Lahir di Takengen, sebuah kota kecil di ketinggian 1250 Mdpl di salah satu gugusan utara Bukit Barisan. Tak banyak yang bisa saya lihat di masa kecil.
Sekilas, kota kelahiran saya yang terletak di dalam lembah di tepi danau Laut Tawar seperti berada di dasar mangkok bakso, dengan gunung gemunung yang mengelilingi sebagai tepi mangkoknya. Karena itulah secara fisik pun pandangan kami terbatas karena terhalang gunung-gemunung itu. Waktu kecil saya sering menghayal membayangkan apa yang ada di balik gunung-gemunung itu. Ingin rasanya saya mendaki Bur ni Kelieten, puncaknya paling tinggi untuk melihat apa yang ada di baliknya.
Pada umur 18 tahun, saya akhirnya benar-benar melakukannya dan mengetahui kalau di baliknya masih tetap gunung-gemunung juga dengan beberapa kampung kecil dan hutan pinus sebagai selingan. Sampai saya berumur 5 tahun, saya belum mengenal yang namanya televisi.
Seperti anak-anak di Gayo yang seusia saya, imajinasi saya dibentuk oleh dongeng yang kami sebut "kekeberen", kalau diterjemahkan secara harfiah artinya "kabar-kabaran", maksudnya kabar yang dibuat-buat.
Dongeng ini biasanya diceritakan sebelum tidur oleh kakek atau nenek kami. Kakek saya adalah seorang pencerita yang hebat. Tiap malam kakek saya selalu saja punya kisah untuk diceritakan. Rata-rata kisah yang diceritakan kakek saya adalah kisah petualangan. Salah satu favorit saya adalah kisah Banta Baramsyah, yang menceritakan kisah tentang pemuda dari kampung yang keluar merantau dari kampungnya untuk mendirikan kerajaan.
Satu ciri khas dari kisah petualangan yang diceritakan oleh kakek saya adalah seringnya berulang momen “Tangkuh belang mayo uten, tangkuh uten mayo belang” yang kalau diartikan dalam bahasa Indonesia berarti “Keluar dari padang rumput masuk ke hutan, keluar dari hutan masuk ke padang rumput”. Dulu waktu kecil saya menyangka memang begitulah keadaan dunia, tapi setelah dewasa saya baru meyadari kalau kondisi alam yang diceritakan oleh kakek saya itu adalah kondisi alam yang khas wilayah Linge, daerah Gayo yang berhawa panas yang merupakah daerah asal kami.
Belakangan saya sadari, ternyata kekeberen-kekeberen yang selalu diceritakan oleh kakek saya ini telah membentuk cita-cita dan obsesi di alam bawah sadar saya. Sejak kecil saya suka sekali diajak berpergian. Dibandingkan teman-teman kecil saya di Gayo dulu, saya memang terbilang paling banyak berpergian, meskipun sampai umur 20 tahun, tempat terjauh yang saya kunjungi cuma Medan. Kota terbesar di Sumatera yang juga merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara.
Ketika saya tamat SMP, saya ngotot minta kepada orang tua saya untuk melanjutkan sekolah di Banda Aceh. Ada banyak penentangan di keluarga saya atas pilihan yang saya ambil. Mereka sebenarnya tidak keberatan saya melanjutkan sekolah di luar tanah kelahiran, tapi mereka ingin saya melanjutkan di Medan.
Alasannya karena keluarga semuanya di sana dan juga Medan dipandang memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik dibandingkan Banda Aceh. Tapi saya tetap berkeras dengan pilihan saya. Alasannya apalagi kalau bukan kebebasan. Dan benar saja, di Banda Aceh saya jadi lebih memiliki kesempatan untuk jalan-jalan.
Ketika kuliah, saya bergabung dengan UKM PA Leuser Unsyiah, di sana kami melakukan banyak sekali ekspedisi dan seluruh wilayah kabupaten yang ada di Aceh pada waktu itu pernah saya jelajahi. Saya begitu terkesan dengan sedemikian beragamnya adat dan budaya kami. Sialnya, penjelajahan itu alih-alih membuat bosan yang ada malah nyandu.