Oleh. Purwalodra
[caption id="attachment_404613" align="alignright" width="300" caption="Luthfi Syarqowi (Foto koleksi pribadi)"][/caption]
Status BB temanku, hari ini, mengatakan bahwa bahagia itu sederhana, cukup secangkir kopi dan sebatang rokok. Menurutku pernyataan ini sangat berani dan radikal, kenapa begitu ?. Karena bahagia menurut temanku ini mempersyaratkan sesuatu, yakni kopi dan sebatang rokok. Seandainya, tidak ada lagi secangkir kopi dan sebatang rokok, apakah ia tetap bahagia ?. Atau mungkin syaratnya akan berubah menjadi, 'bahagia itu kalo kita bisa melamuni secangkir kopi dan sebatang rokok ?'.
Memang sih, besarnya skala kebahagiaan manusia di dunia ini membuat kita sulit untuk sungguh-sungguh memahaminya, dan usaha mencari kebahagiaan pun seringkali adalah suatu usaha yang problematis yang tak pernah berhenti. Banyak upaya yang bisa dicapai, namun seringkali semua upaya itu saling bertentangan satu sama lain. Akibatnya tidak ada pengertian tunggal yang menyeluruh tentang kebahagiaan. Jika kebahagiaan manusia ini bisa dipahami secara menyeluruh, maka kebahagiaan hanyalah persoalan intelektual saja. Namun faktanya kebahagiaan melampaui dimensi intelektualitas. Oleh sebab itulah, pikiran manusia tidak dapat, dan tidak boleh, bisa memahaminya secara utuh. Kebahagiaan manusia selalu menyisakan misteri bagi manusia itu sendiri yang hendak mencarinya.
Akhir-akhir ini aku juga mulai mencoba menyederhanakan hidup untuk bisa bahagia, mencoba melakukan langkah-langkah strategis untuk menata kembali hidupku, yang menurutku rusak parah. Pandangan hidup yang dulu menjadi mimpi sejak kecil, berantakan oleh ide-ide besar yang mungkin terlalu konyol atau tak masuk akal. Hidup yang sederhana, kecil dan indah tanpa manipulasi, ternyata mampu mendamaikan hati dan fikiranku, sekarang.
Ketidakbahagiaanku berawal dari ketidakpercayaan pada diri sendiri. Karena salah mempercayai orang lain, atau boleh dibilang mempercayai orang lain melebihi dari percaya pada diriku sendiri, sehingga semua fikiranku adalah fikirannya. Aku tidak lagi menjadi diriku sendiri, dan hidup menjadi orang lain. Apa kata dia itulah yang kujalani, tanpa fikiran kristis, tanpa pertimbangan nurani. Aku hanya menganggap mereka lebih benar dari diriku sendiri.
Dalam ranah filosofis, konsep kebahagiaan selalu berakar pada kehidupan manusia. Kebahagiaan itu tidak hanya soal senang saja, tetapi juga soal penderitaan untuk meraih sesuatu, harapan, tangis, dan bahkan amarah, dan di dalam proses itu, kebahagiaan adalah proses trial and error, yakni proses untuk mencoba, mengalami kesalahan, dan kemudian mencoba lagi. Maka tidak ada yang abadi di dalam kebahagiaan, kecuali proses yang dijalani manusia untuk memperolehnya. Dalam arti ini kebahagiaan adalah suatu proses belajar manusia di dalam menjalani kehidupan.
Memang kebahagiaan tidak mempunyai dimensi abadi di dalam dirinya sendiri. Yang abadi adalah Tuhan, serta usaha manusia untuk mendekati-Nya, dan kemudian memperoleh kebahagiaan. Namun bukan berarti kebahagiaan itu sama sekali tidak memiliki tatanan, atau bahwa kebahagiaan itu penuh dengan relativitas. Kebahagiaan tidak memiliki konsep yang pasti sepanjang jaman, karena ia tertanam erat pada derita, tawa, dan tangis manusia yang berubah sepanjang jaman, serta berubah seturut dengan perubahan manusia itu sendiri.
Tentu saja, banyak dari kehidupan kita sehari-hari yang semestinya mampu menyederhanakan hidup kita untuk mencapai kebahagiaan, tanpa membuang-buang waktu, energi dan uang. Hidup apa adanya, dengan kondisi yang ada merupakan konsekwensi logis yang bisa kita jalani. Bahkan ada yang mengatakan bahwa, "cukupi kebutuhan kita, lalu damaikan hati."
Banyak dari kita lupa bahwa kita sesungguhnya sudah memiliki semuanya untuk bisa merasa bahagia. Mungkin dalam kondisi ini kita ingin mendapatkan lebih dari sekedar 'bahagia'. Seperti apa yang dikatakan temanku di atas bahwa bahagia itu cukup secangkir kopi dan sebatang rokok.
Lebih dari sekedar bahagia yang kita maksud, mungkin keinginan untuk tertawa lebih banyak, mendapatkan kenikmatan lebih banyak, lebih sukses, lebih kaya, lebih berhasil dalam hal relasi dengan orang lain, dan 'lebih-lebih' lainnya. Akhirnya, perasaan tidak cukup tumbuh di hati kita. Hidup bahagia tidak cukup, kita ingin 'lebih' bahagia. Apakah bahagia seperti ini yang kita inginkan ?. Coba dech pikirin sebentaaaar aja. Wallahu A'lamu Bishshawwab.