Mohon tunggu...
Wahyu Gandi
Wahyu Gandi Mohon Tunggu... -

The living for the studying.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Sebuah Musim yang Baru: Obituari Dalam Cinta

1 Mei 2015   18:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:29 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh Wahyu Gandi G

Lantas kita lupa dengan jalan yang pernah terjejaki oleh kaki ‘kita’, teramat jauh meninggalkan kenangan yang sebenarnya, melupakan rintikan rindu yang basah di baca musim, dan pada akhirnya lupa menuju kearah cinta yang sepantasnya bercinta.

Mungkin kalimat pembuka itu patut mengawali kesederhanaan dari sebuah musim yang baru di dalam sebuah mata yang masih kusut, masih belum teramat dewasa menyaksikan kesaksian sebuah cinta dan kasih sayang seseorang. Terkungkung bersama beban-beban dunia yang seharusnya di penuhi terlebih dahulu, sayang jika tidak, resiko gagal sejatinya akan rela melekat sebagai title dalam nama kita. Bersanding dengan gelar yang di peroleh dengan susah payah, uang, dan keikhlasan, namun terkadang keabadian yang ‘sementara’. Sebuah ingatan masa lalu, menyempitkan sedikit memoar masa yang sekarang terjadi. Begitu banyak lika dan likunya, begitu dalam kebenaran yang sepatutnya di selami dengan udara yang menghidupi. Pada akhirnya, manusia-manusia yang lekas berperilaku berpendidik (Tanpa akhiran –an) akan goyah secara sendirinya saat di mana menjalani hidup sama seperti berkeliaran, merajut asa di dunia mimpi yang sejatinya Tak Sadar.

Kemarin, katanya musim penghujan akan berakhir, aku mendengar lalu mempercayai itu dengan yakinnya. Tapi, nyatanya, itu tidak terbukti kebenaranya. Padahal yang mengatakannya padaku orang yang begitu aku percayai. Sebab cinta dan sayangnya patut kusandingkan tepat selangkah di bawah kedua orangtuaku, Ibu dan Ayah. Itu karena beberapa air matanya mengatakan tidak berharga lagi saat menangis depanku.

Kita gamang, sedikit kabur dengan kejadian yang menimpa hampir seluruh makhluk yang berperasaan (Binatang dan tumbuhan masih di pertanyakan). Pada hakikatnya, sebuah cinta kadang memanipulasi dirinya berwujud sebagai sayang, dan kadang pula sebaliknya. Pertanyaan mendasar yang lantas muncul, yaitu asal-usul keduanya itu berasal dari mana? Apakah kehidupan ini yang menyediakan keduanya, atau mungkin kematian yang mengabadikan salah satunya. Bagai aksara di telan kertas, di hapus tinta yang berpena, wujudnya mungkin setia ada dalam ketiadaan.

Seminggu yang lalu, sebuah puisi menggerogoti rasa maskulinitasku, mengganggu dan sedikit menggeser-geser logikaku. Seorang teman, dengan jurusan yang sama denganku ‘Sastra’; Peraih ASEAN Young Writers Award 2012, menjajal qalbu dan rasanya dengan melahirkan sebuah puisi bertajuk ‘Obituari Ingatan’ yang berhasil menjadi yang terbaik, dalam ajang yang bertemakan Puisi untuk semua. Dan pantas di musikalisasikan kedalam Audio-Visual, lalu di posting ke youtube. Aku tak sengaja menemukannya, sekarang kiblat syairku tersirat dalam setiap bait puisinya.

..

Kenangan hanya ingatan yang jatuh cinta pada masa lalu

Kini kau menjelma apapun yang tidak lagi cukup

Ke dalam lengang lenganku semuanya telah dijauhkan waktu dari punggung kita

Ku mencari pada jalan yang menyimpan bekas sepatumu,
Angin menyisakan wangi tubuhmu,

dan foto-foto yang pernah membekukan kita,

tetap tidak kudapatkan apa-apa
Hingga pada akhirnya, pada sepi sendiri
Kutemukan kau di kedalaman diriku. –Obituari Ingatan, Faisal Oddang

Sebuah musim yang baru, pantas di rasakan hangat dan dinginnya oleh mereka-mereka yang paham dan mengerti akan cara kerjanya. Kini, beban yang di sebut cinta dan sayang itu mulai pudar, menghilangkan corak serta motifnya. Terlampau jauh kita mendefinisikannya, atau malah terlalu dangkal kita di buatnya untuk dapat tenggelam dalam lautan rindunya kepada yang berpaling ingin merasakan yang lain. Mungkin waktu aku pertama kali mendengar lantunan puisi yang di atas, tubuhku seperti merasakan sebuah Mousike (Dalam konteks puisi, mousike berarti hal yang mengentakkan perasaan, menggetarkan, atau memberi dabikan keras bagi perasaan orang yang membacanya).

Sedari mungkin bagiku, melihat perempuan juga tak sepatutnya sembarangan, sekaligus memberikannya sebuah nilai bersampul pujian jika mengenalnya, ataukah berwujud sebuah cacian jika tidak menyukainya. Maka itu sebenarnya akan bersifat politis, sebuah ungkapan yang menyalahi kejujuran dari dalam diri sendiri hanya karena landasan sebuah kepentingan (entah maksud yang belum di tenggarai). Untuk melihat ragam cinta, perlu di telisik lebih jauh tentang makna dan hakikat cinta itu sendiri. Pertama, jangan mengatakan bahwa aku cinta kepada dia, saat kau merasa dia juga mencintai, padahal kau belum merasakan yang sepantasnya. Kedua, jangan mengatakan bahwa aku mencintaimu ketika kau ragu, dan hanya memburu sebuah status di mata sosial-politismu.

Cinta itu hanya bayangan dari Sayang itu sendiri

Saat remaja, manusia akan berani merasakan hal itu. Pertanda bahwa jembatan menuju angkasa dewasa yang sebenarnya jauh akan terasa dekat. Di karenakan rasa ‘sayang’, mungkin saja.

Saya belum yakin apa yang kuperbuat dalam tulisan ini murni benar, dan juga nyata telah salah. Mataku masih balita memahami hal seperti ini, fikiranku masih teramat dangkal untuk dapat tenggelam bersama mereka yang telah lihai agar tak sebenarnya tenggelam. Barangkali unsur pengalaman yang dapat menjadi bekal yang kuat buat memahaminya secara persona. Dalam lingkungan keluarga, kedua kata itu tak perlu lagi di perdebatkan apa dan bagaimana esensinya, sudah begitu jelas dalam konteks kekeluargaan. Bagaimana dengan lingkungan mahasiswa itu sendiri? Pasti mahasiswa yang hobi dan menyukai periodesasi Romantisme akan banyak-banyak menghamburkan suaranya demi merespon pertanyaanku tadi, hingga kadangkala tercipta menjadi sebuah puisi bebas dan bahkan cerpen yang menginspirasi.

Idealnya, bukan hanya mahasiswa, semua. Namun, sikap kritis juga di perlukan buat mencerna bagaimana sebenarnya peran kedua misteri ‘kata’ itu. Dampak-dampak yang di timbulkan, kelemahan serta kelebihannya. Bagai mungkin, meresensi sebuah buku yang setebal Al-Kitab.

Coba dengar lirik lagu dari band Naif (karena kamu Cuma satu), mirip-mirip sebuah puisi epic. Proses penciptaan serta penggarapannya saya meyakini penuh dengan kedua hal itu (cinta dan kasih sayang), saat bernyanyinya pun. Kalau tidak percaya, silahkan dengar seraya menutup mata atau mengingat orang yang sejatinya satu di dalam dada kita (Terkecuali keluarga). Memaknakan keduanya pula akan terhalang sebuah keterbatasan bahasa yang ada sekarang ini, kata salah seorang senior saya di kampus ‘’untuk mendefinisikan hal ada dua cara, yaitu dengan batasan dan pendekatan’’. Jika memang buntu pada ranah batasan, yaitu definisi. Maka sebaiknya menggunakan pendekatan, entah pendekatan secara psikologi, sosial dan budaya. Maka, sedikit akan muncul bayangan terkait kedua hal yang abstrak itu.

Jika kita pernah beberapa kali merasakan ‘gagal’ untuk meraih kesuksesan dalam melestarikan cinta dan kasih sayang, itu akan dapat berbentuk sebuah ilmu pengetahuan ‘pribadi’ anda, dan selayaknya pantas buat di bagikan kepada mereka yang belum ‘berani’ merasakan itu. Berlaku pada konteks non keluarga.

Seringkali memang kita selalu lupa pada hal yang berbau remeh, hal yang sering di temui, sesuatu yang selalu terjadi, namun luput dari kesadaran sebagai manusia yang berfikir. Ilmu pengantar seperti, filsafat serta logika mungkin ikut menjajal kedua hal itu, cinta dan kasih sayang. Tak lupa, ‘rasa’ yang menjadi hidangan pendampingnya. Jika tak seimbang, pemaknaannya akan jauh dari esensi kenyataan, dan bahkan melenceng dari pengalaman. Tapi, jika seimbang, tidak ada yang tahu apa yang terjadi, dan bagaimana proses perefleksiannya dalam dunia itu sendiri. Tapi, jariku menulis berani

Mungkin dapat berpotensi sesuai dengan kemampuan dan daya dalam menghargai, mengapresiasi hal-hal yang berbau penciptaan dari keindahan-keindahan yang sifatnya biasa saja.

Makassar, 5 April 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun