Mohon tunggu...
Bee (orang Biasa)
Bee (orang Biasa) Mohon Tunggu... -

Ingin Bisa Menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Maaf Bu, Aku Tak Mendoakan Anda….. (cerita temanku)

15 Oktober 2012   14:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:49 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu hari saya naik bis antar kota antar propinsi. Sebab tak ada ongkos, maklum orang kere, untuk naik bis yang bertuliskan PATAS alias bis yang lebih cepat dan terutama lebih nyaman dari pada bis merk satunya, ekonomi.Bis yang terkesan ala kadarnya,asal bisa jalan.Kesan asal bisa jalan juga terlihat dari segala properti yang disediakan oleh bis tersebut. Misalnya, di kaca depan pada salah satu bis bertuliskan AC. Setelah ditilik dan dinikmati alias kita numpang di sana AC tak nyala dengan sempurna alias masih panas. Ditambah lagi masih ada yang dengan leluasa merokok, skali lagi padahal dalam bis yang ber-AC.

Kesan asal bisa jalan juga nampak pada minimnya kenyamanan untuk kami sebagai penumpang. Yaitu pada saat hujan masih terlihat dan terasa ada yang menetes dan menyentuh bagian tubuh kami dengan rasa khasnya, brrr… dingin. Rasanya untuk kata yang satu ini memang sangat mahal dan, mungkin, tidak akan kita rasakan. Ataukah memang ini lah ciri khas transportasi di negara ketiga. Dimana manusianya (individu yang memanfaatkan semua fasilitas yang tersedia) hanya bisa “mencaci, mengadu, dan mengaduh” tanpa bisa berbuat apa-apa. Sebab apa yang mereka lakukan hanya sebatas debat kusir belaka. Tanpa hadirnya solusi.

Mungkin inilah yang saya alami barusan. Waktu “ikut” naik bis tersebut. Karena termasuk orang kere, saya merasa berkewajiban untuk ikut bis yang bertuliskan “tarif biasa” alias ekonomi alias tarif separuh lebih murah dari pada bis satunya. Dengan konsekuensi fasilitas yang jauh dari kata nyaman.

Akhirnya, bis yang ditunggu nongol juga setelah hampir satu jam berdiri plus kepanasan. Ditambah lagi aroma kencing yang tak kunjung pergi dari hidungku yang agak sowak ini. Mungkin di sekitar sana tak ada tulisan yang berbunyi SELAIN ANJING DI LARANG KENCING DI SINI atau sudah dihilangkan dari peredaran, saya tak memusingkan hal itu. Sebab meskipun ada tulisan seperti itu pun, aroma khas seperti ini masih menyengat dan tak kunjung hilang. Malah terkadang makin pekat saja tuh aroma.

Saya pun naik bis yang dimaksud. Dan terlihat jelas gambaran-gambaran ketidaknyamanan itu. Tapi tak apalah, konsekuensi. Itulah kata-kata motivasiku. Setelah berjalan sebentar aku pun memilih tempat duduk yang aku anggap enak. Ternyata di sana sudah ada yang duduk duluan, seorang ibu-ibu. Nampaknya ibu-ibu ini bukan termasuk orang yang bisa dianggap remeh. Ini terlihat dari apa yang ia kenakan. Sekilas aku lihat dia pake kacamata seperti kebanyakan orang di TV, yaitu kacamata yang sangat berlebih dan sangat boros (menurutku sih). Sebab kacamata itu tidak untuk melindungi mata tapi lebih kearah mejeng. Sebab kacamata itu sangat lebar dan terkesan memakan tempat di bagian muka si pemakai.

Kesan yang tak bisa dianggap remeh berikutnya adalah terlihat dari jaket yang selalu menempel di tubuhnya. Padahal hari ini adalah panas bukan kepalang. Nampaknya dia tak ingin disentuh oleh orang lain. Mungkin juga melindugi tubuhnya karena sudah dirawat dengan perawatan yang sangat mahal.Atau dia lagi sakit. Untuk yang terakhir ini saya ragu seratus persen, sebab dia begitu dingin dengan kedatangan saya yang mengucapkan “permisi bu…” (atau aku yang salah ucap, sebab tak ingin di panggil ibu-ibu).

Karena kesan yang ditampilkan sangat tidak enak untuk dilihat dan dirasakan. Saya pun memejamkan mata dan berharap bisa tidur. Cape je...setelah seharian beraktifitas. Belum lama berselang, kami pun kedatangan “tamu”. Yaitu dengan minta ijin untuk duduk di samping kami. Otomatis saya mempersilakan, sebab ini kan milik umum. Siapa cepat dia yang duluan. Karena “Si Tamu” itu tergolong orang yang berisi, akhirnya saya dan ibu-ibu tadi agak tergencet dengan keadaannya. Saya pun hanya diam dan tersenyum menikmati keadaan ini. Sedang Si Ibu tadi, kelihatannya agak sebel. Saya pun melanjutkan tidur.

Dalam setengah sadarku, mendengar berbagai keluh kesah yang keluar dari mulut si ibu. Saya pun tak ambil pusing dengan semuanya. Sebab ya..emang seperti ini lah keadaan bis umum, ekonomi lagi. Sudah penuh sesak, aroma yang khas, dan ketidaknyamanan pastinya yang tersaji. Yang penting dari itu semua adalah masih dapat kesempatan untuk duduk, ketimbang harus berdiri berjam-jam.

Bisikku dalam hati “maaf bu aku tak mendoakan Anda, suatu saat nanti punya mobil bagus. Biar bisa bepergian dengan nyaman”. Tapi saya berdoa semoga Anda bisa naik bis umum terus, khusunya ekonomi. Bukannya saya takut tersaingi atao mencari teman susah, sebab aku takut kalo aku doain dan ternyata dikabulkan sama Tuhan (maaf bukannya sombong doaku pasti dikabulkan) Anda akan semakin sombong. Makin tak mau tahu keberadaan orang yang ada disekitar. Tak mau merasakan penderitaan dan lebih parah lagi memaki-maki orang pinggir jalan. Dan sebagainya, dan seterusnya…

:)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun