Dalam sebuah situs diberitakan tentang pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Darwin Z Saleh mengenai penggantian nama BBM yang disubsidi APBN yaitu Premium menjadi “Bensin Miskin”, pada saat pidato di acara Sosialisasi Pengendalian BBM Bersubsidi.Konon istilah tersebut dimaksudkan untuk memberikan penyadaran pada masyarakat (kaya/mampu) yang seharusnya –bisa- membeli BBM non subsidi, namun masih tetap membeli Premium yang seharusnya hanya untuk masyarakat yang berhak.
Entah dapat ilham darimana ketika beliau tiba-tiba menyampaikan ide seperti itu, karena saya berharap istilah tersebut benar-benar pendapat pribadi beliau yang muncul saat pidato tersebut bukan hasil pembicaraan “tingkat tinggi” pejabat pemerintah khususnya di Kementerian ESDM.
Terlepas dari soal dimana ide itu diperoleh, mengenai pengistilahan ini, kita kembali teringat bagaimana pemerintah suka menggunakan gaya bahasa eufemisme dalam beberapa hal untuk menyamarkan maksud sebenarnya, misalnya pemerintah “menyesuaikan” harga BBM, padahal maksud utamanya adalah menaikkan harga BBM (lebih mahal).Konon pemilihan penggunaan kata menyesuaikan daripada meningkattan ditujukan agar tidak timbul “gejolak” di tengah masyarakat, meskipun pada prakteknya setiap kali pemerintah mengumumkan “penyesuaian” harga yang berlaku mulai pukul 00.00, langsung saja SPBU diserbu para pemilik kendaraan hingga kadang harus antri demi mendapatkan BBM dengan harga lama. Apakah ini bukan gejolak namanya?
Rupanya kali ini perlu penggantian taktik dimana pejabat pemerintah menggunakan gaya bahasa defemisme, yaitu mengistilahkan BBM bersubsidi dengan “Bensin Miskin” dengan harapan pemilik kendaraan malu disebut miskin akhirnya beli BBM non subsidi.Namun –seandainya istilah itu akhirnya resmi dipakai – apakah hasilnya akan efektif? Apakah kemudian masyarakat mampu kemudian merasa malu membeli bensin untuk orang miskin dan akhirnya membeli BBM non subsidi?Saya pribadi merasa, bahwa istilah baru itu tidak akan memberikan hasil yang efektif, selain perubahan tulisan di pompa-pompa dan papan nama SPBU saja (yang artinya menambah biaya pengelola SPBU untuk bayar tukang cat menulis “Bensin Miskin” menggantikan tulisan “Premium”) atau mengganti nota-nota yang telah dicetak.Bahkan kalaupun ditulis “Bensin di Bawah Garis Kemiskinan” ataupun “Bensin Kere” saya kira juga tetap tidak akan efektif.Hal ini sebenarnya manusiawi, dimana manusia selalu berkeinginan mendapatkan sesuatu yang lebih murah (mudah) apabila memungkinkan. Kalaupun Pak Menteri berharap masyarakat –yang konon- mampu kemudian akan malu dengan istilah itu, tetap tidak akan membuat mereka kemudian membeli BBM non subsidi, konon rasa malu kan bisa tereduksi atau bahkan hilang kalau temannya banyak (korupsi pun sekarang kan mulai berjamaah, biar bisa malu bareng).Paling mereka akan bilang “ah yang lain juga banyak kok... “ atau “itu mobilnya lebih bagus juga beli bensin miskin”.. dll.
Tentunya kita ingat kejadian beberapa tahun lalu, ketika pemerintah melakukan pendataan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, hasilnya penduduk miskin Indonesia sudah relatif sedikit. Namun ketika pemerintah mengumumkan adanya Bantuan Langsung Tunai (BLT) tiba-tiba angka kemiskinan meningkat bahkan bisa dua kali lipatnya.Dalam salah satu situs diberitakan bagaimana suatu daerah yang angka kemiskinannya sebesar 24% tiba-tiba meningkat hingga 54% ketika akan ada pemberian BLT atau Beras Miskin (Raskin).
