Oleh. Purwalodra
Mimpiku dua malam yang lalu adalah melepas seekor ular dari dalam sangkar. Aku melepaskan ular itu, lantaran aku mencemaskan, jangan-jangan, ia kelak akan menjadi buas di kemudian hari, atau aku tak mampu memberi makan untuk kelangsungan hidupnya. Mimpi yang penuh kiasan ini menjadi renunganku dan bahan refleksi dalam hidupku beberapa hari ini. Dan, ternyata pesan dalam mimpiku itu, antara lain aku harus mampu melepaskan apa menjadi sumber kekuatiran dan kecemasanku selama ini. Mungkin dengan sikap melepaskan inilah aku menjadi lebih damai, daripada mengurungmu dalam sangkar cinta yang justru menimbulkan banyak ketakutan dan kekuatiran.
Membebaskan cinta yang selama ini menjadi harapan hidupku, merupakan usaha yang amat berat. Karena, tidak ada orang yang melakukan tindak mencintai tanpa diiringi dengan rasa takut kehilangan. Begitu juga, ketika banyak orang tidak menyadari bahwa pandangan yang paling umum, yang paling populer, tentang cinta selalu melibatkan unsur “menerima dan memberi” sesuatu. Maka, upaya untuk tidak membebaskan perasaan cinta inilah yang akan menimbulkan banyak penderitaan.
Mencintai seseorang selalu bertujuan untuk memenuhi perasaan aman, perasaan diakui dan diterima, serta perasaan bahwa aku adalah bagian dari sesuatu. Namun, ironinya bahwa aku seringkali merasa tahu apa yang aku inginkan itu adalah cinta sejati. Akan tetapi, sebenarnya yang kuinginkan hanyalah ilusi. Karena, cinta yang sebenarnya adalah sesuatu yang mistik, yang menyentuh keutuhan jiwa.
Selanjutnya, menyadari adanya “cinta yang biasa” dan “cinta sejati” tidak mampu dilakukan oleh pikiran semata. Meski, perbedaan dari kedua jenis cinta ini sama juga seperti perbedaan antara menerima dan memberi. Disini, arti memberi tidak hanya mengacu pada memberi benda-benda material ataupun kekayaan tertentu. Disini, arti memberi adalah suatu ekspresi kualitas-kualitas emosional yang positif, seperti kesabaran, ketulusan, pengertian, dan pengampunan. Oleh karena itu, orang yang ingin memiliki cinta secara berlebih justru adalah orang yang paling memiliki kemungkinan untuk menipu. Sementara, orang-orang yang secara praktis tidak menginginkan apapun, dan siap memberikan semuanya, justru adalah orang yang dapat mencintai secara sempurna. Cinta semacam ini bukanlah ilusi.
Lalu, bagaimana aku bisa memiliki kebijaksanaan untuk melepaskan cinta yang selama ini berada dalam mimpi-mimpiku ?. Aku perlu sadar, bahwa segala hal di dunia ini sementara. Ia ada dan kemudian dengan berjalannya waktu, ia menghilang. Hal ini berlaku untuk segala sesuatu, mulai dari mencintai seseorang, karir, keluarga, harapan, kekecewaan dan kehidupan itu sendiri. Semua ada dan akan berlalu.
Plato, filsuf Yunani Kuno, juga sudah menegaskan, bahwa tubuh adalah penjara bagi jiwa. Tubuh itu hanya seperti kendaraan yang mengantar manusia ke berbagai ruang. Namun, ia menghalangi jiwa manusia untuk sampai pada pengetahuan sejati. Tubuh manusia akan sakit, menua dan akhirnya mati.
Dengan demikian, aku harus hidup di antara sikap memegang dan melepas. Aku perlu mengelola hidupku sendiri, sambil belajar untuk melepasnya. Aku perlu menata hidup, sambil terus sadar, bahwa ini pun akan segera berlalu. Aku harus hidup dengan sepenuh hati, sambil terus sadar, bahwa tubuhku akan menjadi bangkai dan debu pada akhirnya nanti.
Akhirnya, hidup dengan kesadaran seperti ini berarti hidup sejalan dengan sunatullah. Hidup sejalan dengan sunatullah berarti hidup seirama dengan hukum-hukum alam. Aku tidak lagi memaksakan ambisiku di dalam kehidupan. Aku mengatur diriku sendiri dan alam di sekitarku dengan kesadaran penuh, bahwa semuanya perlu dilepas pada akhirnya nanti. Aku harus terus belajar untuk melepas, ketika waktunya melepas !?. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 05 Juli 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H