Pemilik toko itu sangat baik, hasil dari suara Acong membawa berkah yang tidak kami duga. Pemilik toko itu menawarkan pekerjaan di tokonya.Sebenarnya aku juga tidak tahu kenapa itu bisa terjadi, entah karena suara Acong ataupun karena mata Acong yang sipit. “Buat apa aku memikirkan hal itu yang terpenting kami memiliki peluang untuk merubah hidup kami” gumam ku dalam hati.
“Cong, gimana ni, ? terima ga“ tanya ku padanya, “ya iya dong, kapan lagi, kesempatan tidak datang dua kali” jawabnya. “Wah tumben kata-katamu cemerlang,” hahaha. Ledekku. Dia pun ikut tertawa. “Baik pak kapan kami bisa mulai bekerja”?. Tanyaku.Pemilik toko itu menjawab, “sekarang juga bisa”. Tapi mending besok saja yah, hehehe”. Terima kasih babah, sapaan akrab pemilik toko itu, namnya babah Aseng. “Wah asik, sekarang kita sudah punya pekerjaan tetap, kita harus memberitahukan hal ini kepada kedua orang tua kita”. Kata Acong. Ayo kita pulang.
Menuju jalan pulang, kami berhenti sebentar di warung kopi Pak Mahmud. Malam telah menyelimuti kota. Sembari kami berbincang-bincang, para pria-pria bersarung dan menggunakan kuplu yang juga lagi duduk serta sebatang rokok menghiasi bibir mereka di Warung Kopi Pak Mamud sedang membicarakan mengenai keadaan negara yang lagi akut, krisis moneter melanda Indonesia. Ya memang seperti itulah keadaannya, Indonesia sedang ditimpa kondisi yang sulit. Para elit politk sedang mencoba mencari jalan keluar yang tepat. Dan salah satunya adalah dengan Penurunan Rezim pak Harto. Di televisi juga demikian, pemberitaan mengenai krismon yang terjadi dan posisi Pak Harto yang tidak aman. Gerakan mahasiswa juga sudah akan siap menduduki pusat pemerintahan. Wah suatu tragedi yang menarik. Sejarah terulang kembali.
Kami hanya bisa melihat dan mendengarkan mereka sedang berbincang. Kami tidak begitu peduli dengan apa yang mereka bicarakan. Lagian kami akan memulai perubahan dalam hidup kami, “persetan dengan pemerintah”. Itu gumam ku. Lalu serasa minum kopi sudah cukup, kami bergegas pulang dan memberitahukan kepada orang tua kami masing-masing. Mereka sangat senang mendengarberita itu dan mereka mengizinkan. Esok harinya kami mulai bekerja dengan hikmat. Dan tak terasa telah satu minggu berlalu. Sementara itu, ternyata sedang terjadi pergolakan yang sudah memuncak menyusul kematian empat mahasiswa Universitas Trisakti. Terjadi kerusuhan dimana-mana. Aku pun sendiri melihat gerakan mahasiswa yang sudah diambang pintu amarah untuk menghancurkan gerbang penguasa. Tidak hanya di jakarta, di kota-kota besar lainnya pun juga sedang rusuh.Ditambah dengan serangan terhadap etnis China yang diduga telah memakan daging Indonesia dari dalam.
Seperti yang terjadi di Ibu Kota saat ini, terjadi penjarahan, pengrusakan, pembakaran toko-toko yang kebanyakan pemiliknya etnis China. Hal itulah yang terjadi dengan toko tempat kami bekerja. Hari itu tidak masuk bekerja karena sakit. Acong tetap berangkat. Sebelum ia berangkat ia mampir dulu kerumah ku untuk menjenguk. Setelah itu ia pergi. Ada yang aneh, perasaan ku tidak enak waktu itu. Ternyata hari itu adalah kali terakhir aku melihat Acong. Sahabat karibku. Disaat aku sedang istirahat, aku mendengar bahwa terjadi pembakaran di toko tempat kami bekerja. Lalu tanpa pikir panjang aku pun langsung terjun untuk pergi kesana. Setiap langkah kaki yang ku ayunkan penuh doa agar sahabat karib ku, Acong, baik-baik saja. Tak terasa, air matapun mengalir deras seraya aku semakin mempercepat langkahku.
Sepanjang perjalanan, aku banyak melihat perubahan yang sangat drastis sekali. Satu minggu yang lalu tempat ini begitu bersih, ramai para pedagang dan juga toko-toko, tapi sekarang sudah jadi lautan puing-puing bangunan bekas pembakaran, tidak hanya dibakar, barang-barang mereka di jarah. Aku tidak tahu setan mana yang tega melakukan hal sekeji ini. Aku sampai tidak ingat lagi yang mana toko tempat kami bekerja. Aku berteriak , “Acong, Acong, Acong....”, tidak ada jawaban, tidak ada orang, sepi, sunyi, hanya desir angin dan sesekali reruntuhan bangunan yang kudengar. Aku bagai berjalan di padang pasir. Melihat fatamorgana Acong,tetapi bukan. Apa yang aku alami ini diluar kuasa ku. Aku melihat sekeliling, sekali lagi sambil menitihkan air mata. Kenapa hal ini melanda negeri ini, disaat negeri ini sedang dalam kondisi terpuruk. Malah semakin diperburuk dengan rasa kebencian terhadap salah satu etnis. Etnis tidak akan bermasalah, yang menjadi masalah adalah pribadi masing-masing.
Aku terus berjalan, sembari berdoa. Berharap sobat karib ku baik-baik saja. Aku mencoba mengingat-ngingat lagi yang mana toko tempat kami bekerja. Berjalan menyusuri jalanan yang sudah tidak mirip lagi dengan kehidupan, lebih parah dari pada tempat aku tinggal. Ya, akhirnya aku menemukannya. Tapi toko yang seminggu lalu kokoh berdiri, kini sudah menjadi puing-puing berwarna merah dan hitam. Ditambah kepulan asap yang masih tersisa. Aku tertunduk dan terdiam melihat ini semua. Aku mencoba untuk masuk kedalam bangunan yang habis terbakar itu. Ku tutup hidungku, dengan baju usangku. Melangkah kedalam dengan seksama dan memerhatikan sekeliling, apa mungkin Acong dan yang lain terjebak di dalamnya, kalaupun ia, semoga masih bernapas. Aku tak menemukan apapun. Jangankan Acong, tikus matipun tak kutemukan bangkainya. Tapi aku menemukan sebuah kalung, dan aku hapal sekali kalau itu kalungAcong, tapi kenapa hanya kalung nya saja, dimana Acong. “Ada apa ini sebenarnya, kenapa terjadi seperti ini, apa salah mereka.” Teriakku keras.
Lalu aku berlari keluar, ku kira ada orang yang datang dan benar, ada polisi yang datang lalu melihatku. “Aku bertanya pada polisi itu. Apa yang sebenarnya terjadi pak ?”, tanyaku. Dan jawabannya sangat mengejutkan diriku, tangan ku di borgol dan aku di bawa dengan paksa. “Ada apa ini pak, apa salah saya ?” tanya ku lagi. Sudah jangan banyak tanya, mau bersilat lidah kamu, “sudah terbukti mau berkelit”, tukas polisi itu. “Terbukti apa ?”, aku terus bertanya. Tak ada jawaban lagi dari polisi-polisi itu, aku dibawa dengan menggunakan mobil brimob di bawa ke kantor polisi terdekat.
Ternyata aku dituduh ikut terlibat aksi pembakaran dan penjarahan toko-toko. Aku juga diduga telibat aksi anti-China. Aku sudah berulang kali mengatakan kepada mereka bahwa aku tidak tahu apa-apa. Justru aku yang ingin minta keadilan. Dimana kalian para pembela keadilan saat melihat ketidakadilan. Malah mencurigai orang yang minta keadilan. Tapi aku menyadari akan beberapa hal diantaranya adalah adanya sentimen etnis dikalangan masyarakat Indonesia kala itu. Dan bisa saja temanku Acong menjadi salah satu korban dari sentimen etnis itu. Kecemburuan sosial-ekonomi yang menjangkiti rakyat semakin parah ditambah dengan keadaan negara yang kian memburuk. Temanku memang China, tapi dia orang Indonesia, dia cinta akan bangsa ini. Walaupun dia China, dia gelandangan, pengangguran yang ingi merubah hidup lebih baik, memperbaiki nasib, membantu orang tua yang sedang sakit. Orang seperti dia harus menjadi korban dari kebutaan hati nurani manusia. Babah Aseng, pemilik tempat kami bekerja merupakan orang yang dermawan, baik terhadap sesama, toleransi beragama dan berbudaya tinggi. Orang seprti ini juga harus menjadi korban kebutaan manusia yang dilanda kecemburuan.
Sekarang aku hanya tertunduk tak berdaya dengan tangan di borgol, hendak melawan tak punya kuasa. Aku ditahan beberapa hari. Sampai kedua orangtuaku datang untuk membebaskan ku. Aku bebas tepat di hari mahasiswa dan rakyat Indonesia berhasil menumbangkan rezim yang telah lama berdiri ini. Aku bebas tanpa syarat, karena memang aku tak terbukti bersalah. Aku bertanya pada ke dua orang tuaku, “bagaimana keadaan orangtuanya Acong pak, bu ?” mereka diam sejenak dan ayah angkat bicara, “mereka sudah meninggal dua hari yang lalu, mereka kena serangan jantung, syok melihat jenazah Acong yang di temukan mengambang di kali”. Aku tersentak, merasa tak percaya, mataku melotot kosong, pikiran ku hampa, aku gemetaran sambil berkata dengan suara yang terbatah-batah, “jadi Acong sudah tiada....”. Ayahku melanjutkan, tubuhnya memar, dikepalanya ada bekas luka bacok. Aku mencoba menahan tangis, ayah dan ibu pun demikian mencoba menegarkan diriku, sambil mengelus-ngelus pundakku. Biarpun demikian, aku telah kehilangan sahabat ku satu-satunya. Temanku dari kecil, susah senang kami lalui bersama. Tapi kenapa harus berkahir sepertiini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI