Kartini remaja memiliki wawasan yang sangat luas, ini bisa dilihat dari surat-surat Kartini berisi pandangan-pandangan hebat seorang remaja berusia belasan tentang agama, gaya hidup, pendidikan, peradaban, dan ketidakadilan. Dalam tulisan-tulisannya, Kartini mengecam pertikaian-pertikaian yang terjadi atas nama agama. Kartini mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Kartini juga mengecam konsumsi candu (narkoba) yang biasa dilakukan para bangsawan Jawa. Bandingkan dengan remaja belasan tahun sekarang, yang hidup di masa penuh kemudahan untuk mendapatkan informasi.
Hebatnya segala keluasan wawasan dan pengetahuannya tidak membuat Kartini menjadi sosok yang sombong. Kartini adalah sosok yang sangat rendah hati, segala gelar kebangsawanan yang dia sandang justru membuatnya jengah. Kartini merasa dia sama saja dengan umat manusia manapun di bumi, ini bisa terbaca dari ucapannya yang terkenal "Panggil aku Kartini saja" Tanpa embel-embel gelar kebangsawanan. bandingkan dengan orang masa kini yang bukan apa-apa saja ingin dipanggil dengan embel-embel gelar dan predikat tertentu).
Kartini saat itu tahu kalau selain dia, ada perempuan di tempat lain di Hindia Belanda yang juga berjuang untuk emansipasi. Salah seorang yang dikagumi kartini adalah putri seorang bupati di Priangan yang sebaya dengannya bernama Dewi Sartika.
Melihat bagaimana rendah hatinya Kartini, kalaulah dia masih hidup di zaman sekarang. Sangat mungkin dia sendiri malu diberi label pelopor, karena dia sadar betul ada teman sebaya seperjuangan di Hindia Belanda.
Kalau kita amati dari surat-suratnya. Ide-ide pembebasan Kartini itu bukan hanya soal perempuan, tapi mencakup dalam banyak aspek kehidupan. Dibanding istilah feminis, Kartini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai seorang Humanis. Sebab jelas sekali ide pembebasan Kartini bersifat Universal. cita-cita Kartini yang sesungguhnya adalah kemanusiaan yang tidak dibatasi gender, agama, maupun kebangsaan.
Itulah yang menjadi alasan mengapa Kartini menjadi sosok yang begitu dikagumi pada masa pergerakan kemerdekaan, sampai-sampai seorang WR Supratman pun tergugah mengarang lagu untuknya, setelah mengikuti Kongres Perempoen 1928.
Jadi, silahkan saja kita mengagumi seorang pahlawan perempuan bernama Cut Nyak Dhien, tapi bukan berarti kita lalu berhak untuk merendahkan Kartini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H