Kembali ke soal Bensin Miskin, sebenarnya akar permasalahan mengapa orang yang harusnya beli BBM non subsidi kok memilih beli BBM bersubsidi, bukanlah sebatas pada alasan ekonomi atau rasa malu seperti disebutkan di atas.Ada masalah lain yaitu soal tidak adanya aturan yang tegas tentang pembelian BBM subsidi dan juga mental pemilik kendaraan.Mengenai aturan, sebenarnya UU 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, pada pasal 55 menyatakan:
Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp. 60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).
Dimana penjelasan pasal tersebut menyatakan sebagai berikut:
Dalam kegiatan ini yang dimaksudkan dengan menyalahgunakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan perseorangan atau badan usaha dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat banyak dan negara seperti antara lain kegiatan pengoplosan Bahan bakar Minyak, penyimpangan alokasi Bahan Bakar Minyak, pengangkutan dan penjualan Bahan Bakar Minyak ke luar negeri.
Bila dilihat, sebenarnya Pasal 55 tersebut dapat digunakan sebagai dasar pengaturan penggunaan BBM bersubsidi, bahkan penjelasannya menyebutkan tentang “memperoleh keuntungan perseorangan”, dan merugikan masyarakat banyak.Namun sayangnya penjelasan tersebut kemudian menyebutkan contoh kegiatan secara spesifik misalnya penyimpangan alokasi dan pengoplosan.Sementara di sisi lain, tidak ada peraturan yang menetapkan tentang kendaraan jenis apa yang menyebabkan pemiliknya masih perlu subsidi atau tidak perlu subsidi.Ini sebagian kecil dari permasalahan lemahnya aturan. (Bahasan hukumnya sedikit saja, pusing).
Kemudian dari sisi mental masyarakat, sering kita mendengar seorang calon pemilik mobil atau pemilik mobil mempermasalahkan/mengeluhkan mahalnya BBM untuk kendaraannya atau betapa borosnya kendaraan yang akan/sudah dimilikinya.Ini sebuah paradoks bagaimana di satu sisi seseorang punya uang sekian juta dan mampu beli kendaraan bermotor (atau setidaknya sudah dipercaya Bank/Lembaga pembiayaan atas kemampuan ekonominya), namun masih mengeluhkan harga BBM yang “cuma” sekian ribu dibandingkan sekian juta harga kendaraannya.Seandainya dia memang membeli kendaraan tersebut karena kegunaannya atau demi mendukung kinerjanya, tentunya keluhan semacam itu tidak perlu terjadi, karena dari kegiatannya yang didukung kendaraan itu, dia akan mendapatkan hasil yang jauh lebih besar daripada sekian liter harga BBM.
Lalu apakah memang kaum pengeluh ini membeli kendaraan demi gengsi???Mungkin ada sebagian yang demikian, beli kendaraan demi meningkatkan harga dirinya.Namun kita perlu melihat masalah lain, tidak adanya angkutan massal yang bagus juga menjadi salah satu pendorong orang memaksakan diri membeli kendaraan.Seandainya angkutan umum sangat banyak dan reliable tentunya orang juga akan memilih naik kendaraan umum daripada beli kendaraan sendiri meskipun masih banyak kebutuhan lain yang harusnya dipenuhi.
Jadi penyelesaian masalah BBM ini tidak hanya bisa dilakukan dengan sekedar mengganti istilah seperti ide Pak Menteri di atas.Masih banyak masalah lain yang harus diselesaikan dari sisi aturan, prasarana dan mentalitas masyarakat sendiri.Tetapi kita tetap harus menghargai ide Pak Menteri tersebut, setidaknya beliau peduli dan memikirkan permasalahan ini dengan sangat mendalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H