Akhirnyaa....
very late post :)
Tadinya saya berencana posting tulisan ini semalam di penghujung bulan April, tetapi karena terlanjur tidur dan baru bangun pagi tadi dan sudah bulan Mei malah terpikir untuk menyambungkan topik sekalian dan mengganti judul (*btw..intronya kok jadi panjang begini ya..hehe).
Di penghujung bulan April ini rasanya saya ingin flashback sekilas tentang bulan ini. Pada bulan ini ada satu hari khusus yang biasanya diperingati dengan acara perayaan menggunakan kebaya atau pakaian adat disertai acara-acara yang bernuansa perempuan banget! Iya, tanggal 21 April kita memperingati hari lahir seorang perempuan pejuang emansipasi yaitu Raden Ajeng Kartini.
Peringatan tanggal 21 April berdasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan R.A. Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir beliau, tanggal 21 April, untuk diperingati sebagai hari besar nasional, yang selanjutnya kita kenal dengan "Hari Kartini". Ada benang merah antara Hari Kartini dan Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember, yaitu tentang "perempuan".
Kata "perempuan" berasal dari bahasa Sansekerta, tepatnya dari kata"per-Empu-an". Per, yang artinya makhluk, Empu yang berarti mulia, berilmu tinggi dan pembuat karya agung. Padanan kata yang sering diartikan sama dengan perempuan adalah wanita, akan tetapi ternyata secara linguistik keduanya mempunyai makna yang berbeda.
Wanita dalam etimologi Jawa itu berasal dari kata "wani ditoto" (berani diatur), sedangkan menurut Old Javanese-English Dictionary (Zoetmulder, 1982), kata wanita berarti "yang diinginkan".
Membahas tentang Perempuan memang tidak akan ada habisnya (ini bukan karena yang menulis ini seorang perempuan lho). Di bulan April ini saya menemukan banyak acara untuk memperingati Hari Kartini, tetapi ada salah satu acara yang menarik bagi saya yaitu acara yang diadakan oleh suatu komunitas di Solo. Acara yang diadakan tepat sehari setelah Hari Kartini ini mengambil tema tentang Wanita Jawa di Era Mangkunegara VII.
Satu hal menarik yang baru saya ketahui yaitu ternyata dari lingkungan Mangkunegaran Surakarta persoalan tentang perempuan telah menjadi perhatian di masa itu. Mangkunegara VII adalah adipati yang memerintah Pura Mangkunegaran pada tahun 1916 sampai 1944. Beliau banyak berperan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya di berbagai bidang terutama pendidikan. Mangkunegara VII banyak mendirikan lembaga pendidikan baik formal maupun non formal.
Perkembangan pendidikan di Mangkunegaran sendiri tak lepas dari politik yang saat itu sedang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda yaitu "politik etis atau politik balas budi". Salah satu programnya berupa peningkatan pendidikan bagi penduduk di wilayah Hindia Belanda termasuk Mangkunegaran Surakarta. Dalam peningkatan pendidikan di kawasan keraton sendiri Mangkunegara VII tidak hanya mengusahakan sekolah bagi laki-laki, tetapi juga bagi kaum perempuan.
Sekolah perempuan yang pertama di lingkungan Mangkunegaran adalah sekolah Siswo Rini yang didirikan pada masa Mangkunegara VI dan kemudian dilanjutkan dengan didirikannya sekolah Van Deventer pada masa politik etis oleh Mangunegara VII pada tahun 1927. Jika ditilik sejarahnya, tulisan-tulisan R.A. Kartini sangat berpengaruh pada didirikannya Sekolah Van Deventer ini.