Tak terasa sudah dua tahun saya tidak pernah naik bis umum. Terakhir saya naik bis adalah tahun 2014, dalam perjalanan pulang dari Takengen ke Medan untuk kemudian dilanjutkan dengan naik pesawat terbang dari Medan ke Bali.
Cerita naik bus ini, Aceh adalah topnya. Dari dulu, bis-bis terbaik diIndonesia adanya di Aceh. Di paruh akhir 90-an saya teringat teman-teman dari luar Aceh yang akan mengikuti acara yang kami selenggarakan di Aceh, entah itu acara pertemuan mahasiswa atau pertandingan olah raga seringkali bercerita dengan terkagum-kagum fasilitas dan juga kondisi bis yang melayani perjalanan mereka dari Medan ke Banda Aceh. Soal harga juga jangan ditanya, saya pikir juga paling mahal di Indonesia.
Sialnya buat kami di Gayo, PT. Aceh Tengah, perusahaan bis kebanggaan kami pada waktu itu tidak ikut meremajakan armadanya, sehingga kalau berhenti di terminal bis yang kami tumpangi seolah datang dari zaman yang sangat jauh di belakang. Dan ini sering menjadi bahan olok-olok teman-teman non-Gayo. Kadang pengen rasanya naik bis lain waktu pulang, tapi tidak enak karena orang tua kami dari Gayo, mengirim beras, sayuran bahkan uang bulanan selalu menggunakan jasa PT. Aceh Tengah. Untungnya sekarang PT. Aceh Tengah sudah ikut meremajakan armadanya, sehingga seperti terlihat di gambar, sekarang bis milik PT.Aceh Tengah tidak kalah dengan armada bus yang lain di Aceh.
Naik bis di luar Aceh pertama kali saya lakukan pada akhir tahun 1999, waktu itu saya naik bis dari Jogja ke Surabaya. Saya naik bis yang paling mewah yang ada di stasiun, ongkosnya 17.000, salah seorang penumpang bilang ke saya, harga ini mahal. Padahal waktu itu ongkos bis dari Takengen ke Banda Aceh saja sudah 30.000 apalagi kalau ongkos itu di-kurs kan ke dollar, itu cuma satu dollar lebih dikit. Menariknya, waktu itu harga sudah termasuk makan satu kali. Tapi karena waktu itu sedang bulan puasa, saya memberikan kupon makan saya pada tetangga duduk saya.
Soal makan ini berbeda dengan di Aceh. Bis biasanya berhenti makan di warung-warung yang dipilih oleh sopir dan penumpang bayar sendiri, tapi sopir dan kernet biasanya diberikan gratis oleh pemilik warung. Tapi itu hanya untuk bis-bis yang terhitung ongkosnya murah. Untuk bis dengan ongkos mahal, biasanya Kurnia atau Anugrah seat 2 -1, mereka tidak berhenti. Dari Medan langsung jos ke Banda Aceh.
Waktu tinggal di Banda Aceh, saya terbilang sangat sering menggunakan jasa bis umum. Sebab meski tinggal di Banda Aceh, keluarga saya ada di Takengen yang berjarak 300 km dari ibukota provinsi Aceh ini. Kemudian saya juga sering pergi ke Medan, entah itu untuk kegiatan kampus maupun sekedar berlibur.
Kalau dari Medan ke Banda Aceh, ada beberapa tempat yang dipilih bis untuk berhenti. Pangkalan Brandan, Kuala Simpang, Matang Geulumpang Dua, Bireun atau Saree.
Kalau kami dari Banda Aceh ke Takengen atau sebaliknya, Bireun lah tempat yang paling umum untuk berhenti. Sebegitu seringnya berhenti di Bireun saya sampai hafal nama warung-warung di sana dan nama warung makan yang paling saya ingat di Bireun dan sampai sekarang saya tidak pernah lupa adalah “Jabak”, entah apa maksud pemilik warung memberi nama itu, mungkin dia tidak tahu kalau dalam bahasa kami orang Gayo yang juga merupakan pelanggan potensialnya, “Jabak” ituberarti “Cebok”. Tiap kali mampir di Bireun, saya selalu menghindari warung itu.
Menu favorit saya kalau makan di warung di mana bis berhenti adalah “Burung Berkik” goreng, konon iniadalah jenis burung pengganggu yang hidup di sawah-sawah di Aceh. Ukurannyaagak lebih kecil dari burung puyuh dan burung dara. Rasanya sangat lezat danteksturnya juga tidak alot. Saya belumpernah melihat burung ini dalam keadaan hidup karena burung jenis ini tidak adadi Gayo, tempat kelahiran saya. Di tempat kami, burung sawah pengganggu hanyaburung pipit berkepala putih yang ukurannya sebesar jempol jari kaki orangdewasa.
Kemarin waktu memutuskan naik bis dari Bali ke Surabaya, saya tidak sadar kalau minggu ini adalah “long week-end” sehingga nyaris semua bis yang melayani perjalanan dari Bali ke Surabaya penuh. Setelah mencari ke berbagai perusahaan bis, untungnya ada satu kursi tersisa di perusahaan bis Restu Mulya. Tanpa pikir panjang saya langsung mengambil tiket dan berangkat ke Surabaya.
Tanggal 10 Desember 2016 pukul 16.30 kami berangkat dari terminal Ubung di Denpasar. Perjalanan dari Denpasar ke Gilimanuk tidak bisa dikatakan lancar. Beberapa kali bis berhenti lama dan tidak bisa bergerak. Ketika akhirnya kami tiba di Gilimanuk dan naik ke Ferry untuk menyeberang ke Ketapang, hari sudah larut malam dan kami belum makan.