Mohon tunggu...
Win Wan Nur
Win Wan Nur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang Gayo yang lahir di Takengen 24 Juni 1974. Berlangganan Kompas dan menyukai rubrik OPINI.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Masa Depan Kopi Dunia, Ada di Gayo

30 April 2015   22:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:30 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1430407220228253740

Sampai awal abad ke-16, kopi hanya diperdagangkan di Mocha, sebuah pelabuhan di Yaman. Tahun 1618, maskapai dagang Belanda VoC, mendapat izin dari kekhalifahan Turki Usmani membuka kantor dagang di kota Mocha dan Aden. Yang diikuti oleh Inggris dan Prancis.

[caption id="attachment_414000" align="aligncenter" width="416" caption="dok. lintasgayo"][/caption]

Ketika mereka menjualnya di Eropa, respon konsumen sangat bagus. Membuat Belanda dan Prancis kemudian berniat mematahkan monopoli kopi dari pedagang Arab.

Meskipun saat itu Portugis sudah mulai menanam Kopi di koloni mereka di Malabar, India. Tapi karena Portugis kurang canggih dalam manajeman logistik. Kopi baru menjadi komoditas utama dunia ketika Belanda yang mengalahkan Portugis di Malabar, membawa bibit kopi di Malabar ke Jawa dan membuka perkebunan Kopi di pulau ini. Dengan segala kecanggihan manajemen logistiknya, Belanda membuat minuman kopi menyebar ke seluruh dunia menjadi konsumsi massal. Inilah yang kemudian dikenal sebagai Kopi gelombang pertama.

Saat itu kualitas kopi belum menjadi isu, orang juga tidak peduli dari negara mana biji kopi itu berasal, pokoknya kopi. Belakangan muncul kopi instant. Puncak dari gelombang pertama ini adalah pasca perang dunia kedua, ketika Maxwell House dan Nescafe menjadi menjadi pemimpin terdepan . Pada masa ini 80% kopi yang dikonsumsi manusia adalah kopi instant.

Belakangan, kopi instant mendapat perlawanan sengit dari berbagai minuman instant lain yang membanjiri pasar. Dan ini mengkhawatirkan para produsen kopi.

Untuk merespon tuntutan dan persaingan ketat dengan produk minuman lain. Pada akhir dekade 60-an datanglah 'Gelombang Kedua' dalam budaya minum kopi. Kini konsumen kopi yang benar-benar menyukai kopi, mulai menuntut lebih. Untuk menjawab tuntutan pasar, produsen mulai memberi perhatian ekstra pada kualitas dan keunikan karakteristik rasa kopi.

Gelombang kedua (Second Wave) ditandai dengan mulai menyebarnya teknik espresso dan perusahaan seperti Starbucks dan Behemoth mulai memperkenalkan dan menjual "Specialty Grade Coffee" dan mulai menciptakan rasa-rasa berdasarkan negara asal kopi . Maka dikenallah produk seperti 'Latte Cappucino' dan 'Frappe'dengan kopi Kolombia, Kenya atau Jawa. Kualitas rasa kopi juga meningkat pesat. Mesin-mesin pembuat kopi yang berharga mahal pun mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dan akhirnya gelombang baru budaya minum kopi pun menyapu dunia.

Pada sebuah konferensi kopi di Chiang Mai, Thailand yang penulis hadiri di awal abad ini. Almarhum Dr.Ernesto Illy, pemilik produsen kopi terkemuka 'Illy Cafe' asal Italia, mengungkapkan kekhawatirannya akan serangan dari produk minuman lain. Saat itu menurut Dr. Illy dengan tegas mengatakan masa depan kopi ada pada kualitas dan keunikan rasanya. Saat itu Dr.Illy mengajak, para produsen kopi mulai dari petani sampai roaster untuk bersama-sama bergandeng tangan untuk memastikan bahwa kopi yang dilepas ke pasar benar-benar hanyalah kopi yang berkualitas.

Apa yang dikatakan oleh Dr.Ernesto Illy yang telah almarhum pada tahun 2002, dengan tepat terbukti beberapa tahun kemudian setelah beliau wafat.

Kecanggihan yang ditawarkan oleh budaya minum kopi gelombang kedua ini ternyata belum cukup. Respon dari produk minuman lain atas 'Coffee- Second Wave' membuat pasar menuntut sesuatu yang lebih terhadap kopi yang mereka konsumsi.

Atas dasar tuntutan pasar seperti ini. Untuk menyelamatkan keberadaan kopi sebagai produk minuman terkemuka, beberapa roaster mulai melakuan eksperimen dengan mengeksplorasi berbagai teknik dan cara untuk lebih meningkatkan lagi kualitas rasa kopi yang dapat disajikan. Dan dunia pun bersiap memasuki peradaban kopi yang lebih tinggi.

Dipelopori oleh Jepang dan Taiwan. Cikal bakal 'Gelombang ketiga' ini dimulai ketika para penggemar kopi di Jepang dan Taiwan mencoba menerapkan ide-de kompleks ritual minum teh mereka yang sudah membudaya untuk mempersiapkan dan menyajikan secangkir kopi.

Dari Jepang dan Taiwan, ide ini kemudian menyebar. Ditandai dengan dibukanya berbagai kedai kopi dengan produk khusus (niche coffee shop) yang mendedikasikan diri untuk menciptakan ekstrak rasa yang benar-benar berbeda, khas dan istimewa dari setiap biji kopi yang mereka sajikan sebagai minuman.

Perlahan tapi pasti, budaya minum kopi 'gelombang ketiga' menyebar dan sekarang 'mewabah' di seluruh penjuru dunia.

Ciri utama dari budaya minum kopi 'gelombang ketiga' adalah cara pengklasifikasian kopi yang menjadi semakin mirip dengan klasifikasi anggur di Perancis sana. Di mana tiap kebun penghasil kopi, memiliki keunikan rasa sendiri.

Jonathan Gold, kritikus makanan pemenang hadiah Pulitzer dari LA Weekly, mendefinisikan kebiasaan baru ini sebagai berikut :

"Kita sekarang berada pada gelombang ketiga dari segi pengetahuan tentang kopi, dimana biji kopi diklasifikasikan berdasarkan asal kebun, bukan lagi asal negara. Roasting adalah tentang bagaimana mengeluarkan keunikan karakteristik setiap biji kopi yang menciptakan ekstraksi efek rasa yang berbeda dari setiap biji kopi, dan rasa yang tercipta adalah JELAS dan TEGAS dan MURNI"

Satu hal yang sangat menarik bagi masyarakat Gayo mengenai "Coffee- Third Wave" ini. Yaitu fakta bahwa tidak ada satupun tempat di planet ini yang lebih ideal untuk mengembangkan kopi gelombang ketiga ini dibandingkan TANOH GAYO.

Kenapa demikian?

Ini terkait dengan karakteristik perkebunan kopi di Gayo. Dengan luas lahan lebih dari 80 ribu hektar, yang merupakan lahan kopi Arabika terbesar di Asia. Perkebunan kopi di Gayo terbagi ke dalam banyak lokasi yang masing-masing memiliki keunikan iklim, suhu, ketingggian dan karakteristik tanah tersendiri yang terkadang perbedaannya sangat ekstrim antara satu wilayah dan wilayah lain.

Keunikan karakteristik lingkungan ini disempurnakan dengan karakteristik kepemilikan kebun kopi di Gayo yang tidak dikelola oleh satu perusahaan besar. Tiap kebun kopi di Gayo diusahakan oleh para petani kecil dengan rata-rata luas lahan di bawah 2 hektar. Sehingga keunikan karakteristik masing-masing kebun benar-benar terjaga.Ajaibnya, meskipun karakteristiknya sangat berbeda, skor kopi Gayo selalu di atas 85, yang artinya sangat istimewa.

Segala keunikan ini masih ditambah pula dengan fakta bahwa Gayo adalah produsen kopi organik nomer tiga terbesar di dunia. Mengingat semakin meningkatnya kesadaran para peminum kopi dunia pada konsumsi produk-produk organik. Ini tentu merupakan keunggulan tak ternilai bagi Kopi Gayo.

Lalu apa arti dari semua fakta ini?...MASA DEPAN KOPI DUNIA ADA DI GAYO...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun