Sejak dua hari belakangan ini jagat maya di Gayo dipenuhi dengan berita kedatangan Jokowi untuk meresmikan Bandara Rembele.
Sebelum kedatangan Jokowi ini, mungkin tidak banyak orang yang tahu kalau sebelumnya Jokowi pernah menetap di Gayo selama tiga tahun. Tampaknya pengalaman ini memnbuat Jokowi sangat memahami Gayo, dan juga membuat Jokowi sangat paham sesuatu yang tidak banyak diketahui kebanyakan orang di Indonesia yaitu, meskipun Gayo secara administratif berada dalam wilayah provinsi Aceh. Tapi sebenarnya Gayo adalah entitas yang berbeda, tidak sama dengan Aceh.
Selama ini rata-rata orang di Indonesia menyangka bahwa provinsi Aceh hanya ditinggali oleh satu suku saja, yaitu suku Aceh. Tidak banyak yang tahu bahwa ada banyak sekali suku asli di Aceh yang salah satunya adalah Gayo.
Ketidaktahuan ini kemudian diperparah oleh propaganda Ali Hasjmy, mantan gubernur Aceh yang dalam sebuah buku karyanya mengkerdilkan Gayo yang berbeda jauh secara etnisitas dan budaya dengan Aceh, menjadi hanya sebagai sub etnis Aceh saja. Informasi seperti inilah yang selama ini diketahui orang luar.
Gayo dan suku-suku minoritas di provinsi Aceh selama ini cukup dirugikan karena ketidaktahuan masyarakat dan pengkerdilan terhadap Gayo yang dilakukan oleh Ali Hasjmy. Berbagai diskriminasi dialami oleh Gayo dan suku-suku minoritas lain akibat dikerdilkan sebagai Sub-Etnis Aceh.
Kerugian itu di antaranya undangan untuk menari saman tidak pernah sampai ke Gayo, tapi tertahan di Banda Aceh dan Pemerintah Aceh mengirimkan penari perempuan yang menarikan tarian Aceh Rateeb Meuseukat dan mengakuinya sebagai Saman. Sehingga seluruh Indonesia secara salah kaprah menyangka tari Saman adalah tari Aceh Rateeb Meuseukat yang ditarikan oleh perempuan. Kopi Gayo diakui sebagai kopi Aceh, lalu Gayo juga diskriminasi soal pembangunan, pemberian beasiswa dan lain sebagainya.
Tapi Jokowi yang dalam sambutannya menyebut Gayo sebagai kampung halaman keduanya sangat paham soal ini.
Karena itulah ketika menyampaikan sambutannya Presiden Jokowi dengan tegas membedakan dua entitas budaya itu. “Saya tidak akan melepas kain dan topi ini, biar rasanya sampai ke dalam bahwa saya ini orang Gayo dan Aceh. Ini merupakan kampung halaman kedua saya,” kata Jokowi mengawali sambutannya (dikutip dari Kompas.com)
Bahkan dalam cuitannya di Twitter, Jokowi sama sekali tidak menyebut Aceh dalam kunjungannya kali ini. Ketika menceritakan pertemuannya dengan ayah angkatnya selama tinggal di daerah penghasil kopi arabika terbesar di Asia ini melalui akun @jokowi , orang nomer satu di Repuplik Indonesia ini mengatakan "Ketemu Pak Nurdin. "Bapak" yg dulu sering masakin saya ketika saya tinggal di Tanah Tinggi Gayo -Jkw,"
Ironisnya, wartawan-wartawan dari Media Nasional seperti Detik.com dan Liputan6 terlihat sama sekali tidak dilengkapi pengetahuan memadai tentang hal ini. Meski presiden sudah jelas-jelas membedakan antara Aceh dan Gayo, media-media ini masih saja menuliskan Aceh tanpa menyebut Gayo dalam beritanya.
Contohnya Liputan6 menulis “Jokowi pernah tinggal di Aceh di masa mudanya. Selama 3 tahun dia di sana. Rumah yang ditinggalinya pun telah digusur demi pengembangan Bandara Rembele”, sama sekali tidak menyebut Gayo.