Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wajahmu Adalah Sebuah Puisi?

16 Juli 2015   04:34 Diperbarui: 9 Oktober 2017   01:08 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Oleh. Purwalodra

Tak pernah selesai aku membaca raut wajahmu, bahkan sampai malam selarut ini. Puisi yang memaparkan perjalanan hidup. Puisi yang menceritakan banyak hal tentang petualangan hati. Puisi yang menyatukan kegembiraan dan kepedihan hati. Puisi yang menelantarkan kewibawaan dan harga diri. Puisi yang mampu mengosongkan gemerisik angin dan membawanya pada kesunyian batin. Inilah gambar wajahmu malam ini.

Setangkup peristiwa yang bisa kita nikmati saat itu, sebenarnya sebuah pertanda bahwa apa yang kita pikirkan tentang masa depan, sama, yakni menggapai cinta tanpa mengganggu masa lalu kita. Semoga, seiring dengan berjalannya waktu dan nafas kita, akan ada matahari yang bisa kita temukan dan tidak terlalu menyilaukan mata, atau rembulan bulat yang tak berselimut mendung. Hanya bisikan bathin kita saja yang tahu, apa sebenarnya yang terjadi dengan waktu yang sesingkat itu.

Mungkin juga, ada orang yang bisa membaca bahwa apa yang terjadi pada bathin kita itu sebuah fatamorgana, yang tak bakal mewujudkan kisah-kisah nyata. Tapi apalah kita, karena hanya Tuhan yang bisa meneruskannya sampai diujung perjalanan hidup kita. Sehingga, setiap detak jantungku yang selalu bersentuhan dengan semesta ini, tanpa kau sadari, sejak lama melantunkan do’a-do’a terindah untukmu. Semoga, seluruh isi alam ini mendengarnya sebagai simbol bahwa aku masih merindukanmu.

Meski kata hati kita belum sama-sama mengungkap, semua persoalan hidup yang kita alami sampai saat ini. Namun, getarannya sudah mampu meretakkan seluruh persendian hidup kita. Kita seakan tak berdaya, dengan kibasan-kibasan cinta yang kita pendam. Seperti api dalam sekam, percikannya mampu membakar gairah kita untuk senantiasa bisa bersatu dan merasakan kenyamanan.

Peristiwa demi peristiwa yang kemaren kita lalui, meski meliuk-liuk penuh prasangka, aku yakin ada sisa-sisa jelaga yang membentuk sejarah cinta kita. Aku membacanya sebagai dinamika yang menyusun harmoni kehidupan kita kelak. Aku memaknainya sebagai jalan hidup yang belum sempurna. Semoga kau bisa mengerti bahwa cinta ini tumbuh diatas trauma dan tangis yang belum selesai. Kita masih akan banyak menemukan padang dan ngarai yang setiap saat ada perhentian untuk sekedar kita melepas kelelahan dan menertawai kejenuhan kita dalam bersandiwara.

Sampai hari ini, aku masih memiliki keyakinan, jika kau tak khianati kemarau saat ini, kita akan menemukan hujan di penghujung musim. Kita akan menemukan titik dimana bathin kita sama-sama memiliki kunci untuk saling membuka diri. Biarkan saja dulu semuanya menjadi gelap, tapi kita akan saling menjaga agar titik-titik terang itu bersembunyi disudut hati. Dengan begitu, jalan panjang cinta kita masih memiliki setangkup harapan agar bisa hidup seturut usia kita yang semakin larut.

Bercermin dari wajahmu, yang tak mampu menatap wajahku malam itu, bukan berarti aku tak mampu membaca bait-bait syair yang ada di matamu. Detik-detik yang menggelapar di luar sana, telah mengiringiku dalam kesunyian untuk memahami bait-bait kerinduanmu dalam belantara kehidupan. Aku membaca wajahmu, seperti aku membaca jalan hidupku sendiri. Aku memahamimu seperti aku menafsirkan kegelisahanku saat ini.

Puisi diwajahmu tak kan pernah selesah kubaca. Karena semakin kupahami bait-baitnya, semakin panjang syair yang bisa terurai. Semakin damai hati ini, semakin jelas apa yang tersirat dalam belantara kata-katamu. Semakin aku tak mampu memejamkan mataku di sudut-sudut malam. Ketika sungai-sungai dalam bathinku menghanyutkan seluruh perasaanku, aku semakin yakin bahwa wajahmu adalah puisi yang tak pernah bisa selesai. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 16 Juli 2015.     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun