranan yang muncul atasnya, akal pun tertidur, dan bersamaan dengan itu kekerasan tidak pernah dipersoalkan. Sebuah masyarakat yang tidak mempersoalkan kekerasan sudah kehilangan keberadabannya. Karena itu, pertanyaan di atas sangat penting untuk dilontarkan dan dijawab.

Keheranan kita akan bertambah saat membaca bagaimana sikap para pelaku kekerasan itu terhadap korban-korban mereka. Dalam konflik etnis di Kalimantan kepala manusia dipenggal dan diarak beramai-ramai dengan penuh kebanggaan. Ekstasis massa semacam itu juga terjadi di dalam peristiwa Blambangan dan banyak peristiwa lain, seperti dalam perang, pogrom, masaker, dan seterusnya. Yang ganjil dalam perilaku massa itu adalah berciri psikologis, para pelaku mengalami penumpulan rasa salah atas tindakan kekerasan mereka. Akal sehat sirna dan moralitas kehilangan daya gigitnya.

Mungkin saja, akar dari segala kejahatan dan kekerasan di mulai dari pikiran kita sendiri. Semua tindakan dimulai dari pikiran. Semua penilaian dan analisis mulai dari pikiran. Maka, kita pun harus masuk ke ranah pikiran, guna membongkar semua akar kekerasan, baik yang bernafaskan ‘Sara’ atau kriminalitas murni.

Pada hemat saya, akar dari segala kejahatan adalah pola pikir dualistik. Pola pikir dualistik selalu melihat dunia dalam dua kutub yang bertentangan, yakni benar-salah, baik-buruk, suci-tidak suci, beriman-kafir, serta dosa-tidak dosa. Dengan pembedaan ini, kita lalu terdorong selangkah lebih jauh untuk melihat orang lain sebagai musuh (yang berdosa, kafir, salah, dan buruk) yang harus dihancurkan.

Padahal, jika ditelaah lebih dalam, pola berpikir dualistik pada dasarnya adalah salah. Tidak ada dualisme. Dualisme hanya ada di dalam pikiran. Tidak ada perbedaan. Perbedaan hanya tampilan kulit yang menutupi esensi yang sama dari segala hal.

Segala bentuk kekerasan dan kejahatan bisa dilenyapkan, jika kita melepaskan pola berpikir dualistik. Kita lalu melihat diri kita sendiri satu dan sama dengan segala hal, termasuk dengan alam, hewan dan tumbuhan. Kita tidak lagi memiliki dorongan untuk mencap atau menyakiti apapun atau siapapun, karena kita semua, sejatinya, adalah satu dan sama. Bahkan, pada situasi yang paling ekstrem, kita lebih memilih untuk disakiti, daripada menyakiti orang lain.

Namun, pola berpikir dualistik tidak otomatis langsung menciptakan kekerasan. Setidaknya, saya melihat dua hal yang mendorong pola berpikir dualistik menjadi kekerasan. Yang pertama adalah kesenjangan ekonomi yang besar antara orang kaya dan orang miskin. Ketika sekelompok orang hidup dalam kemiskinan yang besar, sementara mereka harus menyaksikan orang-orang kaya bergaya hidup mewah setiap harinya, pola berpikir dualistik akan mendorong terciptanya tindakan kekerasan.

Yang kedua adalah konflik masa lalu yang belum mengalami rekonsiliasi, dan menjadi dendam. Ketika orang hidup dalam dendam, segala hal akan tampak jelek di matanya. Ia akan bersikap jahat, seringkali tanpa alasan. Maka, segala konflik di masa lalu harus menjalani proses rekonsiliasi, supaya ia tidak berubah menjadi trauma kolektif dan dendam yang mendorong terciptanya kekerasan.

Sebagai manusia, kita perlu untuk memutus rantai pikiran yang memisahkan. Kita perlu melihat dunia apa adanya, tanpa perbedaan. Kita perlu sadar, bahwa segalanya adalah satu dan sama. Kita juga perlu sadar, bahwa kita semua hidup dalam kesatuan jaringan yang tak bisa dipisahkan. Pola berpikir dualistik haruslah dilampaui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun