Mohon tunggu...
Dian Sidharta
Dian Sidharta Mohon Tunggu... -

Warga Negara Indonesia, Suka mikir yang gak penting-penting

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

PILKADAL : bukan Pemilihan Kadal...!

20 Maret 2012   01:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:44 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilkadal - Fatsoen - Ketika Manusia menjadi Komoditas

Salah satu hal baru yang diperkenalkan semenjak mulai berlakunya Otonomi Daerah pada tahun 1999 (UU 22/1999) adalah Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung yang pada mulanya disingkat Pilkadal, namun karena banyak yang memlesetkan menjadi Pemilihan Kadal atau Pemilihan untuk Dikadalin, maka singkatannya diubah menjadi Pilkada.  Entah siapa yang memulai memelesetkan dengan istilah seperti itu, entah sekedar iseng atau melihat kenyataan banyak rakyat yang setelah memilih kemudian merasa dikadalin (istilah lain untuk diingkari janjinya), walahualam.

Pilkada secara langsung ini, bagi masyarakat pedesaan seperti saya bukanlah hal yang baru, karena di desa-desa di pulau Jawa sudah jamak dilakukan pemilihan secara langsung ketika penduduk suatu desa memilih Kepala Desa-nya.   Namun sepengetahuan saya, satu hal yang belum pernah terjadi adalah ketika Kepala Desa terpilih tiba-tiba mengundurkan diri di tengah masa jabatannya karena alasan apapun apalagi mencalonkan diri jadi kepala desa untuk desa lain, hal mana saat ini marak terjadi dalam hal pemilihan Kepala Daerah baik Bupati, Walikota, ataupun Gubernur.

Berdasarkan kultur religio magis yang masih hidup di alam pikiran penduduk desa kami, pengunduran diri tersebut tidak terjadi karena ada kepercayaan bahwa seseorang menjadi Kepala Desa itu karena mendapatkan “wahyu” atau “mendapatkan restu atau amanah”.  Hingga sang Kepala Desa terpilih tersebut takut “kuwalat” atau terkena kutukan dari “sing Mbahureksa” apabila dia tidak memenuhi  amanah yang telah dipercayakan kepadanya.  Kalau dilihat dari sisi integritas memang adalah hal yang tabu apabila seseorang tidak memenuhi amanah yang telah diembannya didasari sumpah pada saat pelantikan pula.  Dilihat dari sisi Pragmatis sang kepala desa juga berhitung untuk mencalonkan diri di desa lain, belum tentu juga orang desa lain mau memilih orang yang tidak dikenalnya. Namun kalau dilihat dari sisi yang sedang ngetrend saat ini, hal tersebut tidak terjadi karena kepala desa itu mencalonkan diri bukan karena diusung Partai tetapi biaya sendiri atau dibiayai botohnya.

Lho apa hubungannya Partai dengan pencalonan diri seseorang menjadi kepala daerah?  Dalam UU Otda yang lama, pencalonan hanya bisa dilakukan oleh Partai dengan syarat tertentu, dimana dalam UU Otda terbaru dimungkinkan pula pencalonan secara independen dengan syarat yang tak kalah sulitnya.  Tapi bukan itu yang akan di curhatkan di tulisan ini.

***

Hingga saat ini memang belum pernah terdengar berita pengunduran diri seorang kepala daerah di tengah masa jabatannya, yang sering terdengar adalah pengunduran diri wakil kepala daerah baik Wakil Bupati maupun Wakil Gubernur.  Beberapa alasan pengunduran mereka antara lain karena merasa tidak cocok dengan kepala daerah, atau terjerat kasus korupsi, serta merasa tidak dianggap oleh sang Kepala Daerah atau karena mencalonkan diri dalam Pilkada lainnya.

Dari beberapa berita pengunduran diri tersebut, sampai sejauh ini pengunduran Dicky Chandra sebagai wakil Bupati Garut karena alasan idealisme, merupakan pengunduran diri yang bagi saya masih bisa diterima.  Sedangkan pengunduran diri artis lainnya sebut saja Si Doel dari Wakil Bupati untuk kemudian di calonkan menjadi Wakil Gubernur (dan untungnya terpilih) masih menyisakan pertanyaan bagi saya.  Kemudian pengunduran diri seorang wakil gubernur seterah 4 tahun menjabat, namun kemudian terdengar akan mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur, meskipun akhirnya pengunduran dirinya ditolak DPRD,  merupakan hal yang menyedihkan.

Pengunduran diri seseorang Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah karena akan mencoba peruntungannya pada Pilkada di daerah lain, masih menjadi pertanyaan bagi saya terkait dengan masalah Fatsoen (kepantasan) yang seharusnya masih dijunjung tinggi.  Kalau dilihat secara hukum, saya percaya Para Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah tersebut tentunya sudah menyewa ahli-ahli hukum untuk memastikan bahwa apa yang dilakukannya tidak melanggar hukum.  Apalagi di belakang mereka ada Partai-Partai politik dengan para Politikus yang lihai dalam memberikan argumen untuk memberikan “pembenaran” atas apapun yang dititahkan “dari atas”.   Bahkan sekarang sudah tidak perlu mundur lagi bila mencalonkan diri di daerah lain, karena sang kepala daerah yang bersangkutan bisa cuti.

Isunya bukan lagi masalah cuti atau mengundurkan diri, namun dari sisi Fatsoen, apakah pantas seseorang yang dipercaya oleh –sebagian besar- rakyat di suatu Kotamadya ataupun Provinsi kemudian dengan dicalonkan/mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah di wilayah lain??    Mungkin sang calon itu bisa berkilah bahwa dia hanyalah kader Partai dan dia dicalonkan bukan mencalonkan.  Bila dilihat dari soal integritas moral, jangankan mencalonkan bahkan tidak menolak ketika dicalonkan pun, sudah “saru” atau tabu, karena setidaknya dia sudah mengabaikan sekian ribu atau bahkan juta rakyat yang telah memilih/mempercayainya, bahkan mungkin melanggar sumpahnya ketika dilantik jadi Kepala Daerah.

Dapat dipastikan bila rakyat suatu daerah memilih calon kepala daerah, pasti karena harapan-harapannya yang besar pada janji-janji sang calon ketika kampanye atau karena rakyat sudah melihat prestasinya (bagi calon incumbent/pertahana), dan rakyat tidak mungkin memilih calon kepala daerah hanya untuk kemudian ditinggal mencalonkan diri pada Pilkada di daerah lain sebelum masa jabatannya berakhir.  Rakyat pasti sedih ketika kepala daerahnya memilih untuk “tinggal gelanggang colong playu” untuk mengejar jabatan lain yang belum pasti.  Rakyat pemilih pasti kecewa ketika Pilkada membuat mereka merasa di Kadalin.   Tapi apa sih rakyat itu, rakyat kan hanya penting ketika pemilihan mungkin demikian pikir sang calon atau Partai pengusungnya.

Bila pada akhirnya sang calon yang sudah melupakan arti kata “saru”, pamali atau tabu (melanggar sumpah atau melupakan amanah) tersebut akhirnya berkilah terpaksa mencalonkan diri karena sebagai kader Partai dia tidak kuasa menolak keingingan Partainya, maka sebenarnya dia telah mendudukkan dirinya tidak lebih dari suatu komoditas atau sebagai barang dagangan.

Sangat menyedihkan sekali tentunya, melihat seseorang dengan jabatan kepala daerah yang berprestasi dan dipilih rakyat karena cinta dan harapannya, kemudian tanpa sadar atau terbuai puja-puji kemudian disulap menjadi sekedar barang dagangan Partai Politik.

Semoga ini tidak terjadi pada para Kepala Daerah yang berprestasi, karena prestasi tidak hanya diukur pada saat dia menjabat tetapi ketika bagaimana dia mengakhiri masa jabatannya.

Sayup-sayup terdengar lagu...

Apakah selamanya politik itu kejam... Apakah selamanya tiada satu menghantam...

Ataukah memang itu yang sudah diwajibkan.. penjilat.. penghasut.. penipu.. penindas..

Pemerkosa hak-hak sewajarnya....

Tetap Eling lan Waspada Pakkk... !!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun