Mohon tunggu...
Wira Syafutra
Wira Syafutra Mohon Tunggu... lainnya -

aku seorang petualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Marilonga: Perlawanan Sang Pengembara

16 April 2014   13:12 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:37 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Melewati pertigaan Wolowona, Kota Ende, anda akan melihat dengan kokoh berdiri sebuah patung yang memegang sebilah parang. Patung yang membentuk seorang lelaki dengan menggunakan pakaian adat serta sedang membawa parang dan seoalh berteriak seakan mengajak untuk mengobarkan semangat perlawanan. Patung tersebut juga sebagai salah satu simbol perjuangan rakyat Ende dalam menentang penjajahan. Pria tersebut bernama Marilonga.

Pada tahun 1660, Belanda membuat perjanjian dengan Raja Ende agar Ende takluk kepada Belanda tidak kepada raja Makassar. Lalu tujuh tahun kemudian, perjanjian tersebut diperbaharui oleh Speelman dan Brai dutentukan Ende sebagai tempat tinggal seorang Posthouder. Posthouder memiliki tugas mengawasi perdagangan antara Belanda dengan penduduk pribumi dan menjaga ketentraman masyarakat Ende.

Sebelum Belanda datang, Portugis adalah kekuatan yang mencengkram Flores. Missionaris Portugis tiba pada 1613 dan mulai melakukan penyebaran agama Katolik pada abad ke-19. Setelah Makassar ditaklukkan oleh Vereenigde Oost-Indies Compagnie (VOC), Belanda menganggap Flores berada di bawah kekuasaannya. Pada 1838 dan 1856 Belanda mengirim ekspedisi militer untuk menghapuskan perbudakan dan penjarahan kapal-kapal yang karam.

Sekitar abad XVII hingga abad XIX di sekitar laut Flores dan kepulauan Solor banyak beroperasi perhau-perahu bajak laut yang terdiri darai orang Islam dan Katolik Larantuka. Orang-orang jadi takut untuk melakukan aktivitas berlayar dari pulau ke pulau yang lain karena selalu dihadang oleh pembajak. Keaadan ini membawa dampak yang kurang mengenangkan bagi Portugis. Portugis membiarkan kapal-kapal Belanda melakukan sweeping para bajak laut.

Pada tahun 1839, semua Raja Ende (ada tujuh), berangkat ke Kupang. Di Kupang, mereka menyampaikan pernyataan mau menjadi rakyat Belanda kepada Residen Kupang—Gronovius. Penyerahan kerajaan disahkan oleh Gubernur. Pada 1848, Portugis menandatangani perjanjnjian penyerahan hak mereka atas Larantuka, Sika, Paga, Adonara dan Solor kepada Belanda.

Di Ende sendiri, seorang Posthouder ditempatkan pada 1864.Pada tahun 1876, kapal-kapal Belanda memulai pelayaran secara teratur ke Larantuka. Pada tahun 1887, pedagang-pedagang budak ditangkap oleh Belanda. Mulai tahun 1888, para pedagang yang ditangkap diwajibkan untuk membayar denda kepada Belanda, sedangkan orang-orang yang mdiculik dan dijadikan budak harus dibebaskan dan dikembalikan ke kampung halamannya.

DI sisi lain, Ende sedang mengalami perpecahan internal. Ketika Raja Ende sudah tak memiliki kuasa lagi, para vassal di pedalaman melakukan usaha untuk memerangi sang Raja. Pada 1878, perang antara Raja Ende melawan desa-desa sekelilingnyapun tidak dapat dihindari. Salah satunya dari seorang mosalaki bernama Bhara Nuri yang juga pahlawan Ende. Bhara Nuri tidak sendiri, beliau ditemani seorang panglima perang dari Watunggere, Ende, yakni Mari Longa.

Mari Longa dilahirkan di Watunggere, Lio Timur(kalau sekarang, watunggere berada di kecamatan Detukeli), Ende-Flores, NTT. Ia adalah putra sulung dari perkawinan antara Longa Rowa dan Kemba Kore. Jiwa perang ayahandanya mengalir ke dalam diri Mari Longa. Pada awalnya, Longa Rowa memberi nama anaknya Leba Longa. Leba artinya buah pare. Leba Longa sering sakit-sakitan serta selalu cengeng. Lowa Ronga mendapat petunjuk agar segera mengganti nama anknya menjadi Mari. Mari adalah sejenis pohon yang kulitnya amat pahit dan keras kayunya. Dengan dihadiri tokoh masyarakat, maka direstuilah nama Mari melalui upacara adat setempat.

Jiwa berperang Mari Longa semakin terbentuk melalui didikan lingkungan keluarga yang sangat disiplin. Pada usia empat tahun, Marilonga sudah diajari untuk memanah. Usia delapan tahun ia sudah ikut berburu di hutan bersama warga desa. Selain berburu ia juga belajar bela diri. Bekal bela diri ia dapat darai berbagai tempat di nusantara melalui pengembaraanya. Oleh karena itu, Mari Longa juga dikenal sebagai seorang pengembara. Selain bela diri, bekal yang ia dapat darai pengembaraannya adalah mengenai wawasan nusantara tentang kebudayaan. Pengembaraan memberi ia peluang untuk menempa diri lebih baik dari sebelumnya dan semakin baik.

Dari pengembaraan pula ia dapat melihat secara real bagaimana perlakuan Belanda terhadap orang kulit hitam. Perlakuan yang tidak manusiawi, namun ada hal yang membuatnya merasa miris yakni adanya orang-orang kulit hitam yang menjadi serdadu-serdadu Belanda. Hal inilah yang membuat Mari Longa menjadi seorang revolusioner. Mari Longa melihat secara langsung bagaimana penderitaan orang-orang Flores dari ujung barat hingga ujung timur.

Selain seorang revolusioner, Mari Longa memiliki jiwa sosial yang tinggi. Rasa suka menolong dan rela berkorban tertanam kuat di dalam dirinya. Tidak hanya itu, Mari Longa juga merupakan seroang petapa dan paranormal yang hebat. Jadi, terlihat betul bagaimana pentinnya arti dari pengembaraan. Penempaan diri dan pencarian jati diri dapat di dapati melalui pengembaraan. Melihat realita yang terjadi dengan mata kepala sendiri.

Kepribadian yang semakin terbentuk itulah yang memutuskan bahwa ia harus turut ikut ambil andil dalam menindas ketidakadilan dan kejahatan. Mari Longa memutuskan untuk mengangkat senjata, memerangi penjajahan. Selama bertahun-tahun, Mari Longa dan pasukannya berperang melawan Belanda. Perlawanan Mari Longa, dikenal dengan Perang Mari Longa. Perang ini terbagi ke dalam lima tahap. Mulai dari Perang Koloni Pertama hingga Perang Koloni kelima. Perang tersebut berlangsung antara tahun 1893-1907.

Strategi perang Mari Longa sangat cerdas. Pemilihan benteng pertahanan yang cermat dan sangat strategis. Kontur alam yang berbukit-bukit, jalan setapak, begitu menyulitkan bagi Belanda untuk menggempur benteng pertahanan Mari Longa. Namun, akhirnya, takdir harus berpihak pada Belanda. Dengan memakai mata-mata pribumi yang tentunya handal dan ahli dalam medan sebagi penunjuk jalan.

Mari Longa memiliki beberapa orang kepercayaan, salah satunya adalah putrinya yang bernama Bunga Mari. Bunga Mari menjadi seroang pejuang wanita yang pemberani. Bagi Mari Longa hanya ada satu keuputusan bulat yakni berpeang melawan Belanda. Tanah warisan leluhur harus lepas dari injakan kaki bidadab penjajah. Perlawanan gerilya menjadi pilihan bila Belanda menyerang.

Hinga pada suatu ketika, datang utusan Belanda dari Ende ke watunggere untuk menyampaikan pesan yang isinya bila akan ada serbuan dari Belanda dan bila tidak ingin terjadi pertumpahan darah dan memakan banyak korban, maka hendaklah tuan berbesar hati untuk ke Ende dan melakukan perundingan. Tentu, undangan ini di tolak mentah-mentah oleh Mari Longa. Ia berprinsip, lebih baik mati dari pada harus berunding, karena berunding artinya menyerah. Sedangkan yang diinginkan Mari Longa adalah Belanda harus segera angkat kaki dari bumi luluhur.

Sebelum pertempuran di mulai, Mari Longa mengajak prajurit-parjuritnya untuk berdoa, memohon kepada leluhur mereka. Pertempuran hebat tak dapat dihindari dan banyak korban jiwa berjatuhan darikedua belah pihak. Bisa di bayangkan, bagaimana dengan segala peralatan tradisional, pasukan Mari Longa mampu mengahadapi pasukan Belanda yang sudah menggunakan peralatan yang modern. Dibutuhkan suatu semangat juang yang tinggi terutama dari pemimpin.

Di kisahkan, tak lama kemudian, terdengar suara prajurit Belanda dari luar benteng. Mereka berteriak sambil mengejek Mari Longa dengan harapan akan membangunkan emosi Mari Longa dan keluar dari benteng. Usaha Belanda tersebut berhasil dan ketika Mari Longa keluar dari benteng, ia di sambut dengan hujan peluru, namun tidak ada yang mengenai dirinya. Dengan Sau (golok), Mari Longa membantai beberapa prajurit Belanda.

Setelah sekian lama bertahan, akhirnya sang pengembara pun dapat ditaklukkan. Belanda membelah dada jenazah dan di dalam hatinya yang berbulu keluar seekor lebah kuning. Jenazahnya di semayamkan di dalam sebuah pohon beringin setelah sebelumnya di awetkan secara adat. Di masukkan kedalam batang aren yang di pahat. Pemakaman dilakukan sesuai wasiat dan adat setempat. Begitulah, kehidupan sang pengembara yang berjuang melawan ketidakadilan ditanah leluhurnya. Sang pengembarapun harus terhenti pengembaraanya dari dunia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun